Solidaritas Petani Pakel Hentikan Kekerasan, Kriminalisasi dan Intimidasi Terhadap Rakyat

Rilis Media

Solidaritas Petani Pakel
Hentikan Kekerasan, Kriminalisasi dan Intimidasi Terhadap Rakyat

Sepanjang tahun 2021, merujuk pada data yang dihimpun oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 207 kasus konflik agraria di seluruh Indonesia dengan melibatkan hampir 198.895 KK yang tersebar di 32 provinsi dengan luasan konflik sekitar 500.062,58 hektar. Jika diurutkan maka penyumbang terbesar dari letupan konflik agraria yang menduduki peringkat pertama adalah sektor perkebunan terdapat 74 kejadian dengan luasan konflik sebesar 276.162,052 hektar. Di Posisi kedua disusul oleh sektor infrastruktur sekitar 52 kejadian dengan luasan konflik 8.604,697 hektar, lalu disusul oleh sektor pertambangan di posisi ketiga sekitar 30 kejadian dengan luasan konflik sekitar 155.166,86 hektar.

Hampir di semua sektor konflik selalu melibatkan aktor negara seperti lembaga negara, perusahaan negara hingga aparat keamanan negara, selain juga aktor swasta yang didominasi oleh korporasi hingga kelompok preman. KPA juga mencatatkan selama terjadinya konflik agraria di tahun 2021 ini, hampir sekitar 68% aktor yang terlibat dalam tindakan kekerasan dan intimidasi adalah polisi, disusul preman lalu satpol pp dan terakhir militer. Kondisi ini menunjukkan bagaimana aparat keamanan negara yang seharusnya melindungi dan memastikan hak asasi manusia, secara terperinci yakni menjalankan prinsip penjaminan negara atas hak warga negara, malah menjadi aktor perampasan hak rakyat.

Kejadian tempo hari di beberapa wilayah sepanjang 2022 menjadi saksi bagaimana hak warga negara terus menerus dirampas. Kejadian di Seluma, Bengkulu di mana Ibu-Ibu yang menduduki tapak tambang pasir besi PT Faminglevto Bakti Abadi, karena aktivitas pertambangan tersebut merusak lingkungan sekitar, mengancam pertanian dan keberadaan mata air, malah dibubarkan dan diangkut oleh pihak kepolisian. Padahal mereka hanya mengungkapkan kekecewaannya karena tambang ilegal tetap beroperasi meski warga sudah lapor berkali-kali, sampai pada puncaknya mereka memilih menutupnya sendiri

Tak cukup di situ, Kepala Desa Kinipan yang selama ini bersama masyarakat adat Kinipan melindungi hutan dari perampasan HGU Sawit dikriminalisasi. Ia dituduh melakukan korupsi dana desa, ditangkap oleh pihak kepolisian bak koruptor kelas kakap atau teroris berbahaya. Apa yang dialami oleh Kepala Desa Kinipan ini sebagai imbas aktivitasnya yang secara frontal dan terbuka menolak keberadaan PT. Sawit Mandiri Lestari (PT. SML) yang mengancam hutan di wilayah adat Kinipan.

Bergeser ke Wadas, Jawa Tengah, saat semua warga desa Wadas menolak pertambangan batu andesit untuk kepentingan proyek strategis nasional berupa bendungan, bukannya dilihat mengapa menolak dan bagaimana memenuhi permintaan warga. Negara malah melakukan teror kepada warga melalui polisi, baik tindak kekerasan, upaya kriminalisasi dan intimidasi, terakhir polisi sering patroli hingga memasang spanduk himbauan terkait penambangan, sampai adanya drone yang diduga untuk mengawasi warga Wadas.

Lalu, baru-baru ini nasib malang harus diterima oleh petani tunakisma di Pakel, Banyuwangi, di tengah usaha mereka mendapatkan hak atas tanah yang dirampas oleh perkebunan swasta bernama PT. Bumisari, padahal HGU perkebunan ini tidak berada di Pakel. Harus menghadapi pil pahit, mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian yang memakai pendekatan kekerasan saat patroli di tanah konflik. Tercatat 4 orang menjadi korban kekerasan, melengkapi intimidasi dan kriminalisasi yang sebelumnya sudah sangat akrab dengan  warga Pakel, berdasarkan catatan WALHI Jawa Timur ada sekitar 13 orang dikriminalisasi memakai UU Perkebunan, di tempat yang mana tidak masuk HGU perkebunan.

Catatan di atas hanya sebagian kecil potret konflik agraria lintas sektor yang diketahui, masih banyak lagi konflik-konflik serupa yang mungkin tidak terekam. Situasi semacam ini akan semakin pelik ketika aneka aturan yang bertentangan dengan semangat keadilan untuk semua seperti UU Cipta Kerja yang secara konstitusional cacat tetapi oleh pemerintah tetap dipaksakan pengaplikasiannya. Sehingga potensi konflik ke depan akan semakin besar dan luas, karena dari UU tersebut lahirlah bank tanah hingga perampasan tanah secara sistematis terstruktur, melalui kuasa eksklusi negara dengan regulasi, kekuatan memaksa dan legitimasi. Maka rakyat akan semakin tergusur dari wilayah kelolanya.

Kondisi demikian merupakan cipta kondisi yang dikondisikan oleh para oligarki, lalu suburlah praktik perampasan yang tersistematis dan terstruktur oleh para mafia tanah, para pemburu rente yang mengambil keuntungan dari penderitaan rakyat. Mafia  tanah ini bukanlah individu, seperti calo tanah atau penipu, tetapi merupakan aktor yang terorganisir seperti korporasi, lembaga negara, skema regulasi dan kebijakan seperti bank tanah bahkan aparat keamanan negara seperti polisi dan militer yang saling terkait satu sama lainnya, memanfaatkan relasi kuasa untuk merampas tanah-tanah rakyat.

Maka dari itu kami dari Aliansi Solidaritas Pakel menuntut negara untuk:

  1. Hentikan kekerasan, kriminalisasi dan intimidasi terhadap pejuang agrarian
  2. Lindungi wilayah kelola rakyat, lokasi kuasa rakyat dari perampasan
  3. Usut tuntas mafia tanah (korporasi, kepolisian, TNI, bank tanah, kementerian dan lembaga terkait) yang terlibat dalam perampasan tanah rakyat

 

Narahubung:

Uli Artha (WALHI) – 082182619212
Linda (KPA) – 085852233755
Moh. Soleh (LBH Surabaya)-082330332610