Pandangan dan Masukan Koalisi Masyarakat Sipil terhadap Rencana Kebijakan Moratorium Sawit

  Moratorium izin untuk ekspansi perkebunan sawit (moratorium sawit) adalah perintah Presiden Joko Widodo yang disampaikan pada bulan April 2016 lalu sebagai inisiatif kebijakan untuk menyelamatkan hutan Indonesia yang tersisa. Meskipun demikian, hingga bulan Agustus ini pemerintah belum juga menerbitkan kebijakan tersebut.Moratorium ini dinyatakan sebagai rangkaian dari kebijakan moratorium izin di hutan alam primer dan lahan gambut yang dikeluarkan sebelumnya, yang masa berlakunya kurang dari satu tahun lagi (berakhir Mei 2017). Kebijakan moratorium di hutan alam dan lahan gambut ini masih menyisakan kelemahan yang harus segera diatasi dan tidak boleh terulang dalam kebijakan moratorium sawit yang akan dikeluarkan. Salah satu kelemahan dari Inpres Moratorium selama ini adalah minusnya penegakan hukum, pemerintah masih kurang transparan, mengabaikan partisipasi masyarakat, dan adanya ketentuan pengecualian sehingga menyebabkan kredibilitas pemerintah justru menurun di mata banyak pihak, termasuk negara-negara penyokong penyelamatan hutan Indonesia. Lemahnya penegakan hukum antara lain terlihat dari kasus kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 yang secara faktual melibatkan sejumlah perusahaan sawit dan terjadi di dalam areal konsesi perusahaan, namun tindakan hukum sangat melempem serta jauh dari rasa keadilan. Salah satunya adalah putusan Pengadilan Negeri Palembang yang membebaskan PT Bumi Mekar Hijau (BMH) dari segala tuntutan tuduhan pembakaran hutan di areal konsesinya sendiri meskipun di kemudian hari pihak KLHK mengajukan upaya hukum banding atas putusan itu. Selain itu, baru-baru ini kita mendengar puluhan perusahaan yang terlibat kebakaran dihentikan penyelidikan kasusnya oleh pihak kepolisian, yang mencerminkan buruknya koordinasi penegakan hukum terkait Karhutla. Demi penyelamatan hutan yang tersisa, Koalisi Masyarakat Sipil menyambut baik dan mendukung upaya pemerintah untuk menjalankan moratorium sawit, yang menurut kami harus mencakup:

  • Penundaan izin pelepasan kawasan hutan untuk ekspansi perkebunan sawit
  • Evaluasi izin-izin sawit yang ada dan masih memiliki tutupan hutan untuk dikembalikan sebagai kawasan hutan. Pengembalian wilayah berhutan ke dalam kawasan hutan tersebut tidak menghilangkan kewajiban pemilik izin untuk melindungi hutan dan wilayah konservasi lainnya.
  • Evaluasi dan pembatalan izin-izin sawit yang melanggar hukum (berada di kawasan hutan, merusak lingkungan, tidak sesuai peruntukan, terindikasi dipindahtangankan, tidak sesuai prosedur, merampas hak masyarakat, serta melakukan manipulasi, intimidasi dan kekerasan dalam perolehan izin pengalihan hak atas tanah).

Agar kebijakan moratorium sawit ini benar-benar dapat menyelamatkan hutan yang tersisa dan memberikan rasa keadilan, Koalisi mendorong pemerintah untuk:

  • Menjalankan proses penegakan hukumsegera atas segala bentuk kejahatan dan/atau pelanggaran yang ditemukan dalam proses evaluasi izin-izin sawit yang sudah ada, terutama untuk izin-izin perkebunan sawit yang beroperasi secara ilegal (berada di kawasan hutan).
  • Sesegeramungkin mencabut izin-izin perkebunan sawit korporasi yang berada di kawasan hutan.
  • Mengkaji ulang izin konsesi kebun sawit (dan HTI) yang berada di lahan gambut  disertai kewajiban untuk merestorasi bagi konsesi yang mengalami kebakaran sebagai bagian upaya penegakan hukum.
  • Dalam proses review izin, pemerintah agar:
  • Tidak hanya mengevaluasi izin spasial perusahaan, tetapi juga:
  • 1) SK-SK pelepasan kawasan hutan yang telah diterbitkan sebelumnya
  • 2) SK Perubahan Peruntukan dan Pelepasan kawasan hutan
  • 3) HGU di dalam kawasan hutan
  • 4) Izin Prinsip, dan
  • 5) Izin Lokasi.

