Pembunuhan Dua Petani Lahat Tidak Ditangani Serius, Kehidupan Warga Korban Konflik Agraria Makin Sengsara

Siaran Pers

“TIM ADVOKASI RAKYAT PAGAR BATU”

WALHI – YLBHI -  KPA -  JKPP – Sawit Watch – HuMA – PII – ELSAM – Kemitraan –
Amnesty International Indonesia – IMPARSIAL

Palembang, 21 April 2020- Letusan konflik agraria yang terjadi pada 21  Maret 2020 di Desa Pagar Batu, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan mengakibatkan dua orang warga terbunuh dan dua warga lain terluka parah. Sayangnya, hampir sebulan pasca kejadian berlangsung, Polres Lahat belum terlihat serius melakukan penegakan hukum. Sejauh ini baru satu orang pegawai keamanan perusahaan PT. Artha Prigel bernama Ujang Boy yang ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan. Berdasarkan keterangan warga yang melihat kejadian, bukan hanya Ujang Boy yang terlibat dalam kejadian berdarah pembunuhan dan penganiayaan  tersebut, ada beberapa pegawai keamanan perusahaan yang turut serta melakukan penikaman dan tindakan kekerasan. Bahkan oknum polisi yang berada di lokasi malah berada di posisi perusahaan dan tidak memberi perlindungan kepada warga.

“Apabila polisi serius melakukan penyidikan peristiwa pidana ini, seharusnya tidak sulit untuk menetapkan tersangka baru. Pengusutan kasus jangan hanya berhenti di level keamanan perusahaan, tetapi harus dikembangkan hingga ke pimpinan PT. Artha Prigel yang menyediakan senjata tajam dan memberi perintah mendatangi lokasi konflik” sebut Mualimin Pardi Dahlan, Kordinator Kuasa Hukum dari Tim Advokasi Rakyat Pagar Batu.

Tim Advokasi Rakyat Pagar Batu berharap Polda Sumatera Selatan dapat bersikap tegas dengan melakukan pemeriksaaan internal kepada seluruh oknum kepolisian yang berada di lokasi kejadian.“Menurut kami oknum kepolisian yang berada di lokasi kejadian tidak melaksankan tugas dan kewajiban sebagaimana mestinya. Mereka membiarkan tim keamanan PT. Artha Prigel membawa senjata tajam, membiarkan tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan dihadapannya. Tindak pembiaran tersebut merupakan bentuk pelanggaran disiplin perilaku anggota Polri sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 2 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Pelanggaran Disiplin Anggota Kepolisian,” tegas Mualimin.

Tim Advokasi akan segera mengirim surat kepada Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sumsel terkait dugaan pelanggaran tersebut. Dalam surat tersebut, Tim Advokasi Rakyat Pagar Batu juga  meminta Polda Sumsel agar mendesak Polres Lahat melakukan tugas penyidikan secara profesional dan cepat.

Era Purnamasari, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI menyebut preseden buruk keterlibatan kepolisian dan aparat keamanan dalam berbagai konflik agraria harus dihentikan. Kematian dua petani di Lahat harus jadi peristiwa terakhir. Apabila terbukti membiarkan pembunuhan ini terjadi, oknum kepolisian berikut pimpimpinannya bisa saja dimintakan pertanggungjawaban pidananya. “Penegakan hukum yang tegas dan memulihkan hak dasar warga terhadap tanah yang menjadi sumber kehidupannya juga harus jadi prioritas dalam penyelesaian konflik ini,” tegas Era.

Mendesak Pengembalian Tanah Konflik

Pasca PT. Arta Prigel melakukan aktivitas perkebunan  kelapa sawit di Desa Pagar Batu, kehidupan masyarakat secara perlahan berubah drastis. Kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak mengakibatkan kemiskinan. Proses perampasan tanah warga seluas 180,36 hektar  terjadi sejak 1993 s/d 2003. Perampasan dilakukan dengan cara militeristik dan kedok jual beli. Konflik mulai memanas sejak warga sadar sebenarnya tidak ada proses peralihan hak, perusahaan sebenarnya melakukan perampasan tanah secara paksa dan manipulatif. Kesadaran ini lahir pada penghujung 2018 yang bermuara pada pembentukan Forum Pemuda Pemudi Pagar Batu (FP3B) sebagai wadah perjuangan. Sayangnya, belum selesai perjuangan merebut kembali tanah yang dirampas, masyarakat harus kehilangan dua saudaranya. Mereka kehilangan dua orang pejuang agraria, Suryadi dan Putra Bakti.

