Publik Turut Mendesak Pemerintah Untuk Menghentikan Pembangunan Di Taman Nasional Komodo

Apa yang salah dengan kebijakan Pemerintah yang ingin mengemas potensi Taman Nasional Komodo sebagai objek wisata premium? Belakangan, khalayak ramai dengan rekomendasi UNESCO terkait pembangunan infrastruktur di kawasan konservasi tersebut. Setidaknya ada dua poin penting dalam rekomendasi yang disampaikan pada sidang Komite Warisan Dunia ke-44 yang berlangsung di Fuzhou, China pada tanggal 16 – 31 Juli 2021.

Pertama, UNESCO mendesak Indonesia untuk menghentikan proyek-proyek infrastruktur pariwisata di dalam dan sekitar lokasi Taman Nasional Komodo yang memiliki potensi dampak pada nilai OUV (Outstanding Universal Value) sampai revisi AMDAL diserahkan dan ditinjau oleh IUCN. Kedua, UNESCO juga meminta Indonesia untuk mengundang World Heritage Centre/IUCN guna memantau secara langsung dampak lingkungan yang terjadi akibat pembangunan serta meninjau status konservasi dari Taman Nasional Komodo.

Menanggapi hal ini, Walhi bersama Sunspirit for Justice and Peace menyelenggarakan diskusi bertajuk "Taman Nasional Komodo dalam Bahaya: Respon Publik terhadap Peringatan UNESCO kepada Pemerintah Indonesia" pada 5 Agustus 2021 lalu. Acara ini dipandu oleh Rima Melani Bilaut, Deputi Eksekutif Daerah Walhi Nusa Tenggara Timur. Dalam diskusi ini hadir sebagai pembicara:

  • Venan Haryanto, Sunspirit for Justice and Peace
  • Umbu Wulang, Direktur Walhi Nusa Tenggara Timur
  • Doni Parera, Pegiat Konservasi
  • Aleksander, Pelaku Pariwisata Lokal
  • Grita Anindarini, Indonesian Center for Environment Law
  • Nur Hidayati, Direktur Walhi Nasional
  • Yohanis Fransiskus Lema, Anggota DPR RI Komisi IV

Adapun apa yang disampaikan pembicara pada diskusi tersebut kami rangkum sebagai berikut.

Venan Haryanto, Sunspirit For Justice and Peace

Respon UNESCO yang sudah sejak lama ditunggu ini patut diapresiasi. Perjuangan terkait pembangunan Taman Nasional Komodo yang membahayakan konservasi, ekonomi pariwisata berbasis komunitas atau ekonomi pariwisata warga, dan juga ruang penghidupan masyarakat lokal sudah berlangsung sejak tahun 2018. Namun, pembangunan tersebut semakin meningkat dengan ditetapkannya Labuan Bajo dan sekitarnya sebagai Kawasan Strategis Nasional pada tahun 2019.

Meskipun respon UNESCO ini terlambat, mengingat pembangunan di Pulau Rinca sudah berjalan hampir 90%, tetapi pemerintah diharapkan menanggapinya secara serius, terutama untuk proyek-proyek yang belum masuk ke tahap pembangunan namun dokumen perencanaannya sudah disiapkan. Upaya ini juga diharapkan tidak hanya fokus pada Pulau Rinca tetapi juga rencana pembangunan lainnya misalnya di Pulau Padar dan Pulau Komodo.  Pemerintah diharapkan bisa memberi informasi yang jelas dan menyeluruh terkait rencana pembangunan tersebut.

