Membedah UU Cipta Kerja di “Klinik Omnibus Law”

Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Membedah UU Cipta Kerja di “Klinik Omnibus Law”

Jakarta, 12 Oktober 2020 – Siaran Live Youtube selama 40 jam jelang Hari Jadi WALHI Ke-40 telah berlangsung selama dua hari. Salah satu segmen siarannya diberi nama “Klinik Omnibus Law.” 

Tayangan ini menemani sahabat WALHI sekitar enam puluh menit setiap hari pukul 15.00 WIB

Dalam dua sesi talk show, tema yang diangkat adalah masyarakat adat dan reforma agraria. Kedua narasumber talk show memiliki pendapat yang senada. Pengesahaan RUU Cipta kerja akan menambah beban baru bagi rakyat. Bagi masyarakat adat, pengesahan UU ini akan menambah kesulitan dalam berjuang. Terutama dalam upayanya mendapat pengakuan sebagai subjek hukum. Sementara bagi Gerakan Reforma Agraria, khususnya petani, UU ini menjadi alat hukum baru liberalisasi tanah dan kekayaan alam, yang akan memperparah ketimpangan struktur agraria, mendegradasi keseimbangan ekologis. 

Ketua Panitia Hari Jadi WALHI keempat puluh, Melva Harahap, menyebut jika acara “Klinik Omnibus Law” merupakan simbol bahwa negara sedang tidak baik-baik saja. Negara sedang sakit parah diserang penyakit bernama RUU omnibus law Cipta Kerja, yang telah disahkan pada 5 Oktober lalu. 

Bagi WALHI, pengesahaan RUU Cipta Kerja meruntuhkan banyak hal fundamental. Seperti perlindungan lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009. Jika ditinjau secara lebih luas, pengesahaan RUU Cipta Kerja merupakan potret runtuhnya hak konstitusional warga negara. Pasalnya, sejak awal pengesahaan, RUU ini sudah direncanankan untuk melindungi dan melayani kebutuhan investor ‘jahat.’ Penamaan “Cipta Kerja” hanya kedok mengelabui buruh, masyarakat adat, petani, masyarakat sipil, hingga pecinta musik Kpopers. 

Petaka Baru Bagi Masyarakat Adat
Sesi pertama “Klinik Omnibus Law” dibuka dengan diskusi mengenai masyarakat adat. Narasumber dalam sesi pada Sabtu, 10 Oktober 2020 adalah Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Rukka menyampaikan bahwa pengesahaan RUU Cipta Kerja tidak hanya berdampak pada pekerja di kota. UU itu juga menyangkut ruang hidup masyarakat di perdesaan, termasuk masyarakat adat, petani, dan nelayan. 

Dari hulu hingga hilir, UU ini memuat permasalahan yang sangat rumit. Pada bagian hulu, penyederhanaan proses perizinan mempermudah pencaplokan wilayah adat untuk investasi perkebunan, kehutanan, tambang, dan lain sebagainya. Ketentuan UU Cipta Kerja juga melanggar hak konstitusional masyarakat adat, khususnya Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD NRI 1945. Sementara pada bagian hilir, UU ini makin melemahkan posisi tawar kelas pekerja di perkotaan.  

Asumsi jika pengesahaan UU Cipta Kerja akan memperluas lapangan pekerjaan juga keliru. Karena, dengan penyederhanaan izin operasi perusahaan, hal itu justru akan membunuh lapangan kerja yang sudah ada. Padahal dari lapangan pekerjaan itulah masyarakat bertahan hidup. “Terbukti selama pandemi. Masyarakat yang berdaulat atas tanahnya dan mampu memproduksi pangan secara mandiri justru mampu bertahan,” ujar Rukka. 

Rukka juga menambahkan bahwa pernyataan Airlangga Hartanto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang menyebut pengesahaan RUU Cipta Kerja berpotensi menciptakan 30 juta lapangan kerja baru bagi masyarakat Indonesia malah berpotensi menghapus setidaknya 20 juta lapangan kerja tradisional bagi masyarakat adat. Apabila negara memang berniat melindungi, maka yang perlu disahkan adalah RUU Masyarakat Adat. Sebab inilah undang-undang yang sudah diperjuangkan masyarakat adat selama sepuluh tahun terakhir. 

Alat Hukum Baru Perampas Tanah Rakyat
Sesi kedua “Klinik Omnibus Law” menghadirkan Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Tema yang diangkat adalah dampak pengesahaan RUU Cipta Kerja terhadap perjuangan reforma agraria. Dewi, memulai talk show dengan menyatakan bahwa UU Cipta Kerja mengandung masalah-masalah fundamental sebab UU ini menabrak Konstitusi. 

