Menyisir Pulau Flores: Akses Publik, Konservasi Vs Privatisasi

Menyisir Pulau Flores: Akses Publik, Konservasi Vs Privatisasi

Permasalahan lingkungan di wilayah pesisir menjadi salah satu butiran rekam jejak pengelolaan lingkungan hidup yang buruk di Bumi NTT. Ekspansi Pariwisata dalam Skala besar melanggengkan langkah cepat Investor untuk mengkapling ruang-ruang pesisir dan menekan akses publik ke wilayah pesisir. Dalam waktu yang bersamaan ruang-ruang Wilayah Kelola Rakyat (Nelayan) semakin hari semakin sempit akibat menjamurnya Investasi Skala Besar ini.

Pulau Flores sebagai salah satu gugusan pulau dari NTT tidak luput dari maraknya privatisasi pesisir. Hal ini merupakan dampak dari beberapa pengembangan proyek-proyek pembangunan pariwisata Super Premium yang mengabaikan masyarakat setempat serta membatasi ruang gerak Nelayan. Pembangunan Pariwisata dalam Skala Besar tentunya akan menyisakan konflik sosial dan ekologi yang cukup masif. Beberapa Hotel megah di pesisir pulau Flores serta beberapa proyek-proyek pendukung pariwisata super premium di pulau Flores mengabaikan akses masyarakat ke pesisir sampai ke wilayah laut serta menyisakan konflik agraria lain yang tak kunjung selesai.

Singkatnya beberapa permasalahan yang menyasar wilayah kelautan dan pesisir pulau Flores sebagai berikut: Pertama; Kondisi kelautan dan pesisir di Flores makin memprihatinkan dengan adanya kebijakan “memunggungi” laut. Yakni membiarkan kebijakan privatisasi kawasan pesisir yang merajalela. Contohnya, membuka ruang privatisasi di pesisir Labuan Bajo dan beberapa Kabupaten lain di Pulau Flores; Kedua: Berkurangnya wilayah kelola rakyat di pesisir. Ada banyak Nelayan yang sulit akses ke laut atau bahkan sekadar menambatkan perahu. Bahkan akses publik untuk melakukan rekreasi di pantai kian berkurang.

Ada apa dibalik semua permasalahan ini? Apakah pemerintah kita abai dan lalai terhadap pelestarian Pesisir dan Laut di NTT?

Dalam diskusi publik edisi 09 Juli 2020, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut WALHI NTT mengangkat tema Menyisir Pesisir Flores: Akses Publik, Konservasi Vs Privatisasi. Dalam diskusi tersebut telah dilibatkan pemerhati lingkungan, masyarakat pesisir, serta beberapa lembaga yang konsen terhadap isu pesisir dan kelautan.

Ada beberapa hal yang menjadi topik pembahasan dalam diskusi tersebut.

  1. Pola Pengelolaan Masyarakat Pesisir Flores

Berdasarkan paparan Wilfridus Keupung, mantan direktur WALHI NTT yang saat ini aktif sebagai pegiat lingkungan di Wahana Tani Mandiri, pada umumnya masyarakat pesisir di pulau Flores memanfaatkan pesisir sebagai sumber penghidupan. Model pengelolaan yang dilakukan antara lain menangkap ikan, menambak garam dan pariwisata dalam konteks lokal. Selain itu pesisir juga sering dijadikan oleh masyarakat sebagai tempat ritual adat oleh masyarakat adat yang tinggal di daerah pesisir. Misalnya untuk beberapa Kabupaten seperti Ende, Maumere hingga Flores Timur yang memanfaatkan muara (Nubananga) sebagai tempat ritual yang dimulai dari darat. Sementara itu menurut Abdul Gafur, di pulau pasir Awololong Lembata, masyarakat sering melakukan seremoni adat untuk mengenang leluhur mereka.

  1. Masuknya Pariwisata dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Pesisir Flores

Masuknya wisatawan asing ke Flores telah dimulai sejak tahun 80-an dan semakin marak ketika dibuka beberapa Taman Nasional oleh pemerintah seperti Taman Nasional Kelimutu dan Taman Nasional  Komodo. Pembukaan taman-taman nasional tersebut kemudian diikuti oleh investasi-investasi yang menyasar pesisir.

Gregorius Afioma, aktivis Flores Documentary Network menyampaikan bahwa di kabupaten Manggarai Barat, Labuan Bajo, ada beberapa pulau telah dijual kepada pihak asing. Jika dipantau menggunakan drown, pemukiman-pemukiman warga di wilayah pesisir terlihat mulai berkurang akibat maraknya pembangunan hotel, restaurant dan dive center di pesisir yang nota bene tidak memperhatikan daerah sempadan pantai. Ruang-ruang tangkapan nelayan juga semakin sempit oleh adanya regulasi konservasi. Dinamika pariwisata juga berpengaruh terhadap produksi sampah di laut, pencemaran bunyi dan jangkar kapal yang merusak terumbu karang.

Fakta mengejutkan yang ditemukan oleh Parid Riwanuddin, dari KIARA selain privatisasi pesisir, akses masyarakat terhadap pesisir, konflik agraria pesisir akibat pembangunan hotel ini adalah ketimpangan akses terhadap air. Contoh kasus yang disebutkan adalah akses masyarakat pulau Papagaran yang dalam seminggu hanya sekali mendapatkan akses air. Sementara hotel-hotel memiliki supply air yang melimpah. Jika penanganan pariwisata di NTT tidak serius memperhatikan ini, maka krisis air yang terjadi di Kabupaten Badung Bali juga akan marak terjadi di NTT.