Umbu Wulang, Direktur WALHI Nusa Tenggara Timur

Respon UNESCO merupakan hasil dari perjuangan bersama masyarakat di tingkat tapak, pegiat konservasi, kolega, NGO, maupun komunitas yang ada di Indonesia Timur yang terus mengawal proses tersebut. Sekalipun  permintaan dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) oleh UNESCO seharusnya sudah dilakukan jauh sebelum pembangunan berjalan dan sebelum AMDAL tersebut dijadikan acuan untuk melakukan pembangunan di Pulau Rinca, respon UNESCO ini merupakan peringatan serius kepada Pemerintah agar lebih peduli untuk tidak lagi mengeluarkan ijin-ijin yang justru tidak berpihak pada kepentingan konservasi dan  tidak berpihak pada pemulihan kebudayaan rakyat Suku Ata Modo.

Baca Juga: TN Komodo Dalam Bahaya: Respon Publik Terhadap Peringatan UNESCO Kepada Pemerintah Indonesia 

Doni Parera, Pegiat Konservasi

Meskipun terlambat, himbauan UNESCO dan menjadi momentum bagi kita semua khususnya Pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan apa yang telah dan akan dilakukan pada Taman Nasional Komodo. Ketika kita setuju bahwa situs ini merupakan warisan dunia, setiap perubahan yang ada di Taman Nasional Komodo seharusnya atas persetujuan masyarakat sebagai "pewaris" situs tersebut.

Pembangunan di Taman Nasional Komodo ini dapat membahayakan konservasi. Satwa purba tersebut  telah bertahan hidup selama ratusan tahun tanpa campur tangan manusia. Sementara, pembangunan yang dilakukan demi kepentingan ekonomi dan pariwisata tersebut hanya berdasarkan apa yang baik bagi kita (sebagai manusia.red) tanpa memperhatikan dampak bagi satwa tersebut. Konservasi dalam bahaya dengan ijin yang telah diberikan Pemerintah kepada perusahaan-perusahaan yang dapat merusak kawasan konservasi tersebut.

Kemudian, ada ketidakadilan bagi masyarakat Kampung Komodo yang telah menyerahkan lahan mereka untuk menjadi kawasan Taman Nasional Komodo tanpa ganti rugi, dan dengan kearifan lokal mereka menjaga komodo siang-malam sebagai saudara mereka. Selama ini, sekitar 2.000 penduduk di Kampung Komodo hidup berjejal dalam lahan seluas 17 hektar dan akan berhadapan dengan hukum jika merambah lahan di luar itu. Sementara Pemerintah memberi ijin puluhan tahun kepada pengusaha untuk menggarap lahan seluas 600-an hektar.  Mengapa pemerintah kemudian tidak memberdayakan masyarakat Kampung Komodo sebagai agen konservasi sejati untuk mengelola wilayah tersebut dibandingkan pemodal yang hanya mengambil keuntungan yang bersifat sementara? Bagaimana dengan nasib masyarakat lokal jika komodo sudah hilang?

Sehingga, himbauan dari UNESCO ini sangat baik, agar Pemerintah meninjau kembali kebijakan yang telah dan akan mereka lakukan, karena kebijakan itu membahayakan konservasi dan tidak adil.

Saat ini matapencaharian masyarakat sudah berubah dari yang dulunya nelayan menjadi pelaku industri pariwisata seperti anak buah kapal, pedagang oleh-oleh, pembuat patung komodo, dan sebagainya. Jika pembangunan resortmewah terus dilakukan dan masyarakat lokal tidak diberi porsi, maka masyarakat akan kembali menjadi nelayan yang dapat membahayakan konservasi. Hal ini sudah terlihat di masa ambruknya pariwisata saat ini dimana, ketika peralatan melaut sudah tidak ada, nelayan terpaksa mengambil kerang mata tujuh dengan cara yang dapat merusak karang. Ini yang terjadi akibat Covid, bagaimana jika kondisi tersebut nantinya berkepanjangan? Agar tidak ada kecemburuan dan kerugian bagi siapapun, biarkanlah pengelolaan Taman Nasional Komodo berjalan seperti yang sudah dilakukan oleh Pemerintah selama ini.

Aleksander, Pelaku Pariwisata Lokal

Tanggapan UNESCO sekarang ini bagus, walaupun itu terlambat, namun agar pembangunan yang direncanakan di pulau lainnya, seperti di Pulau Padar dan Pulau Komodo, tidak dilanjutkan. Pertanyaannya adalah, mungkikah UNESCO untuk menghentikan kegiatan yang sedang berlangsung di Pulau Rinca sekarang?

Kami sudah beberapa kali demo di Manggarai Barat, Labuan Bajo untuk menolak itu bahkan saat pembangunan tersebut direncanakan. Sementara, UNESCO baru memberi tanggapan ketika pembangunan sudah berjalan di Pulau Rinca. Ada apa di balik itu? Kenapa terlambat?

Banyak aktivis kami di Labuan Bajo yang sudah melakukan kegiatan penolakan hingga terjun ke lapangan untuk mencabut patok-patok yang telah dipasang di sana. Saya mengapresiasi teman-teman sudah bekerja keras tetapi itu tidak dihiraukan oleh Pemerintah.

Apa yang kita jual kepada turis adalah alam. Berdasarkan pengalaman kami di lapangan, adanya bangunan yang kecil saja dipertanyakan oleh turis-turis tersebut, apalagi bangunan besar yang sedang dikerjakan sekarang. Mereka mengeluhkan kondisi Taman Nasional Komodo saat ini, dengan agenda pembangunan yang besar, tidak sesuai dengan statusnya sebagai kawasan konservasi.

Taman Nasional Komodo begitu penting sebagai ikon pariwisata Flores khususnya, Indonesia secara nasional, dan internasional. Bayangkan jika pembangunan sudah merambah Pulau Komodo dan Pulau Padar atau pulau lainnya. Pulau Padar merupakan surga dengan pemandangan indah yang dikagumi banyak orang ketika melakukan tracking di sana. Namun ketika nanti di situ ada bangunan maka alam tersebut akan rusak. Saya senang dengan peringatan dari UNESCO agar pembangunan yang ada sekarang tidak berlanjut atau merambah pulau-pulau lain.

Grita Anindarini, Indonesian Center For Environment Law

Sebelumnya, kita mengapresiasi peringatan UNESCO terhadap pembangunan Jurassic Park di Taman Naisonal Komodo.  Jika melihat pada prosedur operasional pengembangan Warisan Dunia, seharusnya dokumen lingkungan seperti AMDAL dan sebagainya seharusnya sudah dibicarakan dengan pihak UNESCO sejak awal bahkan sebelum adanya pendanaan dan perijinan.

Ada dua kriteria yang menjadikan Taman Nasional Komodo sebagai situs Warisan Dunia berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN). Tidak hanya karena adanya  komodo yang sangat langka dan patut dikonservasi, tetapi juga karena adanya bentang alam yang sangat khas dan indah seperti savana dan terumbu karangnya. Sehingga hal tersebut menjadi satu kesatuan yang penting untuk dikaji dalam penyusunan dokumen lingkungan suatu pembangunan.

Yang ingin ditekankan di sini adalah UNESCO bersama IUCN memiliki peraturan atau prosedur yang sangat ketat terkait boleh tidaknya pembangunan di suatu kawasan Warisan Dunia. Prosedur tersebut dituangkan dalam World Heritage Operational Guidelines dan IUCN Advice Note 2013 yang mensyaratkan penyusunan dokumen lingkungan yang memperhatikan seluruh aspek (komprehensif), dan melibatkan publik atau masyarakat secara luas. Penyusunan dokumen lingkungan ini  harus dilakukan pada tahap perencanaan.

Dokumen lingkungan tersebut tidak hanya berisi kajian dampak pembangunan dan bagaimana mengelola dampak tersebut, tetapi juga dapat menawarkan solusi 'no project' atau peniadaan pembangunan di suatu kawasan.

