RUU Cipta Kerja Muluskan Investasi, Ancam Hak Orang Asli Papua

Siaran Pers
WALHI Papua

RUU Cipta Kerja Muluskan Investasi, Ancam Hak Orang Asli Papua

 

RUU Cipta Kerja telah diserahkan pemerintah kepada DPR untuk dibahas bersama pada 12 Februari 2020. Selanjutnya, RUU ini disahkan oleh paripurna DPR untuk dilanjutkan pembahasannya oleh Badan Legislasi dan beberapa Menteri Kabinet Indonesia Maju sesuai Surat Presiden (Supres). Proses pembahasan pun dipaksakan dalam status  Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.

Kondisi ini memperlihatkan Presiden dan DPR lebih berpihak pada kepentingan investasi dibandingkan kepentingan rakyat. RUU yang bermuatan kapitalistik dan pro investasi dikebut paksa untuk menggenjot investasi yang tidak pro terhadap kepentingan kemanusiaan dan lingkungan hidup. Suara-suara penolakan terhadap RUU Cipta kerja sejak wacananya disampaikan Presiden sama sekali tidak didengarkan.

RUU yang berpihak pada kepentingan modal ini tidak hanya merugikan dan memberikan ancaman lingkungan hidup secara nasional. WALHI Papua memandang RUU Cipta Kerja ini juga melahirkan ancaman yang lebih serius kepada kondisi lingkungan hidup di Ekoregion Papua sekaligus pemenuhan hak orang asli Papua sesuai dengan semangat UU Otonomi Khusus Papua. Adapun roh Otsus adalah perlindungan keberpihakan dan pemberdayaan masyarakat Masyarakat adat Papua.

Selain itu, persetujuan bersama Presiden dan DPR terhadap RUU ini sama artinya mengenyampingkan bahkan menghapus kewenangan Otonomi Khusus Papua. “Omnibus Law Cipta Kerja memuat semangat eksploitatif, kewenangannya sentralistik, sangat Jakartasentris. Apabila RUU ini disahkan keselamatan lingkungan dan rakyat Papua jadi taruhannya.

Semangat Otonomi Khusus Papua semakin minor kewenangannya, otonomi khusus hanya akan menjadi janji palsu dalam melestarikan hutan dan sumber daya alam Papua untuk peningkatan kesejahteraan orang asli Papua. Sama halnya dengan janji penghormatan, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Papua yang sampai saat ini sulit terpenuhi.

Beberapa hal krusial terkait keselamatan rakyat yang diatur dalam RUU Cipta kerja adalah dihapusnya izin lingkungan, dipermudah dan direduksinya partisipasi warga dalam penyusunan AMDAL, lemahnya pertanggungjawaban perdata dan pidana korporasi dan dihapusnya hak gugat warga yang diatur oleh UU PPLH. Semangat RUU yang memberikan kemudahan investasi beroperasi akan semakin memarjinalkan orang asli Papua. Papua hanya jadi ladang bagi korporasi tambang, sawit dan kehutanan.

Dengan prosedur yang cukup ketat pada UU 32/ 2009 tentang PPLH saja perizinan sering tidak memperhatikan hak adat orang Papua dan daya dukung serta daya tampung lingkungan. Dengan adanya UU Cipta Kerja tentunya akan menguntungkan korporasi dan sama sekali tidak menguntungkan orang asli Papua.

Tanpa adanya UU Omnibus Law, dari data Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang Papua (KMSTP) tercatat 82 izin perusahaan tambang, 27 izin perusahaan perkebunan kelapa sawit, 22 IUPHHK-Ha dan 8 IUPHHK-HTI. Dengan total konsesi 9.841.061,7 Ha atau 30,73% dari luasan administrasi Provinsi Papua. Kecenderungan selama ini aktivitas koorperasi merusak lingkungan dan berkonflik dengan masyarakat hukum adat Papua. Kemudahan berusaha dan berinvestasi dalam RUU Cipta Kerja tentunya akan memperparah kondisi lingkungan, situasi konflik tenurial, perampasan lahan dan hilangnya akses pangan lokal serta minimnya penghormatan terhadap hak-hak orang asli Papua sebagai pemilik hak ulayat.

Saat ini di Indonesia tengah dilanda Pandemi COVID-19  dengan penambahan penderita positif yang begitu cepat, hingga tanggal 14 April 2020 , tercatat penderita positif 4.557 orang, sembuh 380 orang dan meninggal 399 orang.  Dan untuk di Papua positif 68 orang, sembuh 5 orang dan meninggal 3 orang[1]. Dan perlu diketahui bahwa ketersediaan dokter spesialis Paru hanya 7 orang dan terdapat 60 ventilator di Papua[2]. Sehingga pandemik COVID-19 perlu mendapatkan perhatian dan penangan serius oleh semua pihak, baik pemerinta pusat dan daerah serta masyarakat umum. Pandemi COVID-19 juga berdampak ke sektor ekonomi baik ekonomi Nasional  dan maupun ekononomi masyarakat Indonesia dan khususnya di Papua yang kini mulai terasa.

Maka diharapkan Presiden RI dan DPR RI lebih fokus terlebih dahulu menanggulangi pencegahan penanggulangan dan penyebaran COVID-19 serta penanganan dampak ekonomi yang terjadi akibat pandemi ini.

Menyikapi kondisi ini, WALHI Papua menyampaikan tuntutan, yaitu:

  1. Presiden RI dan DPR RI sepatutnya untuk segera menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja dan fokus pada penanganan COVID-19 dan persoalan kerakyatan lainnya;
  2. Mendesak Gubernur Provinsi Papua, Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua menyampaikan secara terbuka kepada Presiden dan DPR RI untuk  segera menghentikan Pembahasan RUU Cipta Kerja dan fokus pada pembahasan bersama terkait pelimpahan kewenangan otonomi khusus serta menerbitkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan penghormatan, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Papua;
  3. Mendesak kepada yang terhormat seluruh Anggota DPR RI dan DPD RI dari daerah pemilihan Papua untuk menarik diri dan menyatakan menolak untuk melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja.
  4. Menghimbau kepada semua elemen Organisasi Non Pemerintah /CSO di Tanah Papua untuk bersatu menolak pembahasan RUU Omnibus Law. Jika telah disahkan  menjadi UU Omnibus Law akan memudahkan investasi masuk di Tanah Papua yang akan diprediksi berdampak semakin meningkatnya: kerusakan lingkungan, konflik tenurial, perampasan lahan, hilangnya akses pangan lokal. Serta semakin minimnya penghormatan terhadap hak-hak orang asli Papua.

Jayapura, 15 April 2020

Narahubung;

  • Wirya Supriyadi (Koor.Divisi Advokasi WALHI Papua/0812 1858 508)
  • Andi Astriyt Al (Ka.Bidang Analisis & Kajian WALHI Papua/ 0852 4443 6949)

Catatan kaki:
[1] www.covid.go.id diakses pada 14 April 2020
[2] https://tirto.id/betapa-tidak-siap-papua-hadapi-corona-covid-19-eH2S