TN Komodo Dalam Bahaya: Respon Publik Terhadap Peringatan UNESCO Kepada Pemerintah Indonesia

 

Siaran Pers

WALHI - Sunspirit for Justice

Jakarta, 03 Agustus 2021– Gelombang protes publik terhadap pembangunan yang mengancam konservasi, ekonomi pariwisata yang berkelanjutan serta ruang hidup warga dalam kawasan Taman Nasional Komodo akhirnya ditanggapi oleh UNESCO. Dalam sidang Komite Warisan Dunia ke-44 yang berlangsung di Fuzhou, China pada tanggal 16 - 31 Juli 2021, UNESCO memberikan sejumlah rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia terkait TN Komodo.

Terdapat sejumlah rekomendasi yang diberikan oleh UNESCO kepada pemerintah Indonesia dalam Draft Decisionnomor 44 COM 7B.93 yang telah diadopsi dalam sidang tersebut. Dua diantara lainnya adalah, pertama, item nomor 6 UNESCO mendesak Indonesia untuk menghentikan proyek-proyek infrastruktur pariwisata di dalam dan sekitar lokasi TN Komodo yang memiliki potensi dampak pada nilai OUV (Outstanding Universal Value) sampai revisi AMDAL diserahkan dan ditinjau oleh IUCN.  Kedua, pada item nomor 7 UNESCO juga meminta Indonesia untuk mengundang World Heritage Centre/IUCN guna memantau secara langsung dampak lingkungan yang terjadi akibat pembangunan serta meninjau status konservasi dari TN Komodo.

Peringatan UNESCO kepada pemerintah Indonesia merupakan kabar gembira bagi Taman Nasional Komodo yang dalam beberapa tahun belakangan ini terus diancam oleh model-model pembangunan yang berdampak buruk bagi konservasi, ekonomi pariwisata berkelanjutan serta ruang penghidupan bagi warga setempat. Dalam dua dekade terakhir,  pariwisata massal, penyelundupan komodo dan daging rusa serta pencurian terumbu karang telah memperburuk keberlangsungan konservasi dan ekosistem di TN Komodo.  Alih-alih menyelesaikan masalah yang ada, pemerintah malah memprioritaskan investasi yang berpotensi memperburuk keadaan.

Akbar Al Ayyubi, Pemuda Ata Modo mengungkapkan, “Ini dukungan moral yang kuat untuk keselamatan dan keberlangsungan konservasi di TN Komodo. Dengan intervensi langsung dari UNESCO, ini merupakan awal yang baik untuk menghindari segala upaya-upaya pengrusakan di dalam wilayah konservasi khususnya satwa komodo dan Ata Modo sebagai masyarakat lokal yang lama mendiami dan merawatnya dengan kebudayaan konservasi adat.”

"Peringatan unesco ini bak vaksin di tengah virus investasi yang belakangan ini menghancurkan konservasi, pariwisata warga dan ruang penghidupan warga dalam kawasan Taman Nasional Komodo.” Ungkap Venan Haryanto, Peneliti Sunspirit for Justice and Peace Flores.

Sejak perubahan zonasi pada tahun 2012, Pemerintah membuka keran bagi perusahaan-perusahaan swasta untuk membangun resort-resort eksklusif di dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Sejauh ini, Pemerintah tengah memberi izin konsesi kepada tiga perusahaan yaitu PT Sagara Komodo Lestari di Pulau Rinca (22,1 Hektar) PT Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Padar (274,13 Hektar) dan Pulau Komodo (151,94) dan PT Synergindo Niagatama di Pulau Tatawa (15,32 Hektar). Pemerintah juga tengah mengurus perizinan dari PT Flobamora, BUMD milik Provinsi Nusa Tenggara Timur.