Pater Marselinus Agot menambahkan, akibat model privatisasi tersebut,  Pantai Pede tersisa sebagai satu-satunya pantai yang dapat diakses oleh warga di Labuan Bajo. Pada tahun 2012, di pantai tersebut akan dibangun hotel sehingga menuai konflik dengan masyarakat hingga saat ini.

Selain Labuan Bajo, konflik lain akibat privatisasi pesisir untuk kepentingan pariwisata juga terjadi di Awololong Kabupaten Lembata. Abdul Gafur, pemuda yang ikut menolak pembangunan tersebut menyatakan bahwa dengan adanya pembangunan restoran apung ini, potensi kerusakan dan pencemaran laut yang akan ditimbulkan cukup besar. Bahkan akan menyebabkan kepunahan siput yang menjadi salah satu pangan masyarakat di pesisir Awololong. Masyarakat juga menghadapi ketakutan akan terambilnya wilayah mencari ikan karena pulau ini berada di Teluk Lewoleba, tempat nelayan secara tradisional mencari ikan.

Menanggapi penyampaian narasumber-narasumber terkait konflik yang terjadi di wilayah pesisir Flores, Yuvensius Nonga dari WALHI NTT menyatakan bahwa trend kasus akibat privatisasi pesisir mengalami peningkatan seiring dengan kampanye pemerintah Provinsi NTT untuk mengembangkan pariwisata  super premium yang basisnya investasi skala besar. Yuven membenarkan bahwa model pariwisata tersebut sangat sarat dengan privatisasi dan alih fungsi kawasan sehingga tidak heran jumlah konflik di pesisir meningkat.

  1. Di Balik Akses Publik, Konservasi Vs Privatisasi di Pulau Flores

Parid Riwanuddin, Perwakilan KIARA dalam diskusi online tersebut menyampaikan analisisnya terkait latar belakang pemerintah Indonesia dengan gencar mendorong pariwisata sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, Indonesia sudah sejak lama sangat bergantung dengan ekspor bahan mentah dari sumber daya alam seperti minyak sawit, batu bara, hasil tambang migas dan non-migas untuk menggenjot perekonomian Negara. Akan tetapi pada 2010, keberadaan sumber-sumber daya alam tersebut semakin menipis. Lalu pemerintah Indonesia mulai melihat pariwisata sebagai alternatif pemasukan Negara yang menjanjikan. Sehingga pada tahun 2011, pemerintahan Indonesia yang saat itu berada di bawah pimpinan SBY mengeluarkan sebuah Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 terkait Rencana Induk Kepariwisataan Nasional 2010-2025. Keberadaan PP ini berimplikasi pada ditentukannya NTT sebagai Kawasan Destinasi Pariwisata Nasional yang diproyeksikan akan menyamai bahkan menggantikan pariwisata di Bali.

Hal ini kemudian dapat dibuktikan dengan maraknya pertumbuhan hotel di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Berdasarkan hasil kajiannya, pada tahun 2016 di Labuan Bajo terdapat 64 hotel dengan jumlah kamar mencapai 1000 dan pada tahun 2018 sudah terdapat 98 hotel dengan jumlah kamar sebanyak 1400san.

Roni Maulana, Kadep Advokasi Kebijakan Seknas KPA menambahkan bahwa World Bank mengucurkan dana sebesar 200 juta dolar untuk mengembangkan pariwisata di NTT. Akan tetapi uang sebesar demikian tidak masuk kepada pengembangan pariwisata lokal tetapi masuk ke tangan-tangan pelaku pariwisata berskala perusahaan besar. Roni juga menyebutkan temuannya bahwa sekurangnya ada tiga pulau di NTT yang diperjualbelikan melalui sebuah situs online milik Canada. Hal ini menurutnya adalah bukti kelalaian Pemprov dalam menjaga kedaulatan tanah yang merupakan asset masyarakat.

  1. Tawaran Diskusi

Menanggapi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh pariwisata di Flores, ada beberapa tawaran yang dimunculkan dalam diskusi tersebut:

  1. Mendorong Empat Amanat Putusan MK Nomor 3 Tahun 2010 untuk dijalankan dan dimuat dalam aturan-aturan terkait
  2. Mengembangkan konsep pariwisata yang tidak bias ecotourism atau bersifat ekofasis. Pariwisata dimaksud adalah etnotourism dimana pelaku pariwisata adalah masyarakat asli sehingga masyarakatlah yang menjadi penerima manfaat utama dari pariwisata.
  3. Penguatan masyarakat atau komunitas-komunitas lokal yang mulai melakukan aktivitas pengelolaan pariwisata oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
  4. Terkait advokasi konflik-konflik agraria yang terjadi di pesisir perlu adanya konsolidasi tanah yang dikuasai oleh masyarakat misalnya dengan menceritakan sejarah budaya yang ada di atas tanah-tanah tersebut dan pemetaan partisipatif yang kemudian diusulkan kepada pemerintah dan diselesaikan dengan mekanisme yang ada.

Video Lengkap Diskusi ini dapat diakses melalui link : https://www.youtube.com/watch?v=MNIyOVweI7A

Narahubung :
Rima M. Bilaut (WALHI NTT)