 

  • Memeriksa ada tidaknya pemaksaan atau intimidasiterhadap masyarakat adat dan lokal dalam proses pembangunan perkebunan sawit yang telah ada, mulai dari proses perolehan izin, pembebasan lahan, hingga penanaman dan pemanenan.
  • Mengembalikan dan memulihkanhak-hak masyarakat adat dan lokal yang terlanggar dalam proses pembangunan perkebunan kelapa sawit
  • Memulihkan fungsi lingkungan yang rusakdalam proses pembangunan perkebunan kelapa sawit
  • Dalam kasus konflik dengan masyarakat, membentuk tim khusus untuk penyelesaian konflikyang melibatkan unsur masyarakat dan masyarakat sipil dengan melandaskan diri pada prinsip-prinsip hak asasi manusia.
  • Memastikan efektivitas kelembagaan pemerintah daerahuntuk menjalankan dan mematuhi kebijakan moratorium sawit.
  • Membentuk sebuah sistem monitoring dan evaluasi terpaduyang melibatkan masyarakat dan masyarakat sipil untuk memberikan informasi dari lapangan terkait pelaksanaan moratorium sawit.
  • Mengedepankan transparansi dan keterbukaaninformasi dalam menjalankan kebijakan moratorium sawit, termasuk dalam proses evaluasi dan review izin serta tindakan-tindakan perbaikan tata kelola yang dijalankan pemerintah. Secara khusus, kami meminta agar pemerintah memberikan informasi terpadu tentang:
  • Rincian lokasi di mana moratorium pelepasan kawasan hutan diterapkan
  • Nama-nama perusahaan yang permohonan pelepasan kawasan izinnya ditolak
  • Nama-nama perusahaan yang izinnya dikaji serta dicabut
  • Tindakan penegakan hukum yang diambil terhadap izin-izin perusahaan perkebunan sawit yang melanggar hukum, dan
  • Tindakan-tindakan perbaikan tata kelola perizinan yang dijalankan pemerintah.
  • Menutup celah pelanggaran hukum akibat ambiguitas peraturan terkait izin/hakatas tanah yang diperlukan perusahaan untuk memulai pembangunan kebun sawit (saat ini, banyak perusahaan yang beroperasi hanya dengan mengantongi IUP, sebelum mendapatkan izin lingkungan dan tanpa SK Pelepasan Kawasan Hutan).
  • Untuk HGU sawit yang tidak sesuai peruntukkan atau terindikasi dipindahtangankan, kami meminta pemerintah untuk:
  • Menjadikannya objek reforma agraria/ memberikan dan mendistri­busikan kembali kepada masyara­kat untuk dimanfaatkan sebagai lahan produksi bahan pangan

Jika HGU tersebut masih memiliki tutupan hutan yang baik, untuk mengembalikannya menjadi kawasan hutan tanpa menghilangkan kewajiban perusahaan untuk melindungi hutan dan wilayah konservasi lainnya dalam wilayah HGU.

  • Melakukan moratorium izin Pabrik Kelapa Sawit (PKS) non-kebun, moratorium dilakukan bersamaan dengan Penutupan PKS Non kebun yang diduga menampung TBS/ tandan buah segar dari kebun ilegal dan kebun kelapa sawit di kawasan hutan.
  • Menghentikan bisnis militerdalam mengamankan dan memperlancar bisnis korporasi dengan cara-cara melanggar hukum dan tidak berpihak pada masyarakat serta memberikan sangsi tegas kepada anggota prajurit TNI dan Polri yang terlibat dalam bisnis non institusional tersebut dan menimbulkan rasa tidak aman warga.
  • Menguatkan sifat dan standar ISPOdan menjamin implementasi dan monitoring standar ISPO sebagai sebuah perangkat wajib bagi pengelolaan perkebunan sawit.
  • Selain sawit, moratorium pun sebaiknya dilakukan untuk izin-izin Hutan Tanaman Industri(IUPHHK-HT), yang luasnya sudah sangat besar (mencapai 11 juta hektar) dan terindikasi menjadi modus land-bankingdan pengambilan kayu. Sebagai bukti, dari 11 juta hektar konsesi yang telah diberikan, baru 4,9 juta hektar yang ditanami.[1] Meskipun demikian, KLHK masih ‘menjatah’ 1,9 juta hektar lahan untuk HTI selama 2014-2019[2], yang berpotensi meningkatkan angka deforestasi dan emisi Indonesia. Kondisi tersebut diperparah dengan kebakaran hutan yang banyak terjadi di konsesi HTI karena kontrol dan kesiapan untuk menyediakan sarana kebakaran hutan sangat minim. 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global:

  1. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
  2. Yayasan Pusaka
  3. Epistema Institute
  4. Perkumpulan HuMa
  5. Serikat Petani Kelapa Sawit
  6. Sawit Watch
  7. Yayasan Merah Putih
  8. Walhi Kalimantan Tengah
  9. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
  10. Greenpeace Indonesia
  11. Walhi SumSel
  12. Walhi Bengkulu
  13. Walhi KalBar
  14. Walhi Riau
  15. Walhi Jambi
  16. Walhi Maluku Utara