Di tengah situasi politik dan krisis lingkungan yang semakin genting, WALHI menyampaikan sikap atas pengabaian sistematis terhadap 17+8 Tuntutan rakyat. Tuntutan ini lahir dari suara kolektif masyarakat sipil, mahasiswa, komunitas adat, buruh, dan kelompok terdampak yang menuntut perubahan arah pembangunan, penghentian kekerasan negara, dan pemulihan ruang hidup. Namun hingga kini, tidak ada indikasi bahwa pemerintah bersedia mendengar, apalagi memenuhi tuntutan tersebut secara serius.
Pemerintahan Prabowo melanjutkan dan memperluas ambisi pembangunan era Jokowi yang terbukti memperparah krisis sosial-ekologis. Proyek Strategis Nasional (PSN) dijalankan tanpa evaluasi dampak terhadap masyarakat adat dan lingkungan. Hilirisasi mineral seperti nikel dan bauksit menyebabkan pencemaran, kerusakan ekologis, dan ancaman keselamatan komunitas. Rencana pelepasan 20 juta hektar kawasan hutan untuk pangan dan energi menunjukkan keberpihakan negara pada korporasi, bukan pada kelestarian alam.
UU Cipta Kerja yang melegitimasi PSN sedang digugat oleh WALHI bersama masyarakat sipil dan komunitas terdampak. WALHI juga menggugat 13 pasal bermasalah dalam kluster lingkungan yang melemahkan perlindungan ekologis, membatasi partisipasi publik dalam AMDAL, dan menghapus kanal pengawasan masyarakat. Sistem digital yang bias terhadap wilayah terpencil mempersempit akses informasi dan pengawasan. UU ini telah menjelma menjadi instrumen legal bagi kerusakan ekologis. WALHI menegaskan bahwa UU Cipta Kerja mencederai keadilan ekologis dan membuka ruang eksploitasi tanpa perlindungan memadai.
Tuntutan agar TNI kembali ke barak dan pencabutan mandat militer dari proyek sipil seperti food estate, smelter, dan Satgas Penertiban Kawasan Hutan tidak hanya diabaikan, tetapi justru diperluas. Temuan WALHI di sepuluh provinsi menunjukkan bahwa penertiban kawasan hutan menimbulkan intimidasi dan konflik baru. Revisi UU TNI yang seharusnya membatasi peran militer malah memperluas jabatan sipil bagi prajurit aktif—kemunduran serius dalam demokrasi dan supremasi sipil.
Keterlibatan TNI dalam proyek food estate telah menyebabkan konflik agraria, penggusuran paksa, dan kriminalisasi masyarakat adat. Dalam Satgas Penertiban Kawasan Hutan, militer digunakan sebagai alat represi terhadap komunitas yang mempertahankan ruang hidupnya. Ini adalah bentuk baru militerisasi pembangunan yang mengaburkan batas antara keamanan dan ekonomi. Pelibatan TNI dan aparat keamanan dalam industri pertambangan dan smelter berdampak serius terhadap hak masyarakat dan pekerja. Keluhan warga dan buruh dianggap ancaman, padahal menyangkut keselamatan kerja. Sembada Bersama Indonesia mencatat sepanjang periode 2019 hingga 2025 terjadi 104 insiden kecelakaan kerja di seluruh fasilitas smelter nikel di Indonesia, sebanyak 107 pekerja dilaporkan meninggal dunia dan 155 lainnya mengalami luka-luka. Namun hingga kini, persoalan tersebut belum ditangani secara serius. Narasi PSN menutup ruang kritik dan akuntabilitas.
Contoh nyata kekerasan terjadi di Banten, saat sejumlah wartawan mengalami penganiayaan dalam inspeksi mendadak oleh KLHK di PT Genesis Regeneration Smelting. WALHI menegaskan bahwa TNI tidak boleh masuk ke ranah sipil. Negara harus mencabut seluruh mandat militer dari proyek sipil dan mengembalikan supremasi sipil sebagai prinsip dasar demokrasi.
Di sisi lain, praktik SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) terus digunakan untuk membungkam pejuang lingkungan dan pembela HAM. WALHI mencatat 1.131 korban dalam 10 tahun terakhir, termasuk 11 anak. Sebanyak 544 kasus berlanjut ke persidangan, menimbulkan tekanan ekonomi dan psikologis yang berat. SLAPP juga mengguncang stabilitas keluarga, terutama jika korban adalah pencari nafkah utama. Kewenangan upaya paksa yang luas dan minim pengawasan memperparah situasi ini.
