Menjaga Subak Uma Utu

Menjaga Subak Uma Utu
Oleh Ahmad Farid 

Padi menghijau berundak-undak. Daun bergoyang ke kiri dan ke kanan tertiup angin. Di tepian sawah, air mengalir deras memastikan sang tanaman tak kekurangan asupan. Air ini bukan mengalir begitu saja tanpa aturan. Ia terukur,  kapan dan berapa banyak pasokan yang diberikan buat satu pematang sawah. 

Praktik ini ada di Subak Uma Utu. Ia berada di Desa Babahan, Kecamatan Penebal, Kabupaten Tabanan-Bali, bagian dari alur persubakan Ayo Ulu. 

Sebagai wilayah subak dengan posisi tertinggi (hulu), Subak Uma Utu memegang peranan penting dalam menjaga kelestarian hutan dan lingkungan sekitar serta pola tanam padi masyarakat di Persubakan Ayo Ulu, seperti jadwal tanam, pola pembagian air dan lain-lain. 

Desa Babahan merupakan daerah dataran tinggi di Lereng Gunung Batur, memiliki banyak mata air. Aliran air ini sudah dimanfaatkan masyarakat Babahan bahkan hingga ke kota untuk berbagai keperluan. Baik keperluan rumah tangga, pertanian, perkebunan juga peternakan. Bahkan sejak 2000-an, ada sekitar lima perusahaan air minum kemasan mengambil sumber  air dari mata air di Babahan.

Subak di Bali,  tidak sekadar bagaimana pengaturan pengairan bagi masyarakat. Ia juga memiliki hubungan vertikal dengan Maha Kuasa dalam kayakinan masyarakat Hindu Bali.  Konsep Tri Kayangan, yang meliputi Palemahan-Parahyangan dan Pawonan menjadi landasan masyarakat Bali dalam mengintegrasikan aktivitas pemenuhan ekonomi keluarga dengan aktivitas keagamaan. 

Sebagai wujud dari pelaksanaan kedua hal ini, dalam praktik ditetapkan aturan yang harus dipatuhi semua anggota subak. Antara lain, meliputi teknis pengelolaan perairan dan tatacara persembahyangan. 

Dalam pengelolaan perairan, setiap subak dipimpin seorang yang disebut kelian, yang mengorganisir subak-subak dalam satu perairan dipimpin seorang disebut pekasih. Kedua pemimpin ini memiliki tugas mengorganisir masing-masing anggota sesuai cakupan kewenangan, termasuk mengecek luasan lahan subak untuk memastikan distribusi air secara adil.

Aturan teknsi pembagian air sebagai berikut: per 10 are (100m2) lahan mendapatkan jatah ketinggian air yang masuk ke lahan setinggi  satu jari (cm). Sedangkan, mengatur agar air dapat terdistribusi dengan baik ke semua anggota subak dari hulu ke hilir, diatur siklus tanam yang dimulai dari subak teratas dengan interval waktu antar subak 2-3 minggu. Pola pengaturan ini agar semua anggota subak mendapatkan air untuk budidaya padi, mengingat kebutuhan air terbanyak dalam sistem budidaya padi masyarakat ada pada tiga minggu pertama. 

Dengan pola ini, subak paling atas (seperti Subak Uma Utu) memegang peranan dalam menjaga siklus pola tanam. 

Padi Bali dan padi baru
Benih padi lokal (padi Bali), pupuk organik, siklus tanam berjenjang dan pola pembagian air yang terorganisir adalah ciri khas dari subak di Bali. Nilai budaya yang diwariskan leluhur masyarakat Bali ini cerminan dari model kelola komunitas egaliter dan berkelanjutan. Seiring  perjalanan waktu, beberapa warisan model kelola komunitas ini mengalami perubahan sebagai adaptasi masyarakat atas perkembangan dunia pertanian, seperti benih tidak hanya padi lokal Bali. Juga memakai padi baru (hibrida-red). Pupuk tidak lagi hanya organik, namun sudah banyak memakai pupuk anorganik. Peruntukan pengelolaan air tidak lagi hanya lahan pertanian, sudah mengakomodasi kepentingan peternakan (ayam, babi). 

Untuk mengantisipasi agar nilai-nilai dalam subak tidak luntur, masyarakat melakukan beberapa adaptasi. Pertama, masyarakat yang menanam padi baru (hibrida) harus menunggu tandur selama satu bulan setelah masyarakat yang menanam padi Bali tandur. Tujuannya, agar masyarakat tetap dapat panen serentak sebagai bentuk kebersamaan dalam satu komunitas subak, mengingat padi baru baru lebih cepat panen daripada padi Bali.

Kedua, keanggotaan subak memiliki usaha non pertanian seperti  peternakan, tetap diakui sebagai anggota subak. Sebab, mereka tetap membutuhkan air untuk aktivitas peternakan. Ini diatur dalam awiq-awiq.

Dari sisi hubungan vertikal, subak salah satu wujud dari Tri Kayangan sangat kental dengan nuansa keagamaan. Karena itu,  setiap subak harus memiliki pure. Setiap tahapan aktivitas pertanian harus didahului dengan doa atau persembahyangan, upacara Nuansen ketika padi berumur 20 hari. Lalu, upacara ketika padi sudah mulai menguning,  upacara Nyepi ketika padi berumur 42 hari, Nyangket sebelum panen, serta upacara Mantenin ketika padi akan disimpan di lumbung. 

Semua upacara ini sebagai doa memohon keselamatan hingga tanaman bisa tumbuh subur dan menghasilkan buah banyak. Ia juga sebagai wujud syukur.

Khawatir alih fungsi 
Sebagai destinasi wisata yang paling banyak dikunjungi wisatawan di Indonesia, Bali mengalami perkembangan sangat pesat. Ia menghadirkan Bali sebagai wisata kelas dunia. Sesuatu yang patut menjadi kebanggaan. Namun, di balik itu, Bali juga memiliki catatan miris terkait penguasaan dan alih fungsi lahan yang merambah hingga pelosok. 

Wilayah persawahan subak kini banyak beralih kepemilikan ke pemodal serta beralih fungsi menjadi perhotelan. Kabupaten Tabanan, satu contoh.

Para sesepuh Desa Babahan merasakan kekhawatiran ini, terutama masa depan subak. Bagi mereka,  dasar kehidupan adalah bertani. Padi adalah sumber kehidupan. Kekhawatiran ini tercermin dari situasi petani sekarang  yang makin terjepit, benih mahal, mencari rabok susah, pupuk susah dicari, air untuk pesawahan makin mengecil karena diambil untuk memenuhi masyarakat di kota.

Kekhawatiran ini tentu bisa dipahami, mengingat subak adalah produk budaya yang diyakini sebagai salah satu perwujudan Tri Kayangan. 

Meskipun begitu, masyarakat tidak lantas berdiam diri. Terlihat di persubakan Ayo satu terdiri dari tujuh subak:  Bangkahan, Uma Utu, Embuk Lenggung Jambelangu, Belengkunan, Babahan dan Ujung. Dengan dikoordinasikan oleh pekasih, mereka membuat aturan baru yang termuat dalam awi-awiq.  Dimana salah satu, melarang alih fungsi lahan subak agar lahan tidak mengecil. []