Sebelum pembangunan dilakukan, sebenarnya UNESCO mensyaratkan adanya pengajuan atau proposal pembangunan yang harus disetujui oleh World Heritage Committee. Bahkan pengajuan tersebut harus dilakukan sebelum proses pendanaan dan perijinan.

Ada beberapa macam dokumen lingkungan hidup di antaranya ialah Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL), dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL). Dokumen AMDAL diperlukan untuk suatu usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting. Jika suatu suatu usaha dan/atau kegiatan dianggap tidak berdampak penting maka  yang diperlukan hanya dokumen UKL/UPL.

Berdasarkan peraturan yang berlaku, untuk pembangunan di atas kawasan lindung seperti Taman Nasional Komodo, penyusunan dokumen lingkungan berupa AMDAL wajib dilakukan. Namun, pembangunan proyek di Taman Nasional Komodo kemudian dianggap memenuhi syarat pengecualian AMDAL mengikuti Permen LHK Nomor 38 Tahun 2019. Pengecualian tersebut dikarenakan sudah ada dokumen Rencana Pengelolaan Taman Nasional Komodo; Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Alam; Site Plan, Detail Engineering Design (DED), dan AMDAL Sarana Prasarana Wisata Alam.

Khusus untuk dokumen lingkungan pada pembangunan yang ada di kawasan berstatus Warisan Dunia, ada delapan prinsip yg harus diperhatikan. Pertama, kajian lingkungan harus dilakukan dengan sangat amat teliti dari tahap awal, dari tahap perencanaan. Ke dua, kajian tersebut harus melibatkan ahli di bidang situs Warisan Dunia, ahli pelestarian atau konservasi, dan ahli kawasan lindung.

Ke tiga, seharusnya ada bab tersendiri terkait bagaimana dampak pembangunan terhadap Nilai Universal Luar Biasa (Outsanding Universal Value/OUV). OUV merupakan nilai yang ditetapkan oleh UNESCO, dimana nilai ini menjadi salah satu penentu apakah suatu objek bisa termasuk ke dalam Warisan Dunia.

Pada dokumen lingkungan harus dijelaskan dampak apa saja yang ditimbulkan pembangunan dan seberapa besar pengaruh dampak tersebut terhadap OUV (ke empat). Kemudian, pada dokumen ini dicantumkan langkah-langkah pencegahan untuk dampak negatif yang dapat dihindari dan  upaya pengurangan untuk  dampak negatif yang tidak dapat dihindari (ke lima).

Dan yang paling penting adalah melibatkan masyarakat  seluas-luasnya secara transparan dan dalam setiap tahap misalnya adanya konsultasi publik pada tahap perencanaan, tahap AMDAL, dan pada tahap penilaian AMDAL.

Yang kami lihat pada dokumen UKL/UPL di Pulau Rinca, dokumen ini belum mengkaji secara menyeluruh terkait dampak pembangunan terhadap habitat komodo. Ada beberapa kegiatan yang menimbulkan kebisingan dan penurunan kualitas udara namun tidak dikaji bagaimana dampak gangguannya terhadap komodo. Kemudian, tidak ada kajian dampak-dampak terhadap siklus kehidupan komodo seperti rantai makanannya dan sebagainya. Ada kegiatan yang berdampak pada penurunan satwa liar dan biota perairan namun tidak dikaji bagaimana dampak ini selanjutnya berpengaruh pada kehidupan komodo.

Upaya mitigasi belum memenuhi prinsip ke lima dan ke enam dalam kajian lingkungan Warisan Dunia. Dalam dokumen UKL/UPL ini, pada sebagian besar kegiatan hanya menjelaskan bagaimana cara menghindari dampak negatifnya. Sementara, penjelasan bagaimana cara mengurangi dan terutama cara memperbaiki dampak tersebut tidak banyak disebutkan pada berbagai kegiatan yang dapat menimbulkan dampak negatif. Pada dokumen kajian lingkungan tersebut juga tidak ada bab khusus yang menjelaskan bagaimana dampak pembangunan tersebut terhadap OUV, dimana OUV di sini tidak hanya fokus pada komodo tetapi juga savana, terumbu karang, dan garis pantainya.

