PENUNDAAN PEMBERIAN IZIN BARU DAN PENYEMPURNAAN TATA KELOLA HUTAN ALAM PRIMER DAN LAHAN GAMBUT DI PAPUA

SIARAN PERS

  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Papua (WALHI Papua)                                                  dan Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat Papua (Foker LSM Papua) Jumat, 12 Mei 2017  

Penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut, adalah kebijakan atas komitmen semua pihak untuk melakukan penundaan atas banyaknya pengusulan izin baru pemanfaatan hutan dengan maksud melakukan penyempurnaan terhadap tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut dalam rangka upaya penurunan emisi karbon dari degradasi dan deforestasi hutan di Indonesia (moratorium). Kebijakan penundaan/moratorium pemberian izin baru ini pada intinya merupakan bagian dari komitmen Indonesia sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dalam ikut menurunkan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan ancaman pemanasan global bagi planet bumi. Untuk itu pada masa pemerintahan Presiden SBY, dikeluarkanlah Inpres No. 6/2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Dimasa pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah Indonesia tetap melanjutkan komitmen tersebut. Dalam pidatonya pada Conference of the Parties (COP) 21 UNFCCC di Paris, Prancis, 30 November 2015 lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dibawah business as usual pada tahun 2030 dan 41 persen dengan dukungan internasional. Komitmen ini diturunkan sekaligus melanjutkan kebijakan sebelumnya, melalui Inpres No. 8/2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Begitu pentingnya kebijakan ini, sehingga Inpres No. 8/2015 ditujukan kepada 3 Menteri terkait, Pimpinan Badan, Pimpinan Unit Kerja, Pimpinan Satuan Tugas di tingkat pusat, para Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia, untuk menjalan Inpres tersebut. Kepada para Gubernur, Bupati/Walikota, inpres memerintahkan untuk melakukan penundaan penerbitan rekomendasi dan izin lokasi baru pada kawasan hutan dan lahan gambut serta areal penggunaan lain (APL) berdasarkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru sebagai lampiran dari Inpres ini. Hal ini dilakukan setelah melihat kenyataan bahwa ekspansi industri ekstraktif terhadap hutan alam primer dan lahan gambut terus terjadi dan cenderung semakin meningkat dari waktu ke waktu. Meskipun sudah ada kebijakan penundaan/moratorium pemberian izin pemanfaatan kawasan hutan dan lahan gambut, kenyataannya dalam periode moratorium tersebut di Tanah Papua, tetap saja terjadi ekspansi industri ekstraktif yang cukup tinggi terutama perkebunan kelapa sawit. Secara kasat mata, ini bisa dilihat dari pembukaan lahan baru oleh perusahaan sawit yang umumnya terjadi di kawasan hutan alam primer dalam rentang waktu 2012 sampai 2015, dan menyebar di berbagai wilayah di seluruh Tanah Papua. Bahwa tingginya ekspansi sawit di seluruh Tanah Papua menandai tidak adanya konsistensi dan kepatuhan pemerintah baik pusat maupun daerah menjalankan kebijakan yang bahkan dikeluarkan oleh pemerintah sendiri. (Inpres No. 6/2013 dan Inpres No. 8/2015). Sejauh ini nampak bahwa belum ada kepastian akan ada perpanjangan penundaan ataupun pengurangan atau bahkan penghentian ekspansi industri ekstraktif terhadap hutan alam primer dan lahan gambut di Tanah Papua sesuai esensi moratorium dimaksud, sementara itu Inpres No. 8/2015 sendiri akan segera berakhir pada 13 Mei 2017. Dikeluarkannya izin baru oleh pemerintah kepada industri ekstraktif terutama perkebunan kelapa sawit dan pertambangan dalam periode penundaan/moratorium, dianggap merupakan bentuk konspirasi politik ekonomi antara korporasi dan pemerintah dengan dalil peningkatan perekomonian yang mengatasnamakan masyarakat adalah sesuatu yang prematur karena tidak ada kenyataannya, bila belajar dari pengalaman yang ada, contoh apa yang terjadi antara PTPN II dengan masyarakat adat Arso di Keerom. Hal ini ditambah pula dengan keluarnya PP No. 13/2017 tentang Perubahan atas PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dinilai sebagai inkosistensi terhadap komitmen Indonesia di dunia internasional, karena secara regulasi kebijakan ini mengikat pemeritah daerah, untuk ikut mengamankan kebijakan nasional dengan pemberian izin-izin di berbagai sektor kepada korporasi di Tanah Papua. Perubahan RTRW ini juga memicu berbagai konflik diberbagai daerah, yang kemudian memberikan peluang terjadinya kriminalisasi kepada masyarakat adat oleh aparat keamanan.

  1. DAMPAK
  • Dampak pemberian izin tanpa mematuhi kebijakan moratorium memunculkan perlawanan masyarakat adat untuk mempertahankan hak atas tanah dan kekayaan alam (sumber daya alam) mereka yang dalam faktanya seringkali dipolitisir dengan isu kriminaslisasi.
  • Fakta menunjukkan bahwa tidak sedikit dari masyarakat terdampak yang menjadi korban politik investasi dari kerjasama pemerintah dan korporasi, bahkan mereka kehilangan hak atas tanah dan ruang kelola, terlebih kekakayaan alam sebagai sumber penghidupan mereka.
  1. REKOMENDASI

Mencermati sikap kondisi sebagaimana diuraikan di atas, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Papua, Forum Kerjasama LSM (FOKER LSM) Papua menyatakan:

  1. Meminta pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat, agar menghentikan pemberian rekomendasi bagi perusahaan/industri ekstraktif yang ingin berinvestasi/melakuka ekspansi di seluruh Tanah Papua karena pengalaman menunjukan bahwa kehadiran mereka tidak memberikan keuntungan apapun bagi masyarakat adat pemilik tanah dan kekayaan alam, sebaliknya membabat habis potensi hutan yang menyebabkan degradasi dan deforestasi yang semakin tinggi, menimbulkan konflik berkepanjangan bagi masyarakat adat, dan bersekongkol dengan aparat negara melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) bahkan menghilangkan nyawa orang tidak bersalah.
  2. Meminta kepada Gubernur Provinsi Papua dan Papua Barat, serta seluruh Bupati/Walikota agar melakukan upaya nyata melalui regulasi daerah dalam rangka penyelamatan manusia dan hutan Papua serta membangun kemitraan strategis dengan masyarakat bagi pengelolaan hutan berkelanjutan di Tanah Papua ke depan.
  3. Meminta kepada Gubernur provinsi Papua bersama instansi teknis terkait, dan parapihak, untuk mendesak pemerintah pusat, terutama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) dalam rangka implementasi Perdasus No.21/2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjuutan di Provinsi Papua yang lebih konkrit dalam mengakui hak masyarakat adat atas hutan di Papua dan sejalan dengan konteks budaya manusia Papua demi pengelolaan hutan yang lebih adil dan berkelanjutan, sekaligus dapat mengurangi degradasi dan deforestasi hutan yang semakin tinggi di Papua.
  4. Meminta kepada Gubernur provinsi Papua Barat beserta instansi teknis terkait untuk segera menghasilkan Perdasus sebagai pelaksana UU Otsus dalam kaitan dengan pengelolaan hutan berkelanjutan di Provinsi Papua Barat, untuk menjamin hak-hak masyarakat adat atas hutan di provinsi Papua Barat.

CP :

  1. Walhi Papua :
  • Aiesh Rumbekwan  : +62 81344524394
  • Abner Mansai Ar             : +62 811481566

 

  1. FOKER LSM PAPUA
  • Marthin Patay  : +62 81344569558