“Model pembangunan yang sedang direncanakan oleh pemerintah di TNK ini merupakan model komodifikasi alam yang didominasi oleh big business dengan mengotak-atik zonasi yang ada. Bisnis seperti ini akan terus menempatkan masyarakat adat yang sudah lama menetap disana dan hidup berdampingan bersama komodo bukan sebagai pewaris utama.” ungkap Nur Hidayati, Direktur Eksekutif WALHI Nasional.

Tak hanya itu, sebagai bagian dari upaya mendorong investasi pariwisata Labuan Bajo sebagai salah satu dari 10 Bali Baru, Pemerintah juga sedang dan akan membangun beberapa fasilitas/sarana-prasarana wisata yang sangat berdampak buruk bagi konservasi. Di pulau Rinca, Pemerintah tengah membangun sarana-prasarana wisata alam dengan jalan betonisasi. Desain pembangunan ini sangat merusak bentang alam setempat serta citra wisata alam di Taman Nasional Komodo.  Sebagai bagian dari pembangunan itu, di Pulau Padar Pemerintah juga akan membangun kuliner dan dermaga kelas premium.

Sementara itu, sebagai bagian dari upaya menjadikan Pulau Komodo sebagai destinasi eksklusif dengan tiket 1000 USD, Pemerintah memiliki wacana untuk merelokasi warga Komodo. Rencana ini sangat tidak menghargai keberadaan warga Pulau Komodo sebagai pewaris adat setempat serta peran mereka sebagai agen utama dari konservasi dan pelaku wisata berbasis komunitas.

Atas dasar itu, merespon peringatan dari UNESCO kepada Pemerintah Indonesia kami menegaskan beberapa poin rekomendasi sebagai berikut:

  1. Pemerintah Indonesia untuk mengikuti seluruh rekomendasi UNESCO terkait dengan pembangunan yang tengah berjalan di Taman Nasional Komodo, secara khusus di Pulau Rinca serta bersama publik dan UNESCO mengevaluasi seluruh rencana pembangunan infrastruktur wisata di dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
  2. Pemerintah Indonesia untuk mencabut seluruh izin konsesi perusahaan-perusahaan swasta serta menghentikan proses pengurusan konsesi perusahaan-perusahaan yang lain. Bersamaan dengan itu, hentikan seluruh proses perubahan zonasi dalam kawasan Taman Nasional Komodo yang makin membuka ruang bisnis bagi perusahaan-perusahaan swasta.
  3. Pemerintah Indonesia untuk mengutamakan program-program konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem di Taman Nasional Komodo yang berbasis pada sains dan masyarakat lokal.
  4. Pemerintah Indonesia untuk menghargai serta mendorong keterlibatan warga dalam kawasan Taman Nasional Komodo sebagai agen konservasi dan pelaku wisata komunitas serta menghargai kebudayaan masyarakat bahari yang sejalan dengan prinsip-prinsip konservasi.
  5. Pemerintah Indonesia untuk tidak relokasi masyarakat lokal usaha masyarakat dari pulau Komodo.

Narahubung:

+62 813-3854-2421 Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi (WALHI NTT)

+62 812-3889-3473 Venan Haryanto (Sunspirit for Justice and Peace)

_____________________________________________________________________________________________

Press Release

WALHI - Sunspirit for Justice and Peace

Komodo National Park in Danger: Public’s Response to UNESCO’s Calls to the Indonesian Government

Jakarta, 03 August 2021– Amplified wave of protest against the development project that threatens the sustainability of the conservation, local economy and the living space of the people within Komodo National Park has finally been responded by UNESCO. In the Extended 44th Session of the World Heritage Committee which was held from July 16-31 in Fuzhou, China, UNESCO provided a number of recommendations regarding Komodo National Park to the Indonesian government.

There are a number of recommendations submitted by UNESCO to the Indonesian government in the Draft Decision number 44 COM 7B.93 which was adopted in the session. Two of them are, first, item number six which reads “Also urges the State Party to halt all tourism infrastructure projects in and around the property that have the potential to impact on its OUV until the revised EIA is submitted and reviewed by IUCN.” Second, item number seven which reads, “Further requests the State Party to invite a joint World Heritage Centre/IUCN Reactive Monitoring mission to the property to assess the impact of ongoing development on the OUV of the property and review its state of conservation.”