Terakhir ialah kaitannya dengan prinsip ke tujuh, yaitu pelibatan masyarakat pada berbagai tahap. Konsultasi publik dalam penyusunan dokumen UKL/UPL, memang tidak sebesar AMDAL. Selain itu, perlu dilihat lagi apakah pada penyusunan dokumen lainnya seperti desain tapak (Site Plan) atau rancangan teknis (DED), dan AMDAL Sarana dan Prasarana Pariwista Alam sudah melibatkan masyarakar terdampak dan pemerhati lingkungan hidup. Sesuai dengan prinsip ke dua, seharusnya juga melibatkan ahli warisan dunia, ahli konservasi, dan ahli kawasan lindung.

Seharusnya kita tidak terjebak pada "apakah syarat ada tidaknya dokumen lingkungan hidup sudah terpenuhi". Namun, lebih kepada apakah dokumen-dokumen tersebut dapat mengurai dampak-dampak penting pembangunan terhadap Taman Nasional Komodo.

Seharusnya ada dokumen AMDAL yang mengkaji dampak lingkungan secara menyeluruh dan menyajikan berbagai pilihan pendekatan. Penyusunan dokumen AMDAL tersebut juga harus melibatkan masyarkat seluas-luasnya serta ahli warisan dunia, ahli konservasi, dan ahli kawasan lindung. Proses penyusunan AMDAL ini kemudian harus diberitahukan kepada UNESCO untuk mendapat persetujuan World Heritage Committee. Selama seluruh proses tersebut belum selesai, selama AMDAL baru belum tersusun dan belum disetujui UNESCO, seharusnya pembangunan tidak dilanjutkan.

Pencabutan status Warisan Dunia sebenarnya sudah terjadi beberapa kali, salah satunya di Liverpool. Jadi hal serupa mungkin saja bisa terjadi pada Taman Nasional Komodo, namun mekanismenya belum dipelajari lebih lanjut.

Pengambil kebijakan perlu melihat dan paham bahwa konsekuensi dari status Warisan Dunia ialah adanya prosedur yang sangat ketat dalam menentukan pembangunan di kawasan tersebut. Pedoman-pedoman yang telah dikeluarkan UNESCO dan IUCN seharusnya bisa betul-betul menjadi alat dan dasar dalam melakukan kajian. Selain itu, pelibatan masyarakat juga sangat penting dalam melakukan kajian tersebut.

Baca Juga: Hentikan Proses Pembangunan atas nama Investasi yang Merusak Ekosistem Komodo 

Nur Hidayati, Direktur WALHI Nasional

Berbicara terkait ekosistem komodo, tidak hanya berbicara tentang komodo dan lansekapnya tetapi juga masyarakat di dalamnya. Ada ketidakadilan yang kronis dari negara terhadap masyarakat Ata Modo yang telah rela berkorban menyerahkan wilayah adat mereka untuk dijadikan kawasan Taman Nasional Komodo dan dibatasi kegiatannya untuk tidak melakukan pembangunan di luar lahan permukiman seluas 17 hektar.  Sementara, Pemerintah memberikan keleluasan kepada pengusaha-pengusaha yang hanya ingin mendapat keuntungan dari cagar alam tersebut.

Kemudian, kita jangan hanya melihat sekedar ada tidaknya dokumen yang disyaratkan tetapi lebih kepada substansi yang mementingkan keberadaan masyarakat Ata Modo, komodo, beserta ekosistemnya. Aspirasi masyarakat yang menolak pembangunan di kawasan konservasi tersebut harus dihormati. Jangan sampai jika ada AMDAL baru nantinya malah hanya menjadi penguatan untuk melanjutkan pembangunan yang sudah ditolak oleh masyarakat secara luas sejak awal.

