Sektoralisme Membayangi Suramnya Masa Depan Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA

Siaran Pers Bersama
AMAN – HuMa – RMI – WALHI

Jakarta-18 tahun yang lalu, MPR menetapkan sebuah ketetapan maha penting yang menjadi pijakan bagi upaya pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, TAP MPR No. IX/2001 tentang PA-PSDA. TAP MPR ini hadir dari sebuah situasi ketimpangan penguasaan tanah, konflik agraria dan kerusakan lingkungan hidup dan kesedaran lahirnya sebuah payung hukum yang dapat menyelesaikan problem struktural agraria dan sumber daya alam. TAP MPR IX/2001 memandatkan arah kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam diantaranya memandatkan melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor; melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (land reform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun perkkotaan; serta menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria dan sumber daya alam yang timbul selama ini. 

“Sayangnya dari rezim ke rezim pemerintahan, hingga pemerintahan Jokowi periode pertama akan berakhir, dan menjelang pelantikan masa pemerintahan keduanya, janji-janji politik para presiden tidak pernah secara serius dijalankan.  Secara politik, Presiden Jokowi dalam dokumen Nawacita 1 mengatakan akan melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat adat dengan melaksanakan TAP MPR IX/2001 tentang PA-PSDA. Namun sayangnya janji politik tersebut belum juga ditunaikan”, ujar Mardhatillah, Direktur Rimbawan Muda Indonesia.

Pada pidato Kenegaraan 16 Agustus 2019 lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan agenda reformasi perundang-undangan yang akan dijalankan oleh pemerintah. Sayangnya reformasi perundang-undangan yang akan dilakukan, dari semangat yang terlihat justru ke arah dukungan terhadap investasi. Bukan penyelesaian atas pekerjaan rumah yang selama 18 tahun tidak juga dijalankan oleh pemerintah secara benar, yakni TAP MPR No. IX/2001 tentang PA PSDA. Sayangnya reformasi perundang-undangan yang akan dilakukan, dari semangat yang terlihat justru ke arah dukungan terhadap investasi, bukan penyelesaian atas pekerjaan rumah yang selama 18 tahun tidak juga dijalankan oleh pemerintah secara benar, yakni TAP MPR No. IX/2001 tentang PA PSDA”.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI mengatakan bahwa “paradigma usang sektoral dan ego sektoral di masing-masing kelembagaan dengan berpegang pada kebijakan sektoral SDA berkontribusi besar terhadap mandeknya pelaksanaan mandat TAP MPR IX/2001 ini.Bukannya melakukan sinkronisasi kebijakan dan percepatan penyelesaian konflik agraria dan SDA, negara justru semakin memfasilitasi korporasi begitu besar melalui berbagai perizinan yang semakin memperbesar ketimpangan penguasaan agraria dan konflik”.

“Sejumlah paket rancangan regulasi yang tengah disiapkan oleh pengambil kebijakan justru berpotensi semakin memperburuk sektoralisme ini, diantaranya RUU Pertanahan dan RUU Sumber Daya Air, RUU Perkelapasawitan. Kami menilai paket regulasi ini akan semakin mengancam ruang hidup rakyat dan menghancurkan lingkungan hidup. Demikian juga dengan revisi UU KPK yang kami nilai melemahkan KPK dan pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi, termasuk korupsi di sektor SDA yang tidak masuk prolegnas malah dikejar cepat. Sementara, kebijakan untuk pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat, petani, perempuan, nelayan, dan kelompok miskin kota maupun implementasinya justru stagnan. RUU Masyarakat Adat yang juga menjadi janji politik Presiden Jokowi hingga saat ini jalan di tempat”. “Tentu ini mengecewakan”, ujar Rukka Sambolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.

Dahniar Andriani, Direktur Eksekutif Perkumpulan Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) menyatakan dengan situasi dimana kita merasa tanah masih dilangit, maka untuk mengimplementasikan TAP MPR IX/2001 membutuhkan kemauan politik yang sangat kuat dari negara (baik pemerintah maupun parlemen) dan juga tekanan politik yang kuat dari seluruh elemen rakyat.

Masa transisi ini menjadi momentum krusial untuk mengingatkan kembali pemerintahan ke depan agar mandat TAP MPR IX/2001 ini dijalankan. Termasuk memastikan agar pemerintahan ke depan memutus salah satu lingkar sengkarut agraria dan SDA yakni watak sektoralisme dalam pengurusan agraria dan SDA ke depan serta kelembagaan pemerintahan yang akan dibentuk oleh Presiden. (selesai)

Jakarta, 12 September 2019