WALHI mendesak Pemerintah dan DPR mengevaluasi seluruh regulasi yang melegitimasi praktik SLAPP. Perlindungan terhadap pejuang lingkungan harus diatur dalam UU khusus seperti UU Partisipasi Publik atau UU Anti-SLAPP. R-KUHAP juga harus diperkuat sebagai instrumen pengawasan terhadap kewenangan aparat penegak hukum, agar tidak digunakan secara sewenang-wenang untuk mengkriminalisasi warga. Meskipun Pasal 66 UU PPLH menjamin perlindungan, penerapannya sangat bergantung pada konstruksi pasal-pasal dalam R-KUHAP.
Sementara itu, korupsi di sektor kehutanan, tambang, dan energi semakin mengakar. Konsesi diberikan tanpa transparansi, pengawasan dilemahkan, dan ruang hidup rakyat dikorbankan demi kepentingan elite. Pada Maret 2025, WALHI melaporkan 47 perusahaan ke Kejaksaan Agung atas dugaan perusakan lingkungan dan korupsi SDA, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 437 triliun. Skandal PT Timah Tbk juga menunjukkan kerugian ekologis dan ekonomi hingga Rp 300 triliun. Menurut CELIOS, kerugian pertambangan diperkirakan mencapai Rp 60 triliun per tahun.
Pemerintah terus menormalisasi perampasan ruang melalui proyek hilirisasi dan investasi yang tidak berkelanjutan. Masyarakat adat dan komunitas lokal jarang dilibatkan, dan justru menjadi korban penggusuran, pencemaran, dan kekerasan. Negara gagal menjalankan mandat konstitusional untuk melindungi rakyat dan lingkungan hidup.
Di tengah meluasnya praktik perampasan ruang hidup, kekerasan terhadap warga, dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan, negara justru memperkuat aliansinya dengan korporasi melalui pemberian konsesi, pelibatan aparat keamanan, dan pembiaran terhadap pelanggaran hak asasi manusia. WALHI memandang bahwa perubahan mendasar harus segera dilakukan untuk menghentikan siklus ketidakadilan dan kerusakan ekologis yang semakin sistemik.
Oleh karena itu, kami menegaskan kembali tuntutan WALHI:
Pertama, Pemerintah harus segera menghentikan pemberian konsesi baru kepada industri ekstraktif, baik di sektor pertambangan, perkebunan, maupun proyek-proyek energi dan infrastruktur yang merampas ruang hidup masyarakat. Konsesi-konsesi ini tidak hanya memperluas kerusakan ekologis, tetapi juga memperdalam konflik agraria, mempersempit ruang partisipasi publik, dan memperkuat dominasi korporasi atas wilayah adat dan sumber daya alam. Penghentian konsesi harus menjadi langkah awal menuju transisi ke model pembangunan yang adil, berkelanjutan, dan berbasis hak rakyat.
Kedua, Pemerintah dan DPR mengevaluasi dan menghentikan Pelibatan TNI untuk melakukan pengamanan perkebunan, pertambangan dan industri ekstraktif lainnya serta pelibatan TNI dalam pelaksanaan program Pemerintah seperti Penertiban Kawasan Hutan, Pelaksanaan Food Estate, dll. TNI harus kembali ke tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara yang adaptif terhadap ancaman dan tantangan pertahanan regional dan internasional yang semakin dinamis dan kompleks.
Ketiga, Pemerintah dan DPR harus segera melakukan Reformasi Kepolisian baik secara struktural, kultural dan instrumental, karena Kepolisian kerap terlibat dalam kekerasan dan kriminalisasi pejuang lingkungan dan pembela HAM, termasuk mengevaluasi dan menghentikan tugas-tugas pengamanan polisi di perusahaan-perusahaan perkebunan, pertambangan dan industri lainnya.
Keempat, Pemerintah dan DPR harus memastikan penguatan perlindungan pejuang lingkungan dan Pembela HAM melalui Pembentukan UU Partisipasi Publik dan/atau Anti Slapp, paralel dengan itu juga harus ada penguatan mekanisme pengawasan yang ketat dan berjenjang dalam R-KUHAP khususnya terhadap kewenangan upaya paksa yang kerap digunakan untuk meng-kriminalisasi pejuang lingkungan dan pembela ham.
Kami juga menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat sipil, komunitas terdampak, gerakan mahasiswa, serikat buruh, dan organisasi rakyat untuk terus mengawal tuntutan ini. Ketika negara gagal menjalankan mandat konstitusionalnya, maka kekuatan rakyatlah yang harus menjadi penentu arah perubahan.
Dalam situasi ragu, berpihaklah kepada alam. Dalam situasi genting, berpihaklah kepada rakyat.