Pemerintah Indonesia Gagal Membawa Kepentingan Rakyat Indonesia di COP 30 

Belem, 10 November 2025. Pemerintah Indonesia resmi membuka paviliun Indonesia. Namun pembukaan ini layaknya pembukaan pasar dagang bagi hutan dan sumber daya Indonesia lainnya. Proposal utama pemerintah adalah potensi kredit karbon sebesar 90 miliar ton, potensi dekarbonisasi, dan SNDC yang diklaim dapat mencapai komitmen iklim Indonesia. Perdagangan karbon dan dekarbonisasi yang dijadikan pemerintah Indonesia sebagai solusi iklim merupakan solusi sesat yang selama ini ditolak oleh berbagai masyarakat sipil, termasuk WALHI. 

Perdagangan karbon hanyalah cara untuk mengamankan rezim industri ekstraktif serta finansialisasi alam, yang faktanya selama ini menjadi penyebab utama krisis iklim dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Roh utama dari perdagangan karbon adalah “penyeimbangan” atau “offset”. Di mana, satu korporasi atau negara-negara Annex I masih tetap boleh melepaskan emisi dari aktivitas ekstraksi dan industrialisasi, bahkan melampaui batasan emisi (cap) asalkan melakukan penyeimbangan karbon dengan cara membeli karbon di pasar karbon.

“Carbon trading dan offset ini dipandang sebagai solusi yang cepat dan murah oleh perusahaan dan pemerintah, banyak proyek penggantian kerugian karbon yang berjalan dengan klaim yang meragukan, bahkan salah dengan menggantinya dengan narasi sekedar permasalahan teknis penyeimbang carbon (nett zero atau carbon neutral) di atmosfer adalah kebohongan yang berbahaya bagi masa depan planet bumi,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.

Konsesi-konsesi karbon di banyak tempat telah mengeksklusi masyarakat adat dan komunitas lokal dari ruang hidupnya. Misalnya saja project karbon di Jambi yang mengusir suku Anak dalam. Proyek karbon di Kalimantan Barat yang akan berlangsung di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat akan menyingkirkan masyarakat adat dan berpotensi mengkriminalisasi mereka. Sebab, hutan seluas 13 ribu hektar milik masyarakat adat akan menjadi lokasi proyek. Dalam bahan presentasi yang dimiliki perusahaan, masyarakat dilarang melakukan ritual adat, aktivitas sehari-hari, berburu-meramu, dan membakar ladang. Selain itu, proyek karbon seperti 

REDD dan REDD + merampas wilayah adat dan wilayah kelola. Contohnya saja Proyek Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) di Kalimantan Tengah, yang merupakan proyek kerjasama antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia, dan juga proyek REDD yang gagal di Ulu Masen Aceh.

Hal yang sama juga dengan proyek dekarbonisasi. Sebanyak 90 persen dari semua upaya dekarbonisasi akan memerlukan pemanfaatan energi terbarukan melalui pasokan listrik yang murah, peningkatan efisiensi, penerapan elektrifikasi, dan penggunaan sumber energi yang berkelanjutan. Namun, proyek-proyek yang ada saat ini membawa dampak ekologis yang sangat besar. Misalnya saja proyek gas dan LNG. Perluasan LNG telah eksisting saat ini dan yang direncanakan di masa mendatang, justru akan meningkatkan emisi pada tingkat yang berbahaya. Hasil penelitian juga menunjukkan penggunaan gas fosil untuk pembangkit listrik, pemanas pada gedung, dan industri memberikan kontribusi kematian dini yang hampir sama dengan penggunaan batu bara di 96 kota di seluruh dunia pada tahun 2020. Komponen terbesar dari gas fosil adalah metana, gas rumah kaca terkuat kedua setelah karbon dioksida dalam hal seberapa besar kontribusinya terhadap pemanasan global. 

“Di Indonesia sendiri, industri Gas dan LNG tidak lepas dari problem pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan. Dari genosida di Aceh hingga ekosida di Sidoarjo, Jawa Timur trend perusakan mengiringi berbagai proyek gas di Indonesia. Tentu masih segar dalam ingatan kita, bagaimana pada 29 Mei 2006, operasi gas yang dikerjakan oleh PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur memicu tragedi masif bernama "Lumpur Lapindo" yang menenggelamkan wilayah seluas 900 hektar dan mengusir lebih 100 ribu jiwa dari kampung-kampung mereka. Pada akhir tahun lalu mata kita juga dibukakan pemberitaan media yang merujuk pada dokumen yang berisi kesaksian sebelas korban dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh perusahaan minyak dan gas terbesar di Amerika Serikat, ExxonMobil, di Aceh, yang dirilis ke publik oleh Pengadilan Distrik Washington D.C pada pertengahan Agustus 2022. Konflik lain terkait industri gas dan LNG di indonesia menyeruak di Bali, saat rencana pembangunan Terminal LNG di kawasan Sanur, ditolak warga karena mengancam kelestarian hutan mangrove, terumbu karang dan kawasan suci warga,” kata Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Nasional WALHI.

Klaim komitmen di SNDC Indonesia, juga sudah dapat dipastikan gagal sejak disusun. Tidak hanya tidak partisipatif, SNDC disusun dengan masih mengedepankan skema ekstraktif. Berdasarkan analisis WALHI, terdapat 26 juta hektar hutan alam yang berada di konsesi-konsesi HGU, IUP dan PBPH. Kebijakan hilirisasi nikel, dan swasembada pangan dan energi juga akan menjadi pendorong besar pembukaan hutan yang berada dalam konsesi tersebut. Bahkan juga hutan yang saat ini belum dibebani oleh izin. Seluas 15 juta hektar hutan yang menjadi bagian Proyek 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi misalnya, akan diambil dari kawasan hutan yang saat ini belum dibebani izin.

“Selama orientasi ekonomi nasional dan global masih untuk mengejar ekonomi pertumbuhan. Aksi dan adaptasi iklim Indonesia dan bahkan negara-negara di dunia lainnya akan tetap gagal menjawab target iklim, Pemerintah Indonesia harus serius menjalankan prinsip-prinsip keadilan iklim dalam menjawab krisis” tutup Boy.

Narahubung:
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia +62811-5501-980