Merespon Pidato Kenegaraan Jokowi di Sidang Tahunan MPR 2021

Presiden Jokowi tidak menyebut satu katapun terkait perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup. Sebaliknya, “karpet merah” investasi disebut berkali kali dalam berbagai konteks (6 kali), lebih banyak dari kata rakyat. Apresiasi terhadap solidaritas sesame rakyat menjadi tidak berarti saat tidak diiringin dengan kebijakan dan tindakan perlindungan rakyat dan lingkungan hidup di tengah pandemi. Bahkan presiden tidak menyinggung sama sekali terkait korupsi Bansos yang melukai hati rakyat di tengah pandemic.

Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati memberikan 4 catatan mendasar :

Pertama : UU Cipta Kerja Sama sekali tidak mengarah pada “ekonomi hijau dan biru”
Pernyataan Joko Widodo di atas sangat kontradiktif, karena UU Cipta Kerja sama sekali tidak mengarah pada ekonomi “hijau dan biru” yang berkelanjutan, sebagaimana yang banyak dipahami saat ini. Terlihat dari pidato ini bahwa pencantuman hal-hal “hijau” hanya sekadar tempelan dan tidak sepenuhnya dipahami oleh presiden. Jika presiden serius ingin mengimplementasikan ekonomi yang berkelanjutan secara lingkungan hidup, seharusnya beliau segera mengeluarkan Perppu membatalkan UU Cipta Kerja.

Menjadi ambigu menyebut UU CK sebagai “hijau” ketika batas minimum kawasan hutan dihapus, dan penegakan hukum lingkungan hidup “dikebiri”.

Kedua : Transformasi Energi Baru dan terbarukan hanya menjadi jargon
Hanya satu kali presiden menyinggung terkait energi baru dan terbarukan, ironinya hal tersebut dikatakan dalam konteks daya saing industri, tidak diletakkan dalam kebutuhan rakyat, hingga saat ini pembangunan PLTU berbasis energi fosil tidak ramah lingkungan, justru banyak dibuat pada wilayah-wilayah yang sudah over supply kebutuhan listriknya, seperti di Jawa.

Sebagian besar isi pidato presiden adalah jargon yang jauh bedanya dengan kenyataan kebijakan yang selama ini beliau terapkan. Insentif dan kebijakan yang dikeluarkan justru memfasilitasi sumber-sumber energi fossil seperti batu bara, serta biodiesel sawit yang dalam produksinya justru menerapkan pola-pola yang tidak berkelanjutan. Dalam UU CK, alih-alih memberikan pembatasan pada industri ekstraktif, industry ekstraktif justru mendapatkan keluasan dalam masa operasi tambang, terlebih secara general ijin lingkungan hidup dan AMDAL prosesnya dihilangkan esensinya.

Ketiga : Kemandirian pangan bukan kepentingan investasi.
Presiden meletakkan pangan dalam paragraf yang sama dalam konteks ekosistem investasi. Tidak sekalipun disinggung terkait petani sebagai produsen pangan.

Hal ini tentu tidak mengejutkan, mengingat upaya pemenuhan pangan justru bersandar pada food estate, yang jelas secara regulasi bersandar pada (monokultur) skala luas. Pada fakta dilapangannya minim sekali melibatkan petani dan berpotensi besar mengancam lingkungan hidup.

keempat : Pemerintah tidak Mengakui kegagalannya dalam pandemi,
Pemerintah tidak sekalipun mengakui kegagalan (terlebih meminta maaf pada publik) dalam penanganan pandemj, dari gagal mengendalikan harga masker, oksigen, hingga tes. Bahkan korupsi Bansos Covid 19 tidak disinggung sama sekali. Pada akhirnya, pelemahan KPK berdampak dalam konteks pemenuhan rasa keadilan rakyat saat terjadi korupsi Bansos.

Penting diingat, saat rakyat sudah memulai inisiasi "rakyat bantu rakyat" di awal pandemi. Para pejabat negara masih dalam posisi “meremehkan” pandemi, hal tersebut terlihat dari berbagai pernyataan pejabat negara pada awal-awal pandemi.

Semoga Indonesia segera merdeka dari oligarki yang merusak lingkungan dan menyengsarakan rakyat. Hadirnya UU cipta Kerja justru menghilangkan esensi dari kemerdekaan sejati, hak rakyat justru terancam oleh kehadiran investasi yang tidak mempedulikan lingkungan hidup dan rakyat. ucapan apresiasi atas cepatnya proses UUCK,tidak lebih dari apresiasi atas "karpet merah" investasi

Salam Adil dan Lestari