Rampas, Sebuah Potret Buruk Perizinan Kebun Kayu

Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Jakarta, 4 Oktober 2020 –  Hutan Tanaman Industri (HTI), sebuah framing diksi untuk kegiatan industri esktraktif yang seolah ramah lingkungan. Aktivitas industri ini malah mengalih-fungsikan hutan alam menjadi kebun kayu monokultur skala besar. Seharusnya, HTI tidak patut dipersamakan dengan hutan. Walaupun lokasinya berada di kawasan hutan dan sama-sama terlihat hijau jika dipotret dari ketinggian. Hutan Tanaman Industri, bagaimana pun tetap saja kebun kayu. Siklus operasinya adalah menebang hutan alam, menanam kayu monokultur, tebang, tanam, tebang lagi, begitu seterusnya. Siklus ini hanya sekadar melayani kebutuhan bahan baku industri pulp and paper. Dan bukan melayani kebutuhan masyarakat sekitar.

Kegiatan industri kebun kayu telah meluluhlantahkan hutan alam dan tatanan kehidupan lokal, khususnya masyarakat adat, di banyak sekali tempat. Legalitas kegiatan tersebut, berasal dari beberapa lembar kertas yang ditandatangani menteri. Itulah yang kemudian menjadi legalitas perusahaan untuk menggusur, merampas, dan menggerakkan hukum secara represif dengan mengkriminalisasi masyarakat. Salah satu contohnya terjadi di Riau. Di sana terdapat konflik berkepanjangan antara Masyarakat Adat Sakai vs PT. Arara Abadi. Konflik ini sudah terjadi sejak tahun 1996 dan masih berlangsung sampai saat ini. Dan film singkat bertajuk Rampas (2020) ini, coba memotret praktik buruk industri kebun kayu. Terutama dalam menghancurkan keanakaragaman hayati dan daulat masyarakat adat Sakai.

“Bagi WALHI, film ini menjadi alat untuk mengingatkan negara dan publik bahwa janji manis investasi ternyata berbuah pahit bagi masyarakat adat Sakai. Janji kebijakan korektif sektor kehutanan tidak sampai di wilayah adat Sakai, bahkan terhadap masyarakat adat dan lokal lainnya” sebut Nur Hidayati, Direktur WALHI.

Dominasi perizinan kebun kayu atas kawasan hutan Indonesia dapat dilihat dari luas areal kerjanya. Kini sudah mencapai sekitar 11 juta hektar. Luas izin kebun kayu ini, setara dengan 20 kali luas Pulau Bali atau setara dengan 154 kali luas Negara Singapura. Dominasinya terhadap kawasan hutan, menempati posisi kedua setelah perizinan Hak Pengusahaan Hutan (tebang kayu alam).

Luas perizinan kebun kayu meninggalkan jauh capaian akses legal rakyat di kawasan hutan. Terhitung sejak 24 Juni 2020, capaian implementasi kebijakan atau program perhutanan sosial hanya mencapai 4.194.689 hektar. Apabila dibandingkan dengan total penguasaaan korporasi atas kawasan hutan Indonesia, angka capaian perhutanan sosial jauh tertinggal. Sebab saat ini sekitar 33.448.501, 37 hektar telah dibebankan perizinan.  

“Dominasi penguasaan kawasan hutan Indonesia oleh korporasi merupakan akar persoalan langgengnya konflik dan hilangnya tutupan hutan Indonesia. Fakta ketimpangan ini diakui secara tegas oleh negara dalam konsideran TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sayangnya, solusi menyelesaikan persoalan ini malah dilakukan dengan cara mendorong pengesahaan RUU Cipta Kerja omnibus law. RUU yang secara substansi malah melanggengkan dominasi korporasi dan menaruh lingkungan hidup Indonesia dalam ancaman kehancuran,” tutup Nur Hidayati.

Narahubung:

  • Ode Rakhman (081356208763)
  • Even Sembiring (085271897255)