Produk Kampung, Bukan Berarti Kampungan

Sahabat WKR, dalam pergaulan keseharian, baik dalam lingkar keluarga, teman sejawat ataupun dalam perbincangan kelompok-kelompok sosial tertentu sering kita dengar ucapan yang lebih mendekati umpatan lewat kata“kampungan” untuk men-judge seseorang dan atau sekelompok orang yang berperilaku diluar kebiasaan kelompok sosialnya juga untuk sesuatu yang dianggap tidak mengikuti trend (kolot) juga selalu diidentikan dengan sikap-sikap terbelakang. Dalam terminologi bahasa, kampungan adalah kata sifat dari asal kata kampung. Dan menurut kamus bahasa indonesia, ada kemungkinan kata kampung diambil dari bahasa Portugis yakni campo, tempat perkemahan atau satuan kelompok rumah yang merupakan bagian kota (biasanya dihuni orang berpenghasilan rendah).  Istilah kampung sendiri memiliki sebutan yang berbeda di beberapa daerah di Indonesia, seperti  dalam bahasa Aceh disebut gampong dan dalam bahasa Minang disebut kampuang. Dalam kesehariannya, orang kampung biasanya identik dengan sifat guyub, polos atau nrimo serta selalu terbuka untuk membantu orang lain. Bisa jadi kepolosan dan ketulusan dalam membantu ini  yang sering menjadi awal dari olok-olok oleh masyarakat urban dan atau sub urban yang cenderung memiliki sifat dan karakter yang hedon dan materialis. Kita lupakan sejenak tentang olok-olok tersebut, mari kita tengok bagaimana orang kampung juga bisa membuat trend baru untuk masyarakat urban, terutama  bagi para pencari dan penikmat kesehatan serta ketenangan hidup. Trend ini banyak yang tidak diketahui oleh orang kampung itu sendiri, bisa jadi karena mereka  minim akses informasi  terhadap dinamika masyarakat urban dan atau sub urban atau mungkin juga karena mereka tidak suka untuk membicarakan dan atau mengusik kehidupan orang lain dan selalu menyibukan diri dengan aktivitas keseharian mereka. Mari kita lihat beberapa hal yang menjadi trend serta digandrungi oleh masyarakat urban dalam bentuk produk maupun aktivitas yang biasa dilakukan dan dikonsumsi oleh orang kampung:

  1. Ayam kampung,

Di dunia kuliner, ayam kampung sebagai menu makanan favorit tentu sudah tidak asing lagi, selain karena memang lezat juga lebih sehat daripada ayam brioler serta nilainyapun dihargai lebih tinggi. Lalu bagaimana orang kampung memelihara ayamnya? Dalam kehidupan keluarga di kampung, belum lengkap rasanya jika tidak memiliki peliharaan di sekitar rumah, dan ayam kampung biasanya menjadi pilihan utama mereka. Ayam yang mereka pelihara selain berfungsi sebagai sumber protein keluarga juga berfungsi sebagai mata rantai penting dalam pengelolaan limbah, terutama yang berasal dari dapur seperti sisa sayuran, sisa makanan dan juga sebagai pengendali hama tanaman di sekitar rumah. Dalam proses pemeliharaannya, ayam kampung dipelihara secara alami, mulai dari penetesan (oleh induknya)hingga tumbuh kembangnya. Karenanya ayam kampung rata-rata membutuhkan 3 bulan untuk sampai dikonsumsi, bandingkan dengan ayam broiler yang hanya membutuhkan waktu 25-30 hari. Dari sisi produktifitas tentu saja ayam broiler  lebih cepat  mendatangkan hasil untuk skala usaha (lebih cepat bukan berarti selalu lebih menguntungkan bukan?), namun jika menilik dari sisi kesehatan tentu saja ayam kampung jauh lebih sehat.

  1. Telor bebek angon

Sebelum berkembang teknik pemeliharaan ternak secara intensif dengan pemberian pakan pabrikan, proses pemeliharaan bebek petelor di kampung selalu mengandalkan pada proses yang lebih alami dengan mengandalkan pakan yang ada di sekitar kampungnya, seperti dedak padi, daging batang sagu/kirai, sisa potongan singkong dan sebagai sumber proteinnya dari  keong – keongan  yang banyak terdapat di sawah. Teknik lain juga yang biasa digunakan oleh peternak di kampung adalah dengan mengangon bebek ke wilayah persawahan yang baru dipanen, dalam pelaksanaannya mereka bisa ngangon hingga puluhan kilometer dan tidak pulang dalam jangka waktu  sebulan bahkan lebih. Telor yang dihasilkan dari pola angon ini diyakini lebih sehat dan mengandung omega 3 lebih banyak dibandingi telor yang dihasilkan melalui proses ternak intensif. Perlu diketahui, model angon di sawah selain sebagai teknik pemberian pakan secara alami juga model ini adalah bagian dari pola pengendalian hama terpadu (terutama untuk padi umur  diatas satu bulan dan sebelum masa bunting). Bebek selain mencari keong juga akan memakai berbagai jenis serangga yang mengganggu tanaman padi seperti ulat, belalang, wereng dll.

  1. Salad

setiap kita makan di hotel atau menghadiri jamuan makan dari kelompok masyarakat middle-up, salad selalu menjadi salah satu hidangan yang selalu ada. Kreatifitas dalam memberikan sentuhan akhir sajian serta keahlian dalam meramu komposisi  bahan baku telah memunculkan ragam istilah untuk jenis sajian salad ini. Di wikipedia salad dijelaskan jenis makanan yang terdiri dari campuran sayur-sayuran dan bahan-bahan makanan siap santap. Salad didefinisikan oleh The Dictionary of American Food and Drink, sebagai makanan yang berupa sayur-sayuran hijau yang disiram dengan berbagai bumbu dan saus, kemudian ditambahkan dengan sayuran atau buah-buahan lain. Nah mari kita tengok kembali ke kampung, apa yang telah dilakukan nenek moyang kita di dapurnya masing-masing dalam meramu dan menyajikan makanan untuk keluarganya. Kita tentu tidak asing dengan istilah Urap, yakni jenis hidangan teman nasi dan lauk yang sudah diolah dengan mencampur berbagai macam bahan seperti pada salad. Sayuran yang menjadi bahan utama diantaranya: lembayung, kecipir, kacang polo, pucuk kenikir, petai cina dll. yang kemudian dicampur dengan parutan kelapa dan aneka bumbu dapur lainnya. Dalam perkembanganya masyarakat kemudian mengembangkan aneka hidangan yang memiliki basis yang sama yakni aneka sayuran seperti karedok  yang beiri aneka sayuran mentah serta dibumbui kacang tanah dan aneka bumbu dapur lainnya  juga ada pecel dimana semua sayurannya direbus atau  dikukus terlebih dahulu serta. Hhmm... cukup sehat bukan?

  1. Pupuk organik

Kembali ke alam, go organic, pertanian organik, makanan organik dll. Istilah yang sangat sering kita dengarkan ketika orang bicara tentang makanan yang sehat, berbincang tentang model pertanian yang berkelanjutan juga bicara tentang kedaulatan petani.  Saking digandrunginya produk dari pertanian organik ini, konsumen berani membeli dengan harga yang jauh lebih mahal. Imbas dari kebutuhan yang besar tersebut, tentu saja dunia industri pun kepincut untuk menikmati kue ekonomi melalui berbagai sarana produksi berlebel organik dan bahkan ada juga yang langsung turun menjadi produsen penyuplai. Di lingkup internasional juga sudah banyak bermunculan lembaga lembaga yang mempromosikan produk organik dan juga memfungsikan diri sebagai pelaksana sertifikasi organik atas produk organik yang dihasilkan masyarakat dan atau perusahaan. Lalu darimana sebenarnya praktik bertani organik tersebut berasal? Mari kita tengok kehidupan bertani/berkebun masyarakat di kampung baik perkampungan di indonesia maupun perkampungan di negara-negara lain. Secara umum masyarakat kampung/desa sebelum adanya pabrikasi pupuk dan pestisida/herbisida kimia selalu menggunakan bahan yang ada di sekitar wilayahnya. Berangkat dari pengalaman berinteraksi dalam rentang waktu yang cukup lama, mereka menemukan berbagai macam teori dan pola dalam membantu pertumbuhan dari tanaman dan atau ternak yang mereka pelihara. Berikut beberapa praktik organik ala orang kampung yang sayangnya juga mulai terkikis oleh budaya instan:

  • Mengumpulkan daun dan ranting yang jatuh di sekitar batang pohon itu sendiri (terutama untuk jenis pohon besar), perilaku ini sebenarnya proses pemberian hara pada tanaman itu sendiri melalui proses komposting yang dikerjakan langsung di sekitar pohonnya. Methode tersebut memiliki 2 tahapan proses yakni aerob untuk sampah yang ada di permukaan serta methode an aerob untuk sampah yang sudah tertimbun tumpukan sampah baru lainnya. Dengan methode ini proses komposting akan memiliki 2 karakter serta memiliki mikroorganisme yang lebih lengkap.
  • Pemangkasan rumput di sekitar tanaman, perilaku petani di kampung biasanya tetap membiarkan rumput tumbuh di sekitar tanaman, mereka tidak menghabiskan apalagi membasminya dengan herbisida. Pembersihan biasanya dilakukan hanya dalam radius 1 m dari batang pohon utama untuk memberikan paparan sinar matahari ke batang dan akar tanaman. apa yang terjadi dengan pola ini?, coba kita bandingkan tanah yang tidak ditumbuhi rumput dan yang ditumbuhi rumput, tingkat kesuburan nya akan terlihat berbeda dan cacing sebagai media penyubur tanah hampir selalu ada di bawah rerumputan. Rumput juga memiliki fungsi sebagai penyuplai pakan ternak ruminansia dan juga sebagai bagian dari pola pengendalian hama terpadu sehingga tanaman petani bisa lebih terjaga.
  • Menanam beraneka jenis tanaman di sekitar lahan pertaniannya. Pola ini selain untuk menjaga keberlanjutan suplay produk konsumsi keluarga juga sebagai cara jitu untuk mengendalikan hama, sehingga pemakaian insektisida kimia hakekatnya dapat diminimalisir. Beberapa model tumpang sari yang biasa dilakukan petani di kampung: mananam batang sereh wangi atau bunga tahi ayam/tahi kotok  (Tagetes erecta) di setiap sudut lahan tanaman utama sebagai upaya pengendalian hama dan sebagai bahan pembuat biopestisida, menanam ubi kayu di pinggiran lahan untuk menahan laju tikus memakan tanaman utama juga menanam jagung lokal di pinggiran untuk menahan insect masuk jauh ke tengah ladang utama.

Nah....ternyata banyak pengetahuan dan praktik dari orang kampung yang patut dibanggakan karena mampu memberikan makna hidup yang lebih baik.  Masih minder jadi orang kampung....? Salam Farid