  1. Hairul Sobri, Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan menyebutkan sejak status darurat kesehatan wabah Covid-19, kehidupan masyarakat Desa Pagar Batu semakin memprihatinkan. Terdapat 182 kepala keluarga yang terancam mengalami krisis pangan, khususnya dua keluarga yang kehilangan tulang punggung keluarga karena dibunuh. Mereka pun rentan terpapar Covid-19 karena belum adanya bantuan alat pencegahan seperti masker dan hand sanitizer. “Konflik mengakibatkan krisis yang dialami warga semakin parah, terjebak kemiskinan dan diancam Covid. Satu-satunya cara melepaskan warga lepas dari kondisi kemiskinan adalah dengan mengembalikan tanah yang telah dirampas oleh PT. Artha Prigel,” sebur Eep, biasa ia disapa.

Dasar penyelesaian konflik agraria berbasis pemulihan hak warga dapat dirujuk pada Surat Gubernur Sumatera Selatan Nomor:  593/09999/DLHP/B/IV/2020 tanggal 06 April 2020 yang ditujukan kepada Bupati Lahat dan Dokumen Nomor: 2/STAF.WM/SKP/3/2020 tentang Rekomendasi Untuk Direktorat Jenderal 7 (Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah) Dalam Penanganan Konflik Pertanahan Antara PT. Arta Prigel Dengan Masyarakat Desa Pagar Batu, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.

Berdasarkan surat yang dikirim Gubernur dan dokumen dari Tim Wamen ATR/ BPN ada peluang penyelesaian konflik berbasis pemulihan hak warga. Bupati Lahat menjadi kunci utama penyelesaian konflik dengan cara melakukan evaluasi perizinan IUP PT. Artha Prigel. Selanjutnya, Bupati Lahat mengirimkan surat kepada Menteri ATR/ BPN untuk merekomendasikan pencabutan sebagian atau keseluruhan lokasi perkebunan PT. Artha Prigel yang berkonlik dengan warga Desa Pagar Batu. Sedangkan dokumen Tim Wamen ATR/ BPN dapat dijadikan dasar verifikasi untuk membuktikan praktik penerbitan hak atas tanah yang bertentangan dengan hukum. Tim Advokasi Rakyat Pagar Batu berkeyakinan pembukaan dokumen warkah akan memperlihatkan pembebasan tanah yang dilakukan perusahaan dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan hukum dan keadilan.

“Kami mendorong dan mendukung Bupati Lahat untuk mengambil langkah tegas menyelesaikan konflik ini. Terlebih sebelum kejadian 21 Maret 2020, Bupati sudah melakukan beberapa hal positif untuk mendukung perjuangan warga. Meskipun belum membuahkan hasil yang maksimal. Saat ini momentum tepat bagi Bupati untuk menghukum perusahaan jahat dan melindungi rakyatnya. Tentunya kebijakan dan tindakan yang diambil harus pro pembaharuan agraria dan dilakukan dalam waktu cepat. Tanah seluas 180,36 hektar  harus dikembalikan ke warga,” sebut Syamsudin Wahid dari Konsorsium Pembaharuan Agraria.

Tim Advokasi Rakyat Pagar Batu juga menemukan indikasi PT. Arta Prigel telah beroperasi sejak 1994, namun Hak Guna Usaha (HGU)-nya baru diperoleh pada 2006. Ini artinya selama dua belas tahun (dari 1994-2006), PT. Arta Prigel beraktivitas tanpa legalitas hak atas tanah. Sudah sepatutnya perusahaan ini dihukum, dicabut izinnya dan dilakukan redistribusi eks lokasi perkebunan kepada warga Desa Pagar Batu dan desa lain yang berkonflik dengan perusahaan tersebut. 

Narahubung:

  • Hairul Sobri/ WALHI Sumatera Selatan (0812-7834-2402)
  • Mualimin Pardi Dahlan/ Koordinator Tim Advokat (0816958910)
  • Era Purnama Sari/ YLBHI (081210322745)
  • Syamsudin Wahid/ KPA (081320537362)