Peringatan UNESCO ini kemudian menegaskan bahwa Pemerintah hanya melihat status Warisan Dunia sebagai branding atau pembentukan citra untuk menarik minat wisatawan. Sementara, bagi masyarakat lokal, Taman Nasional Komodo adalah suatu kebanggaan karena merupakan warisan bagi masyarakat lokal dan dunia yang tidak ada duanya. Meskipun respon UNESCO tersebut terlambat tetapi tetap menjadi suatu kemajuan yang penting.

Sebagaimana rekomendasi UNESCO, seluruh pembangunan harus dihentikan sampai proses AMDAL benar-benar diselesaikan. Kami juga meminta pihak UNESCO bisa meninjau langsung situasi di lapangan bahwa promosi wisata yang dilakukan Pemerintah selama ini tidak mensejahterakan masyarakat lokal yang telah hidup berdampingan dengan komodo selama ribuan tahun dan menjaganya sehingga tidak punah.

Kita kemudian jangan terjebak pada legal formal atau dokumen yang menjadi persyaratan tetapi lebih kepada pentingnya keberadaan komodo dan ekosistemnya, serta hak masyarakat untuk memilih model kehidupan seperti apa yang ingin mereka jalani, dan hak mereka untuk mengatakan "tidak" pada pembangunan yang dipaksakan, tidak melibatkan masyarakat, dan hanya akan merugikan mereka untuk jangka waktu yang panjang.

Sebenarnya Pemerintah harus memfasilitasi bukan justru membunuh penghidupan masyarakat lokal saat ini yang sudah rela beralih dari nelayan menjadi pelaku pariwisata. Adalah suatu keharusan bagi Pemerintah untuk melibatkan masyarakat sebagai aktor utama, khususnya masyarakat Ata Modo yang sangat memahami situasi kawasan konservasi tersebut dan memiliki penghormatan terhadap komodo beserta keseluruhan ekosistemnya. Ini harus diperhatikan jika Pemerintah masih ingin komodo ini terus lestari dalam jangka waktu yang lama.

Dibutuhkan manajemen atau pengaturan agar pariwisata bisa sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta tidak menganggu ekosistem komodo. Pengaturan tersebut juga harus melibatkan masyarakat setempat yang selama ini sudah menjadi pelaku pariwisata, bukan kemudian berpihak pada pengusaha skala besar yang akan menimbulkan dampak sosial kepada masyarakat. Sekarang bisa kita gaungkan, hentikan pariwisata yang berlabel premium ini karena hanya akan mengakibatkan lebih banyak dampak negatif kepada masyarakat maupun kepada ekosistem Taman Nasional Komodo.

Yohanis Fransiskus Lema (Ansy Lema) Anggota DPR RI Komisi IV

Saya memberikan apresiasi kepada UNESCO dimana sikap tersebut sama dengan spirit (semangat) perjuangan saya secara pribadi selama ini. Semangat perjuangan tersebut ialah agar pembangunan pariwisata di Taman Nasional Komodo lebih  mementingkan konservasi. Namun, saya juga memberi kritik terhadap keterlambatan respon UNESCO sementara pembangunan sudah 70% lebih.

Sikap pribadi saya terhadap Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ialah bahwa sebelum melakukan pembangunan apalagi yang merombak, melakukan betonisasi di Taman Nasional Komodo, tolong berikan kami kajian yang komprehensif (menyeluruh) yang mencakup berbagai sudut pandang tidak hanya dari aspek ekonomi tetapi juga dari sudut pandang konservasi, ekologi, sosiologi, dan antropologi. Kajian tersebut harus melibatkan aktor yang beragam, dengan ahli yang berbeda-beda, dan harus mendengarkan aspirasi dan suara masyarakat.

Mengapa UNESCO baru meminta AMDAL setelah pembangunan berjalan? Apakah selama ini UNESCO tidak mengikuti proses tahapan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia lewat KLHK?

