Melegalkan Krisis Iklim: Deforestasi Sistematis Atas Nama Transisi Energi di Indonesia

Jakarta, 8 November 2025 - Dalam momentum Konferensi Tingkat Tinggi COP 30 di Belém, Brasil, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyerukan agar Indonesia segera menghentikan praktik transisi energi palsu yang melegalkan deforestasi dan mengakui secara penuh peran masyarakat adat serta komunitas lokal sebagai penjaga ekosistem paling vital di negeri ini.

COP 30 harusnya menjadi titik balik dalam diplomasi iklim global. Para pemimpin dunia secara terbuka mengakui bahwa pelampauan ambang batas 1,5°C kini tak terhindarkan, dan menyebut kegagalan ini sebagai “kegagalan moral dan kelalaian mematikan”. Seruan utama dari konferensi ini bukan lagi janji-janji baru, melainkan implementasi cepat, nyata, dan berskala besar. Di tengah urgensi global ini, WALHI menegaskan bahwa Indonesia tidak dapat terus mempertahankan model ekonomi eksploitatif dan transisi energi yang bergantung pada ekstraksi sumber daya alam.

Laporan terbaru WALHI berjudul “Melegalkan Krisis Iklim: Deforestasi Sistematis Atas Nama Transisi Energi di Indonesia” mengungkap bahwa ±26,68 juta hektar kawasan berhutan Indonesia, setara 25,6% dari total tutupan hutan nasional berada di bawah tekanan izin industri ekstraktif, seperti PBPH (Perizinan Berusaha di Bidang Kehutanan), WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan), dan HGU (Hak Guna Usaha). Jika seluruh kawasan ini dibuka untuk mendukung proyek-proyek transisi energi, Indonesia berpotensi melepaskan lebih dari 9 miliar ton karbon dioksida ekuivalen (CO₂e) ke atmosfer, angka yang setara dengan akumulasi emisi sektor energi selama 25 tahun terakhir.

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional mengatakan “temuan ini memperlihatkan bahwa proyek-proyek transisi energi yang dijalankan saat ini, seperti kendaraan listrik, panas bumi, co-firing biomassa, dan bioenergi, justru mendorong deforestasi dalam skala besar. Ketergantungan pada hutan dan lahan sebagai sumber daya transisi energi telah mengaburkan tanggung jawab sektor energi untuk menurunkan emisi secara langsung. Strategi mitigasi yang mengandalkan sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU) sebagai penyeimbang emisi fosil dinilai tidak cukup dan berisiko memperbesar praktek greenwashing”.

Para pemimpin dunia, termasuk Indonesia menyatakan bahwa Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal adalah aktor utama dalam menjaga iklim sekaligus sebagai pusat solusi. “Namun bagi kami, pernyataan tersebut hanya seperti pepesan kosong, sebab tidak diikuti dengan tindakan nyata. Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal masih berjalan lambat. Saat ini saja ada seluas 848 ribu hektar wilayah kelola rakyat yang difasilitasi oleh WALHI belum diakui oleh pemerintah. Padahal, wilayah-wilayah ini terbukti memiliki tingkat deforestasi yang lebih rendah, menyimpan karbon secara lebih efektif, dan menjaga keanekaragaman hayati. Pengakuan hukum atas hak tanah mereka bukan hanya keharusan moral, tetapi juga strategi iklim yang praktis dan terbukti”, kata Bayu Herinata, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia melalui utusan khusus presiden menyampaikan bahwa Indonesia datang ke COP 30 sebagai mitra konstruktif, membawa instrumen kebijakan seperti NDC, Perpres Karbon, dan Tropical Forest Fund. Namun WALHI menilai bahwa tanpa koreksi terhadap kebijakan perizinan dan penghentian deforestasi legal, komitmen tersebut tidak akan cukup untuk menjawab krisis iklim yang semakin mendesak. Instrumen kebijakan yang ada saat ini tidak dapat menggantikan tindakan nyata di lapangan, terutama dalam hal perlindungan ekosistem dan pengakuan hak masyarakat.

WALHI juga mengkritisi pendekatan SNDC Indonesia yang masih mempertahankan paradigma ekonomi pertumbuhan sebagai basis pengurangan emisi. Model ini secara historis berbanding lurus dengan peningkatan emisi, terutama jika struktur ekonomi masih bergantung pada energi fosil dan belum terjadi transformasi besar dalam efisiensi energi serta perilaku konsumsi. Target bauran energi terbarukan yang ditetapkan dalam SNDC—19–23% pada 2030 dan 36–40% pada 2040—dinilai tidak cukup ambisius untuk selaras dengan jalur 1,5°C sesuai Perjanjian Paris.

Gandar Mahojwala, Direktur WALHI Yogyakarta mengatakan “Dalam konteks COP30 yang menuntut akuntabilitas dan implementasi nyata, WALHI menyerukan agar Indonesia memperkuat pengakuan wilayah kelola rakyat sebagai langkah awal menuju transisi energi yang adil, demokratis, dan bebas dari solusi palsu. SNDC masih mempromosikan solusi-solusi palsu seperti insinerasi, energi biomassa, solid recovered fuels (SRF), dan bahan bakar turunan sampah (RDF). Rakyat memiliki solusi nyata untuk iklim. Tanpa penguatan rakyat, arah kebijakan iklim nasional akan terus terjebak dalam retorika, sementara kerusakan ekologis dan ketimpangan sosial terus berlangsung”.

Narahubung:

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia