Masyarakat Sipil Melayangkan Somasi Kepada Presiden Prabowo Karena Tak Kunjung Menetapkan Status Darurat Bencana Nasional

 

Pernyataan Sikap Masyarakat Sipil Atas Bencana Ekologis di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat

Kami menyampaikan keprihatinan mendalam atas bencana ekologis, banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Peristiwa tersebut berdampak hebat pada kemanusiaan, kerusakan infrastruktur, kerugian sosial-ekonomi dan juga kerusakan lingkungan berskala luas. Berdasarkan perkembangan situasi di lapangan, kami mendesak agar Presiden Republik Indonesia segera menetapkan status bencana nasional. Selain itu kami juga meminta Pemerintah Republik Indonesia untuk menangani bencana ini dengan cepat dan terukur, agar para korban segera mendapatkan haknya.

Hingga 8 Desember 2025, BNPB mencatat angka korban terus bertambah. Dengan detail, sekitar 974 orang meninggal, 298 hilang dan angka ini belum termasuk korban yang belum ditemukan. Selain itu, terdapat puluhan ribu orang dipaksa menjadi pengungsi. Kondisi saat ini sangat rentan, terutama bagi perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas dan orang dengan usia lanjut. Potensi risiko mengalami kekerasan, tidak mendapatkan layanan kesehatan yang inklusif, dan pengabaian terhadap hak-hak kesehatan reproduksi karena sampai detik ini belum ada bantuan yang memadai memperburuk kesenjangan akses perempuan terhadap air bersih, sanitasi yang aman, pembalut, layanan kesehatan ibu, serta perlindungan di ruang pengungsian. Kami memperkirakan jumlah korban akan terus bertambah seiring terbatasnya akses evakuasi dan lambatnya mobilisasi bantuan.

Kerusakan infrastruktur yang masif mulai dari terputusnya akses jalan hingga lumpuhnya jaringan komunikasi menghambat evakuasi, layanan medis, dan distribusi logistik. Banyak wilayah terisolasi, sementara masyarakat yang bertahan di dalamnya berada dalam kondisi sangat rentan tanpa perbekalan memadai. Situasi ini menegaskan urgensi intervensi cepat pemerintah pusat untuk mengutamakan keselamatan warga tanpa terhalang prosedur birokrasi. Setiap jam keterlambatan adalah bentuk kelalaian negara terhadap keselamatan warganya.

Beban masyarakat semakin berat dengan kerugian sosial-ekonomi yang sangat besar, seperti ribuan rumah hancur, pertanian dan tempat usaha musnah, serta aktivitas ekonomi berhenti total. Banyak warga kehilangan mata pencaharian dan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Pemulihan dalam skala ini mustahil ditangani pemerintah daerah sendiri dan membutuhkan intervensi penuh pemerintah pusat termasuk anggaran nasional, dukungan teknis, serta rekonstruksi terpadu.

Warga sebagai korban terdampak memiliki hak konstitusional. Bukan hanya menuntut pada ganti kerugian kehilangan nyawa, kehilangan harta benda, gangguan akses kesehatan dan yang lainnya terhadap negara, tetapi terhadap pihak perusahaan swasta. Karena biar bagaimanapun faktor utama penyebabnya adalah eksploitasi oleh swasta yang berlebihan, yang tidak sesuai dengan administrasi negara, dan bahkan ada yang ilegal. Sehingga bukan negara saja yang bertanggung jawab, swasta juga bertanggung jawab dan dapat dituntut pemenuhan hak. Dengan kondisi seperti ini maka dimensinya bukan hanya dimensi gugatan perdata biasa, melainkan pertanggungjawaban pidana karena sudah termasuk sebagai kategori Kejahatan Ekosida.

Selain penyelamatan jiwa, penegakan hukum tidak boleh diabaikan. Penetapan status bencana nasional akan membuka jalan bagi investigasi menyeluruh lintas daerah untuk mengungkap penyebab struktural, memastikan para pelaku yang berkontribusi pada kerusakan lingkungan dan kelalaian tata kelola diproses secara hukum. Penetapan bencana nasional bukan hanya status administratif, tetapi langkah mendesak untuk menyelamatkan nyawa, mempercepat penanganan yang sensitif gender, dan memastikan negara hadir sepenuhnya melindungi rakyat. Tindak lanjut penetapan bencana nasional juga harus memastikan penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik, serta pelibatan dan pengawasan oleh berbagai pihak. Situasi di Aceh, Sumut, dan Sumbar telah memenuhi seluruh indikator. Kami mendesak Presiden segera mengambil keputusan demi kemanusiaan, keselamatan, dan masa depan masyarakat terdampak.

Penyelesaian masalah ini tidak akan tercapai apabila hanya mengandalkan mekanisme evaluasi administrasi semata. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui siapa pemilik perusahaan tersebut dan siapa penerima manfaatnya. Sehingga, dapat diketahui apakah mereka memberikan kontribusi pada saat pemilu/pemilihan presiden, serta apakah mereka merupakan pihak yang berada di belakang para Menteri yang bertanggung jawab..

Jakarta, 10 Desember 2025

Masyarakat sipil yang tergabung dalam pernyataan bersama ini, yaitu:

  1. Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
  2. WALHI Bangka Belitung
  3. WALHI Riau
  4. WALHI Aceh
  5. WALHI Bengkulu
  6. WALHI Jambi
  7. WALHI Lampung
  8. WALHI Sumatera Barat
  9. WALHI Sumatera Selatan
  10. WALHI Sumatera Utara
  11. WALHI Nusa Tenggara Barat
  12. WALHI Nusa Tenggara Timur
  13. WALHI Bali
  14. WALHI Maluku Utara
  15. WALHI Papua
  16. WALHI Jawa Timur
  17. WALHI Jawa Barat
  18. WALHI Jawa Tengah
  19. WALHI Yogyakarta
  20. WALHI Jakarta
  21. WALHI Kalimantan Barat
  22. WALHI Kalimantan Selatan
  23. WALHI Kalimantan Timur
  24. WALHI Kalimantan Tengah
  25. WALHI Sulawesi Tengah
  26. WALHI Sulawesi Barat
  27. WALHI Sulawesi Selatan
  28. WALHI Sulawesi Tenggara
  29. WALHI Sulawesi Utara
  30. WALHI Gorontalo
  31. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  32. LBH Banda Aceh,
  33. LBH Medan,
  34. LBH Pekanbaru
  35. LBH Padang,
  36. LBH Palembang,
  37. LBH Bandar Lampung,
  38. LBH Jakarta,
  39. LBH Bandung,
  40. LBH Semarang,
  41. LBH Surabaya,
  42. LBH Yogyakarta,
  43. LBH Bali,
  44. LBH Samarinda,
  45. LBH Makassar,
  46. LBH Manado,
  47. LBH Papua,
  48. LBH Project Base Papua Merauke,
  49. LBH Project Base Kalimantan Barat,
  50. Transparency International Indonesia
  51. SHEEP Indonesia
  52. Yayasan Pionir Bulungan
  53. Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh,
  54. Greenpeace Indonesia
  55. Solidaritas Perempuan
  56. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
  57. Yayasan Penabulu
  58. Jaringan Lokadaya Nusantara
  59. Yayasan Auriga Nusantara
  60. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  61. Serikat Pekerja Kampus (SPK)
  62. Perkumpulan Jaringan Pantau Gambut
  63. Ekologi Maritim Indonesia (EKOMARIN)
  64. Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS) Network
  65. Kolektif Kabel Bandung
  66. Sawit watch
  67. The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research
  68. Suara Kebebasan
  69. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
  70. Students For Liberty (SFL) Indonesia
  71. Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (SINDIKASI)
  72. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
  73. PBHI Sumatera Utara
  74. PBHI Sumatera Barat
  75. PBHI Lampung
  76. PBHI Jakarta
  77. PBHI Jawa Barat
  78. PBHI Jawa Tengah
  79. PBHI Yogyakarta
  80. PBHI Bali
  81. PBHI Kalimantan Barat
  82. PBHI Sulawesi Selatan
  83. Center for Knowledge Indonesia (CKI)
  84. Trend Asia
  85. FITRA NTB
  86. 350 Indonesia
  87. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
  88. Sahabat Persada Alam (SPA) Koalisi Persampahan Nasional (KPNas)
  89. Yayasan Kajian Sampah Nasional (YKSN)
  90. Working Group ICCA Indonesia (WGII)
  91. Eksekutif Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK)
  92. Perkumpulan HuMa Indonesia
  93. Sajogyo Institute
  94. Yayasan TIFA
  95. Perempuan Mahardhika
  96. Perkumpulan Kaoem Telapak
  97. Kawula17
  98. Pusat Studi Desa dan Adat STPMD “APMD” Yogyakarta
  99. Apel Green Aceh
  100. POKJA30 Kaltim
  101. Indonesia Corruption Watch (ICW)
  102. Biotani Bahari Indonesia
  103. Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)
  104. Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN)
  105. Jedakata
  106. Publish What You Pay (PWYP) Indonesia
  107. Lembaga Tiga Beradik
  108. JPIK Jambi
  109. Arise! Indonesia
  110. CERAH
  111. Enter Nusantara
  112. Perkumpulan Sumsel Bersih
  113. JPIK Sumsel
  114. JMPEB Lampung