UNESCO's calls to the Indonesian government is good news for Komodo National Park which in recent years has been constantly threatened by development models that impose adverse impacts on conservation, sustainable tourism economy and livelihoods for local residents. In the past two decades, mass tourism, komodo dragons and deer smuggling, coral reefs theft, have worsened the sustainability of the conservation and ecosystem in Komodo National Park.  Instead of solving these existing problems, the government prioritizes investment that will potentially aggravate the situation.

Akbar Al Ayyubi, a member of Ata Modo Youth states, “[UNESCO’s calls] is a strong moral support for the safety and sustainability of conservation in Komodo National Park. With direct intervention from UNESCO, this is a good start to prevent any means to destroy the conservation area, especially Komodo dragons and Ata Modo community who have long dwelled in the area and conserved komodo dragons with their customary conservation culture.”

"The warning from UNESCO to the Indonesian government is like a vaccine in the midst of an investment virus that has recently destroyed conservation, local tourism and livelihoods of the people in the Komodo National Park.” Said Venan Haryanto, Researcher of Sunspirit for Justice and Peace Flores.

Since the change in the zoning system in 2021, the Indonesian government has opened the investment tap for private sectors to build exclusive resorts within the park area. So far, the Government has granted concession permits to three companies, they are PT Sagara Komodo Lestari on Rinca Island (22.1 hectares), PT Komodo Wildlife Ecotourism on Padar Island (274.13 hectares) and Komodo Island (151.94) and PT Synergindo Niagatama. on Tatawa Island (15.32 hectares). The government is also in the process of issuing permits for PT Flobamora, a state-owned company by East Nusa Tenggara Province.

“The development model that is being planned by the government in Komodo National Park is a natural commodification model which is dominated by big business by changing the existing zoning system. Businesses like this will continue to exploit and place local communities who have long lived and live side by side with the Komodo dragon, not as the main heirs.” said Nur Hidayati, Executive Director of WALH National.

In addition, as a part to push tourism investment in Labuan Bajo as one of the “10 new Balis”, the government has planned to build a number of tourism facilities that will impact the conservation. For instance, on Rinca Island, the government is constructing concrete roads as a facility for natural tourism. While on Padar Island, the government is also planning to build a premium class culinary and dock. This development model is very damaging to the local landscape as well as the image of nature tourism in Komodo National Park.

Meanwhile, as part of the government’s efforts to make Komodo Island an exclusive destination of tourist attraction with a ticket of 1000 USD, the government  also has a plan to relocate Komodo people. This plan does not respect the existence of the people in Komodo Island as heirs of local customs and their role as the main agents of conservation and community-based tourism actors.

For those reasons above, in response to UNESCO’s recommendations to the government of Indonesia, we call on these key recommendations as follows:

  1. The government of Indonesia to follow all UNESCO recommendations related to ongoing development within Komodo National Park, specifically on Rinca Island, and together with the public and UNESCO to evaluate all tourism infrastructure development plans within the Komodo National Park area.
  2. The government of Indonesia to revoke all concession permits of private companies and halt all the process of issuing permits of companies. At the same time, the government should stop the entire process of changing zoning within the Komodo National Park area which is increasingly opening up business space for private companies.
  3. The Government of Indonesia to prioritize conservation programs for natural resources and ecosystems in Komodo National Park that are based on science and local communities.
  4. The government of Indonesia to respect and promote the involvement of the local community in the Komodo National Park area as conservation agents, community tourism actors as well as respecting the marine culture of the community which is in line with conservation principles.
  5. The government of Indonesia to not relocate local communities and their local business from Komodo island.

Contact person:

+62 813-3854-2421 Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi (WALHI NTT)

+62 812-3889-3473 Venan Haryanto (Sunspirit for Justice and Peace)