Pemerintah (Kementerian Keuangan) Gagal Memahami Amanat Konstitusi Hak atas Air

Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jumat, 4 Mei 2018. Kementerian Keuangan melalui Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi menyampaikan akan melakukan Peninjauan kembali terhadap *putusan Mahkamah Agung tentang swastanisasi air* Nomor 31 K/Pdt/2017, yang dikeluarkan pada April 2017 lalu. Dalam gugatan yang diajukan oleh 12 anggota “Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta” ini, dengan Kementerian Keuangan sebagai salah tergugat, dan turut tergugat PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA) dan PT Aetra Air Jakarta (AETRA).  Menurut Manajer Kampanye Pangan, Air & Ekosistem Esensial, Eksekutif Nasional WALHI, Wahyu A. Perdana. Pengajuan Peninjauan Kembali ini memiliki 3 persoalan mendasar : Pertama, Pemerintah (Kemenkeu) gagal Memahami Amanat Konstitusi, argumentasi Kemenkeu dalam mengajukan PK tanpa menyodorkan novum (bukti baru), dan hanya mempertanyakan kategori jenis gugatan citizen lawsuit , menunjukkan pendekatan kemenkeu tidak substantif, lebih jauh lagi, hal tersebut menunjukkan kegagalan memahami Amanat Konstitusi. Secara jelas dalam UUD 1945, yang juga dikutip dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait putusan Judicial Review UU SDA, dikenal juga dengan “Pembatasan terkait Hak Rakyat Atas Air* , diantaranya menyebutkan Hak Rakyat atas Air harus memperhatikan kelestarian Lingkungan Hidup, serta sebagai cabang produksi penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak, harus dikuasai oleh negara (vide Pasal 33 ayat (2) UUD 1945] dan air yang menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat maka pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak). Kedua , Pengajuan PK tersebut mengabaikan fakta pemenuhan Hak Rakyat atas Air, Tidak ada korelasi pengelolaan swasta dengan ketersediaan air bagi rakyat. Faktanya, berdasar “profil kesehatan 2016 oleh Kementerian Kesehatan, di Jakarta 72,31 % sumber air minum utama menggunakan air kemasan bermerk, dan hanya 12,90 % yang menggunakan leding meteran dan Leding eceran. Ketiga, Swastanisasi air di Jakarta menimbulkan kerugian negara , sebagaimana disebutkan dalam putusan MA, dengan membebankan tanggung jawab defisit (shortfall), akan berakibat membebani keuangan negara, dalam hal ini APBD/APBN, yang menimbulkan kerugian publik. Dalam putusan MA disebutkan keseluruhan hutang shortfall yang menjadi beban hingga tahun 2010 saja mencapai Rp 583 Milyar. Narahubung : Manajer Kampanye Pangan, Air, & Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

  • Wahyu Perdana (082112395919)

Manajer Kajian dan Kebijakan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

  • Boy Jerry Even Sembiring (085271897255)

*Catatan Editor* Pembatasan Hak Rakyat Atas Air berdasar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013

  1. Setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air karena bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya selain harus dikuasai oleh negara, juga peruntukannya adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
  2. Negara harus memenuhi hak rakyat atas air. Sebagaimana dipertimbangkan di atas, akses terhadap air adalah salah satu hak asasi tersendiri maka Pasal 28I ayat (4) menentukan, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
  3. Harus mengingat kelestarian lingkungan hidup, sebab sebagai salah satu hak asasi manusia, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menentukan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
  4. Sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai oleh negara [vide Pasal 33 ayat (2) UUD 1945] dan air yang menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat maka pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak;
  5. Sebagai kelanjutan hak menguasai oleh negara dan karena air merupakan sesuatu yang sangat menguasai hajat hidup orang banyak maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah; dan,
  6. Apabila setelah semua pembatasan tersebut di atas sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, Pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.”

  Rangkuman Putusan Mahkamah Agung Nomor 31 K/Pdt/2017 terkait swastanisasi air Jakarta  

  1. Para Tergugat lalai dalam memberikan pemenuhan Perlindungan Hak Asasi Manusia atas air terhadap warga negaranya, khususnya masyarakat DKI Jakarta;
  2. Menyatakan Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta dalam wujud Pembuatan Perjanjian Kerjasama (PKS) tertanggal 6 Juni 1997 yang diperbaharui dengan Perjanjian Kerjasama (PKS) tanggal 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku dan dijalankan hingga saat ini;
  3. Menyatakan Para Tergugat telah merugikan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan masyarakat DKI Jakarta;
  4. Memerintahkan Para Tergugat untuk: Menghentikan kebijakan swastanisasi air minum di Provinsi DKI; Melaksanakan Pengelolaan Air Minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai hak asasi atas air sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 dan 12 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang Undang Nomor 11 Tahun 2005 juncto Komentar Umum Nomor 15 Tahun 2002 Hak Atas Air Komite Persatuan Bangsa-Bangsa Untuk Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya;