Menagih Kebijakan Korektif Kebun Kayu di Areal Kerja Hutan Tanaman Industri 

Siaran Pers

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Jakarta, 4 September 2020 – Langkah korektif sektor kehutanan yang didengungkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak seindah pemberitaan media. Kecenderungan meningkatnya akses rakyat di kawasan hutan dan melambatkan pertumbuhan perizinan korporasi dibanding sebelumnya belum menyentuh persoalan pokok dominasi korporasi terhadap kawasan hutan Indonesia. Dominasi tersebut melanggengkan konflik dan laju kerusakan lingkungan. Salah satu perizinan yang berkontribusi melanggengkan persoalan tersebut adalah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI, selanjutnya disebut HTI). Perizinan ini melegalkan alih fungsi hutan alam dan wilayah kelola rakyat menjadi kebun kayu. Hutan yang menjadi rumah  beragam biodiversitas dan sumber kehidupan rakyat dirusak.

Buku status Hutan dan Kehutanan 2018 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)  menyebut bahwa HTI merupakan perizinan sektor kehutanan yang menduduki peringkat dua penguasaan ruang di kawasan hutan. Tercatat terdapat 11,17 juta hektar luas areal kerja HTI. Luas ini hanya dikuasai oleh 293 badan usaha, yang (luasannya beragam, misalnya terdapat izin yang luasnya mencapai (setara) dengan 6 kali lipat luasan Provinsi Jakarta) artinya rata-rata setiap badan usaha menguasai sekitar tiga puluh delapan ribu hektar kawasan hutan. Dominasi ini merupakan salah satu faktor penghambat tidak tercapainya target Perhutanan Sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria.

Potret Konflik Masyarakat vs HTI

Dari periode semester II 2019 hingga semester II 2020, WALHI secara intens mendampingi konflik tenurial di kawasan hutan di areal kerja 5 korporasi yang berada di Riau, Jambi, Sumatera Selatan,  Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Beberapa potret konflik tersebut dapat dilihat dari ringkasan di bawah. Seluruh perusahan tersebut merupakan pemasok bahan baku pulp dan kertas dari budidaya akasia dan eukaliptus.

  • Sumtera Riang Lestari (SRL) merupakan korporasi afiliasi dengan APRIL Group. Ia mempunyai konsesi seluas 217.638,9 hektar berdasarkan SK.208/Menhut-II/2007. Dari awal memperoleh konsesi di Kabupaten Rokan Hilir, Rokan Hulu, Bengkalis, Indragiri Hilir dan Indragiri Hulu. Bahkan hampir seluruh konsesi di Rokan Hilir dikuasai oleh masyarakat. Konflik agraria juga terjadi di Pulau Rupat dan Pulau Rangsang;
  • Taiyong Engreen merupakan perusahaan yang sumber investasinya berasal dari Korea. Ia memiliki konsesi seluas 59.611,58 hektar berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK .78/Menhut-II/2009. Areal konsesi tersebut tersebar di Gunung Mas, Kapuas, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Saat ini, perusahaan investasi Korea ini berkonflik dengan masyarakat adat Mungku;
  • Limbah Kayu Utama (LKU) memiliki konsesi di Tebo, Batanghari Provinsi Jambi dengan luas 19.548,88 hektar. Legalitas areal konsesi tersebut adalah Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.327/Kpts-II/1998. Perusahaan ini berkonflik dengan Suku Anak Dalam di Kabupaten Tebo. Pada 2015 Dinas Kehutanan Jambi bersurat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencabut izin perusahaan tersebut. Rekomendasi pencabutan izin didasarkan pada alasan konflik agraria;
  • Musi Hutan Persada (MHP) merupakan perusahaan pemegang izin HTI yang beroperasi berdasarkan SK.38/Kpts-II/1996 dengan konsesi seluas 296.400 hektar tersebar di Kabupaten Lahat, Penukal Abab Lematang Ilir,Muara Enim, Musi Banyuasin, Musi Rawas, OKU, dan OKU Timur Provinsi Sumatera Selatan. Namun dalam proses digitasi, luas konsesi yang dikuasai PT MHP membengkak dari izin yang diterima menjadi 432.576 hektar. Perusahaan yang didanai investasi dari Jepang ini memiliki sederet catatan Panjang konflik agraria. Tercatat PT MHP berkonflik dengan 34 desa/komunitas warga, salah satu diantara konflik tersebut adalah penggusuran kebun warga dusun Cawang Gumilir, Musi Rawas pada tahun 2015 yang diwarnai dengan kekerasan aparat dan petugas keamanan perusahaan.
  • Hutan Rindang Banua (HRB) merupakan perusahaan yang berafiliasi dengan Sinar Mas Group dan United Fiber System dengan wilayah konsensi seluas 254.175 hektar tersebar di 4 (empat) Kabupaten/Kota di Kalimantan Selatan meliputi Banjar, Kota Baru, Tanah Bumbu dan Tanah Laut. Perusahaan ini bergerak di sektor Pulp and Paper dan beroperasi berdasarkan SK.352/Menhut-II/2014. PT HRB yang merupakan eks perusahaan Hak Penguasaan Hutan (HPH) milik Probosutedjo (Adik Tiri Soeharto) memiliki catatan konflik agraria dan perusakan lingkungan. PT HRB melakukan pencaplokan lahan pertanian dan perkebunan milik warga Desa Sebamban Lama (3.583 Ha), Sebamban Baru (927 Ha), Trimartani (40 Ha) dan Desa Hati’if (741 Ha).

Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa lima perizinan tersebut berkontribusi menghambat akselerasi capaian perhuatanan sosial dan tanah objek reforma agraria di lima provinsi.

Kerusakan Lingkungan di Areal Kerja HTI

Terkait persoalan lingkungan, WALHI mencatat tiga persoalan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh praktik buruk HTI. Pertama, merujuk olah data dari geoportal.menlhk.go.id tercatat bahwa HTI merupakan salah penyumbang deforestasi terbesar dalam periode 2014 s/d 2019. Kedua, kontribusi besar terhadap polusi udara akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama sepuluh tahun belakangan. Kontribusi besar titik api di areal konsesi HTI tidak terlepas dari data KLHK yang menyebut setengah luas perizinan HTI atau seluas 5.646.405 hektar (50,54%) berada di ekosistem gambut yang 2.100.190 hektar (18,80%) diantaranya berada di ekosistem gambut fungsi lindung. Perizinan HTI yang berada di ekosistem gambut ini tersebar di 11 Provinsi, yang sebaran terbesarnya berada di Sumatera dan Kalimantan.  Ketiga, menghilangkan hak generasi ke depan terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat serta keragaman hayati. Alih fungsi kawasan hutan dan kebakaran yang mengakibatkan turunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan sekaligus menghilangkan habitat bagi beragam biodeversitas, seperti harimau sumatera, gajah, dan beberapa jenis kayu alam. 

Berdasarkan uraian di atas, maka WALHI menuntut janji realisasi kebijakan korektif Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan guna menghentikan dampak buruk investasi kebun kayu (HTI) dengan melakukan hal sebagai berikut:

  1. Melakukan peninjauan ulang seluruh perizinan HTI berdasarkan kriteria lokasi areal kerja di ekosistem gambut, konflik tenurial, kejadian karhutla dan kepatuhan terhadap kewajiban izin dan daya dukung dan tampung lingkungan hidup;
  2. Melakukan audit kepatuhan terhadap seluruh perizinan HTI dan menjatuhkan sanksi tegas hingga pencabutan izin terhadap perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan hidup;
  3. Memulihkan hak tenurial masyarakat adat dan lokal yang dirampas paksa melalui kebijakan perizinan yang tidak partisipatif dan abai pada aspek hak asasi manusia lainnya.

Narahubung:

  • Ode Rakhman (081356208763)
  • Boy Jerry Even Sembiring Manajer Kajian Kebijakan WALHI (085271897255)

Kutipan Media
Eksekutif Nasional WALHI
“Dorongan evaluasi investasi kebun kayu, hutan tamanan industri merupakan cara WALHI mengingatkan sekaligus menagih janji negara untuk melakukan kebijakan korektif sektor kehutanan. Pencabutan izin HTI yang berada di ekosistem gambut dan melakukan praktik buruk pengelolaan hutan akan meminimalkan risiko kebakaran hutan sekaligus mendorong percepatan pemulihan kondisi ekosistem tersebut. Kebijakan korektif tersebut juga akan membantu pemerintah untuk mengakselerasi percepatan perlidungan wilayah kelola rakyat,”Even Sembiring/085271897255.