Pembangunan Rendah Karbon di Daerah Kontradiksi dengan Nasional

Jakarta, 7 Agustus 2017 - Upaya-upaya pembangunan rendah karbon yang disusun pemerintah daerah untuk merespon perubahan iklim tidak memiliki korelasi yang memadai dengan perencanaan nasional untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca, Bahkan dalam beberapa hal cenderung kontradiksi. Hal tersebut dipaparkan dalam diskusi Perubahan Iklim bersama publik dan rekan-rekan jurnalis, disajikan juga hasil temuan kajian dokumen WALHI bertema “Kebijakan Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di Lima Provinsi di Indonesia.” Acara diadakan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan disela-sela perhelatan festival Perhutanan Sosial Nusantara 2017. WALHI melakukan penelitian dengan melihat Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi untuk Gas Rumah Kaca (RAD GRK) dan RPJMD Provinsi Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Penelitian untuk melihat dukungan pemerintah daerah terhadap program penurunan emisi di tingkat nasional. Menurut Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi nasional Yuyun Harmono, dari lima provinsi yang diteliti, semua memiliki program penurunan emisi yang tidak selaras dengan skema di tingkat nasional. “Secara umum belum terlihat inovasi ataupun inisiatif yang lebih maju untuk mendorong pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan, rendah karbon, dan berdaya ekonomi tinggi. Bahkan dalam kajian dokumen menunjukkan rencana aksi daerah, tidak menjawab sumber emisi dari wilayah-wilayah tersebut”, kata Yuyun di Jakarta, Kamis (7/9). Salah satu contoh, RPJMD Jawa Barat sudah memasukkan target penurunan emisi gas rumah kaca namun dilakukan secara salah kaprah. Seharusnya penurunan emisi gas rumah kaca dilakukan di dua sektor yaitu energi dan sektor berbasis lahan mengingat di provinsi tersebut banyak pembangkit listrik batubara.

Namun ternyata yang dilakukan adalah di sektor pengelolaan limbah. Ini diambil karena pilihan sektor tersebut lebih murah. Selain itu, perencanaan yang disusun untuk merespon perubahan iklm terlihat juga tidak memiliki korelasi yang memadai. Misal Provinsi Sumatera Selatan, dalam perencanaannya justru mendorong perubahan fungsi kawasan dan perluasan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri di kawasan-kawasan gambut dan hutan sementara kawasan-kawasan tersebut disebutkan sebagai kawasan yang rentan serta dalam RAD GRK provinsi tersebut sumbangan emisi Gas Rumah Kaca dari berbasis lahan justru sangat besar. Masalah-masalah serupa juga ada di semua provinsi lain yang dijadikan wilayah studi. Ini tentu merupakan ruang-ruang perbaikan yang harus ditempuh agar Indonesia menjadi konsisten menjadi salah satu poros pejuang penanganan perubahan iklim di forum-forum internasional seperti COP 23 mendatang dan forum-forum lainnya. Pidato Presiden Joko Widodo di COP tahun 2015 di Paris menyampaikan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri, dan 41% dengan dukungan internasional sampai dengan tahun 2030. Akhir tahun 2016 yang lalu, pemerintah Indonesia telah menyerahkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) kepada Secretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Ratifikasi terhadap Perjanjian Paris tersebut juga telah dilakukan melalui pengesahan UU Nomor 16 tahun 2016. Hal ini merupakan kebijakan lanjutan dari periode pemerintahan sebelumnya, dimana komitmen pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sampai tahun 2020 sebesar 26% dari business as usual dengan sumberdaya dan upaya sendiri serta 41% dengan bantuan international sebagaimana Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Pittsburgh, Amerika Serikat, pada pertemuan G-20 tahun 2009. “Jika tidak ada perubahan kebijakan dalam RPJMD ke depan oleh pemerintahan daerah baru paska pilkada serentak 2018, kami khawatir target penurunan emisi Indonesia tidak akan tercapai”, tegas Yuyun menutup siaran pers ini.