Selain proses yang gelap dan manimulatif karena perumusannya sejak awal tidak melibatkan kelompok kepentingan yang akan terdampak, dari sisi substansi, menurut Dewi ada 10 (sepuluh) masalah fundamental UU Cipta Kerja.

Diantaranya, UU Cipta Kerja telah melanggar Pasal 33 Ayat (3) dan (4) UUD 1945, mengenai kewajiban Negara atas sumber agraria Indonesia agar dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui demokrasi ekonomi. Parahnya lagi, banyak putusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang telah menguatkan hak konstitusi rakyat, utamanya petani, nelayan, masyarakat adat, dan produsen pangan kecil justru dikangkangi oleh UU ini.

“Orientasi ekonomi-politik UU ini adalah membangun sistem ekonomi-politik yang liberal dan kapitalistik. Pemilik modal lah yang semakin mendapatkan akses utama terhadap hak atas tanah dan sumberdaya alam. Sementara petani, buruh tani, masyarakat miskin, masyarakat tak bertanah (landless) akan semakin mengalami krisis berlapis. Hal ini mengkhianati cita-cita para pendiri bangsa dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 bahwa hak atas tanah memiliki fungsi sosial,” sebutnya. 

UU Cipta Kerja mendorong liberalisasi sumber-sumber agraria di Indonesia, karena tanah menjadi barang komoditas, yang bebas ditransaksikan bagi para pemilik modal dan badan usaha raksasa. Sederhananya, obral tanah dan kekayaan alam negeri menjadi watak UU ini. Dengan orientasi semacam ini, tidak dapat dibayangkan kerusakan bumi di masa depan.

Akibatnya, UU ini semakin menjauhkan rakyat dari cita-cita reforma agraria. Semangatnya bukan untuk memperbaiki ketimpangan struktur agraria. Justru akan memperparahnya. Tak heran sebab dasar utama mengapa soal pertanahan dan pengadaan lahan masuk ke dalam UU ini, berasal dari argumentasi yang dibangun Menteri ATR/BPN soal keluhan badan usaha (investor) kesulitan memperoleh tanah di Indonesia. Lewat argumen “norma baru” menjadi jalan agar RUU Pertanahan yang gagal disahkan pada September 2019 karena mengandung sejumlah masalah prinsipil, bisa diseludupkan (copy-paste) ke dalam UU Cipta Kerja. UU ini secara “malu-malu” bermaksud menggantikan prinsip-prinsip UUPA. 

Dewi menyampaikan bahwa paradigma domein verklaring atau azas “negaraisasi tanah” di masa pemerintahan kolonial yang telah dihapus UUPA, justru dihidupkan lagi oleh UU Cipta Kerja. Caranya dengan menyelewengkan Hak Menguasai Dari Negara (HMN) atas tanah melalui rumusan-rumusan bermasalah Hak Pengelolaan (HPL) dalam UU ini. Seolah Negara adalah pemilik tanah. Ini bentuk pelanggaran lain terhadap Konstitusi. Dari HPL, UU memfasilitasi penerbitan ragam jenis hak, salah satunya hak guna usaha (HGU) yang banyak menimbulkan konflik agraria struktural di berbagai daerah. Celakanya, proses perpanjangan dan pembaruan HGU dapat dilakukan sekaligus.

Berlakunya kembali azas domein verklaring, maka setiap tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh rakyat otomatis menjadi tanah negara. Padahal, sistem administrasi dan pendaftaran atas tanah belum dijalankan secara berkeadilan sejak UUPA diberlakukan. Alhasil, perampasan dan penggusuran petani atas nama penertiban tanah negara dan kebutuhan tanah untuk proyek pembangunan akan semakin meluas.

Penyesatan publik tentang reforma agraria telah disampaikan Pemerintah dan DPR. Mengklaim bahwa pembentukan Bank Tanah (BT) penting bagi pelaksanaan reforma agraria, dengan memasukan reforma agraria sebagai tujuan pembentukan BT. Reforma agraria adalah operasi koreksi Negara terhadap ketimpangan struktur agraria dan konflik agraria. Menurut Dewi, menempatkan reforma agraria bagi petani dalam mekanisme pengadaan tanah bagi kelompok bisnis adalah penyimpangan besar-besaran terhadap agenda bangsa reforma agraria. Celakanya, Bahkan, TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA telah dicatut UU ini.

Narahubung:

Melva Harahap (081264430707)
Wahyu A. Perdana (08211239919)