Menjalin Benang Konstitusi Menuju Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia

ARTIKEL OPINI KOMPAS KHALISAH KHALID 27 Agustus 2018 Penyelenggara pemilu telah memukul gong, tanda dimulainya proses politik elektoral 2019. Demokrasi prosedural yang dimanifestasikan dalam bentuk politik elektoral baik pilkada maupun pemilu (pileg dan pilpres) merupakan sebuah ancaman dan sekaligus tantangan bagi gerakan lingkungan hidup dan gerakan rakyat di Indonesia. Kita tidak bisa menutup fakta bahwa demokrasi yang memiliki cita-cita mulia telah dibajak oleh kekuatan ekonomi politik sehingga melahirkan sebuah oligarki yang menentukan nasib hidup rakyat. Acap kali keduanya saling berkelindan, politik transaksional melahirkan kebijakan yang berdampak buruk bagi lingkungan hidup dan rakyat. Politik transaksional juga telah melahirkan sebuah praktik politik yang berbiaya tinggi, dan berujung pada penggadaian sumber daya alam (SDA) lewat obral izin, dengan modus atau celah yang dilakukan melalui revisi tata ruang wilayah. SDA memang jalan yang paling mudah dan cepat untuk didapat, di tengah ongkos politik yang begitu mahal. Tak heran jika banyak kepala daerah yang akhirnya dijerat kejahatan korupsi. Kasus korupsi Gubernur Sulawesi Tenggara menjadi catatan buram, bagaimana pengelolaan SDA kita sarat kejahatan korupsi lewat rezim perizinan. Tantangan Di antara hiruk-pikuk politik elektoral, ada pertanyaan kritis tentang politik substantif yang belum banyak tersentuh. Sejatinya politik elektoral adalah jalan untuk menyelesaikan persoalan yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, jalan mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan rakyat. Lingkungan hidup merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia. Dari 2.175 kejadian bencana di 2017, 95 persen merupakan bencana hidrometeorologi dan semakin menunjukkan situasi Indonesia dalam keadaan darurat ekologis. Sayangnya, angka dan fakta ini belum membuka mata banyak politisi bahwa persoalan lingkungan hidup adalah persoalan penting dan menyangkut keselamatan hidup warga negara. Pilkada yang sudah berjalan menunjukkan isu lingkungan hidup yang substantif atau akar masalah lingkungan hidup masih jadi isu pinggiran. Secara umum dapat dinilai, paradigma calon kepala daerah masih belum berubah dalam melihat SDA dan lingkungan hidup. Paradigmanya tetap eksploitatif untuk mengejar pertumbuhan ekonomi meski dibumbui dengan kata berkelanjutan. Demikian juga pandangan lama terhadap aktor ekonomi, sebagian besar masih melihat investasi dengan aktor besar korporasi menawarkan dampak tetesan ke bawah (trickle down effect) bagi rakyat kebanyakan dengan menjadi buruh. Bukan menempatkan rakyat sebagai subyek yang mampu mengelola kekayaan alamnya, dengan kebijakan yang memberikan pengakuan dan perlindungan pada wilayah kelola rakyat. Ketika lingkungan hidup menjadi isu pinggiran, kebijakan yang kita harapkan berpihak kepada lingkungan hidup dan rakyat kian jauh dari harapan. Hasil kajian Walhi yang dilakukan menjelang Pileg 2014 terkait indeks kualitas calon anggota legislatif yang memiliki kapasitas, komitmen, integritas dalam lingkungan hidup dan HAM, menunjukkan hanya 0,2 persen caleg yang lolos ke Senayan. Menjadi sangat wajar kemudian jika anggota parlemen kita jauh dari pembahasan agenda penyelamatan lingkungan hidup. Bahkan, mirisnya, DPR justru menginisiasi RUU Perkelapasawitan yang menjadi ancaman kian meningkatnya bencana ekologis di Indonesia. Selama empat tahun ini, nyaris wakil kita di parlemen tak bersuara dalam berbagai krisis lingkungan hidup yang terjadi. Di tengah apatisme rakyat terhadap praktik politik, terlebih dengan semakin menguatnya politik identitas yang kerap dimainkan elite politik di negeri ini, membiarkan politik transaksional ini berjalan tanpa intervensi dari gerakan lingkungan hidup dan organisasi masyarakat sipil lainnya, juga memiliki risiko. Langgengnya kekuatan ekonomi politik tersebut, artinya sama dengan melanggengkan krisis, baik krisis lingkungan hidup maupun krisis kemanusiaan lainnya. Atau menjauhkan isu lingkungan dari politik juga sama artinya sedang menjauhkan esensi demokrasi, karena kondisi lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana amanat konstitusi, dilahirkan dari sebuah kebijakan politik. Politik lingkungan hidup Tantangan itu harus mampu dijawab masyarakat sipil dengan memajukan politik agenda. Dalam konteks penyelamatan lingkungan hidup dan SDA, agenda politik lingkungan hidup harus terus didorong masuk ke tengah pusaran gelanggang politik, menjadi perdebatan substantif dan pada akhirnya menjadi preferensi bagi warga negara untuk menentukan pilihan politiknya. Pada Desember 2017, Walhi bersama wakil komunitas dari beberapa wilayah dan ormas sipil meluncurkan platform politik lingkungan hidup. Ada lima agenda utama politik lingkungan hidup: (1) mengembalikan kewajiban negara sebagai benteng HAM dengan peran-peran perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan terhadap HAM; (2) penataan relasi ulang negara, rakyat, dan modal di mana dalam perekonomian, rakyat harus ditempatkan sebagai aktor utama; (3) pengakuan dan perlindungan terhadap wilayah kelola rakyat; (4) penyelesaian konflik lingkungan hidup dan SDA/agraria; dan (5) pemulihan lingkungan hidup. Disadari, agenda politik lingkungan hidup bukanlah perkara mudah serta butuh kemauan politik dan kepemimpinan yang kuat. Dengan kesadaran bahwa kesalahan negara dan publik selama ini selalu melakukan teknikalisasi masalah lingkungan hidup, dan berujung pada teknikalisasi solusi semata, serta mengingat yang hendak diselesaikan adalah problem struktural lingkungan hidup dan SDA/agraria, maka sebagai sebuah agenda politik, diharapkan dapat diusung secara bersama oleh seluruh elemen masyarakat guna mewujudkan keadilan ekologis. Khalisah Khalid Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional Walhi