DPR sangat peduli dengan aspek konservasi ini. Buktinya, Venan dan Akbar sebagai wakil masyarakat Ata Modo pernah kami hadirkan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di kantor DPR RI, Senayan, Jakarta. Hal ini menjadi bagian dari mainstreaming (menggaungkan) isu konservasi di Taman Nasional Komodo.

KLHK seharusnya menjadi benteng terakhir dan pilar penting dalam menjaga konservasi, bukan memberi karpet merah kepada perusahaan besar untuk melipatgandakan keuntungan yang kemudian mencederai lingkungan hidup. Jika bicara soal Taman Nasional Komodo, sudut pandang yang paling utama seharusnya adalah konservasi, bukan investasi oleh perusahaan besar. Dan jika bicara konservasi, maka yang harus kita dahulukan bukan cuma satwa endemik komodo tetapi juga ekosistem, habitat, serta masyarakat adat yang hidup di situ.

Bicara soal Taman Nasional Komodo, kita harus bisa membuat pilihan antara membangun wisata berorientasi massal (yang mendatangkan banyak orang) atau wisata berbasis alam, sehingga ada peraturan-peraturan ketat yang tidak bisa kita toleransi.

Kami saat ini sedang membentuk Panitia Kerja untuk melakukan revisi atau perbaikan  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE). Salah satu poin yang kami sasar adalah terkait zonasi. Jangan  sampai zonasi ini menjadi pembenaran untuk semakin memberi ruang yang besar kepada investasi yang kemudian bisa mengancam konservasi dan di sisi lain zonasi ini justru memperkecil ruang gerak satwa endemik dan masyarakat lokal.

Menanggapi pertanyaan terkait jika hasil penelitian yang dilakukan dapat bersifat politis apakah suara masyarakat masih menjadi pertimbangan utama? Maka, penelitian tersebut harus transparan dan diuji secara ilmiah. DPR memiliki mekanisme untuk menguji coba penelitian dan kajian melalui Rapat Dengar Pendapat Umum dengan mengundang berbagai pihak dari kampus (akademisi), lembaga penelitian, pelaku pariwisata, pegiat konservasi, semua pihak bisa datang dan menyampaikan. DPR memang lembaga politis tetapi dalam pengambilan kebijakannya bisa menggunakan pendekatan yang sangat akademis dengan melibatkan berbagai pihak.

Pembangunan pariwisata harus berangkat dari sudut pandang komunitas. Rakyat juga harus mendapat manfaat dari hal tersebut. Poin utamanya adalah konservasi komodo beserta ekosistemnya, termasuk juga penguatan pemberdayaan masyarakat adat yang ada di Taman Nasional Komodo.

Kesimpulan

Dengan telah disampaikannya respon publik terhadap peringatan UNESCO terkait pembangunan di Taman Nasional Komodo pada diskusi ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa publik mendukung desakan UNESCO agar Pemerintah menghentikan pembangunan infrastruktur pariwisata yang saat ini sedang berlangsung di Taman Nasional Komodo sampai disusun AMDAL baru dan ditinjau oleh IUCN. Dokumen kajian lingkungan hidup tersebut harus benar-benar dilakukan secara menyeluruh (komprehensif), melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya khususnya masyarakat lokal, memperhatikan aspirasi masyarakat lokal,  dan melibatkan berbagai ahli, sehingga dokumen tersebut bukan sekedar untuk "memenuhi syarat" atau justru menjadi pembenaran untuk pembangunan yang dapat membahayakan konservasi. Pembangunan di Taman Nasional Komodo harus mengutamakan konservasi, bukan investasi. Konservasi tersebut tidak hanya berfokus pada komodo dan ekosistemnya tetapi juga masyarakat lokal yang selama ini menjadi agen konservasi sejati.

Simak juga: ATA MODO full Movie