Kritik terhadap Ekonomi Biru, WALHI: Mendorong Perampasan Ruang Laut di Indonesia

Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Jakarta, 18 September 2023 – Social Research Center (Sorec) Universitas Gadjah Mada (UGM) yang bekerja sama dengan Transparency International (TI) Indonesia menyelenggarakan seminar dan diskusi publik mengenai The Commons dan Blue Economy pada Kamis, 14 September 2023. Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai pihak, mulai dari organisasi masyarakat sipil, organisasi kemahasiswaan, dan berbagai pihak lainnya.

Hadir dalam kesempatan tersebut sebagai narasumber, Direktur Sorec UGM, Dr. Andreas Budi Widyanta; Ari Wibowo, M.Si; Ferdian Yadiz, Manajer Pengelolaan Ekonomi dan Sumber Daya Alam, Transparency International; dan Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi.

Dalam kesempatan ini, Parid Ridwanuddin menyampaikan bahwa ekonomi biru bukanlah solusi untuk tata kelola laut di Indonesia, mengingat secara mendasar laut di Indonesia masih diposisikan sebagai ruang kompetisi terbuka (mare liberum). Doktrin mare liberum atau Laut Bebas yang digagas oleh Hugo de Groot alias Hugo Grotius, seorang ahli hukum Belanda-dipadukan dengan ekonomi pasar modern, sesungguhnya mendorong terjadinya eksploitasi berlebih pada sumber daya laut.

Lebih lanjut, Parid menguraikan, doktrin mare liberum menjadi dasar dari konsep laut sebagai open acces, di mana laut diposisikan sebagai ruang kompetisi antara nelayan atau masyarakat dengan industri skala besar, kontrol dan akses tidak diberikan kepada masyarakat pesisir, siapa pun yang memiliki power dapat mengeksploitasi sumber daya di wilayah tersebut.

“Dalam situasi ini, ruang tangkap nelayan tradisional tidak mendapatkan pengakuan, terutama dalam peraturan perundangan. Pemerintah lebih memprioritaskan untuk memberi akses yang terbuka kepada siapa pun atas dasar siapa kuat (secara finansial). Kondisi ini mengakibatkan apa yang disebut sebagai “tragedi kepemilikan bersama (tragedy of the commons)," kata Parid.

Asal-usul Ekonomi Biru

Menurut Parid, Walhi saat ini sedang menulis buku yang berjudul Ekonomi Biru versus Ekonomi Nusantara bersama dengan Muhammad Karim, seorang akademisi kelautan dan perikanan. Dalam buku ini disebutkan bahwa jauh sebelum Guntter Pauli mempopulerkan ekonomi biru (blue economy) pada tahun 2010, ekonomi berlabel warna-warni sudah pernah dikupas oleh Johan Galtung seorang pemikir radikal terkemuka. Ia mengulas dalam bukunya berjudul Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization, tahun 1996. Galtung mengelompokkan sejumlah aliran pemikiran ekonomi bersimbolkan warna-warna di dunia ini. Ia memulainya dengan aliran tiga warna dasar yaitu: merah, biru dan hijau. Pertama, “Warna Biru” merepresentasikan ekonomi kapitalis berintikan pasar dan modal. Kedua, “Warna Merah” melambangkan ekonomi sosialis yang bertumpu pada kuatnya peran negara dan kekuasaan. Ketiga, warna Hijau mewakili ekonomi negara-negara dunia ketiga yang sedang berkembang, dan bersendikan masyarakat sipil (civil society) dan dialog.

Selanjutnya, di tangan Gunter Pauli ekonomi biru didefinisikan sebagai model bisnis yang terinspirasi dari alam dengan cara melakukan inovasi dalam memanfaatkan sumberdaya dan produk limbah untuk (i) Menciptakan 100 juta hingga lapangan kerja hingga 2020; (ii) Menghasilkan tambahan keuntungan bisnis (revenue) dan (iii) mencapai zero emisi dunia pada tahun 2050.

Namun Walhi mencatat, sampai saat ini telah ada delapan definisi mengenai ekonomi biru yang berkembang. Dalam pada itu, konsep ini bercampur baru dengan blue growth, marine economy, dan ocean economy, yang jumlahnya cukup banyak. “Terdapat dua poin utama dalam konsep ekonomi biru, yaitu mendorong pertumbuhan industri, sekaligus arah pembangunan yang memprioritaskan investasi swasta,” kata Parid.

“Satu hal yang tak kalah penting diperhatikan dalam ekonomi biru ini adalah ekonomi biru sangat bias negara-negara utara (global north) yang selama ini menjadi kontributor utama emisi global dan mengeksploitasi sumber daya laut dunia,” tambahnya.

Pengalaman Ekonomi Biru di Negara Lain

Draf buku Ekonomi Biru versus Ekonomi Nusantara juga menyampaikan pengalaman penerapan ekonomi biru sekaligus menggarisbawahi dampaknya di berbagai negara. Di Zanzibar, Tanzania, dan Chile, ekonomi biru melahirkan diskriminasi gender yang meminggirkan partisipasi perempuan dalam tata kelola perikanan melalui ketidakadilan prosedural pada perikanan skala kecil.

Selanjutnya, di negara Palau dan Pohnpei, ekonomi biru menyebabkan tragedi komoditas yang menyebabkan tingkat deplesi stok teripang, masyarakat pesisir kehilangan hak kelola, kesenjangan dan kemiskinan meningkat serta krisis ekologi, dan perubahan iklim kian massif. Di Papua Nugini, ekonomi biru terbukti menggerus makna geo-spiritual masyarakat pulaunya; mengganggu keberlanjutan mata pencaharian masyarakat pulau, degradasi sumber daya alam dan kerusakan ekologi pulau kecil.

Sementara itu, di Namibia, ekonomi biru hanya menjadi justifikasi proyek-proyek pertambangan laut dalam, mendorong degradasi lingkungan dan dampak sosial yang negatif, utamanya terhadap mata pencaharian dalam sektor perikanan Namibia. Di Seychelles, sebuah negara Afrika di Samudera Hindia, ekonomi biru menyebabkan industri perikanan tunanya dikuasai armada Uni Eropa serta perikanan skala kecil hingga masyarakat adat terpinggirkan.

Ekonomi Biru di Indonesia

Dalam kekacauan konseptual dan bias kepentingan negara-negara utara, ekonomi biru dikampanyekan oleh pemerintah Indonesia dalam berbagai forum internasional, sekaligus diarusutamakan dalam pembangunan ekonomi kelautan, khususnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. “Ini merupakan ironi besar,” tegas Parid.

Dalam konteks itu, Draf buku Ekonomi Biru versus Ekonomi Nusantara menyebut, secara operasional ekonomi biru di Indonesia diimplementasikan dalam sejumlah hal berikut: pertama, kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota di 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia, yang telah dilegalisasi oleh PP 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.

Kedua, ekspansi shrimp estate seluas 11.000 hektar terdiri atas 5.000 hektare (45%) dibangun pemerintah dan 6.000 hektare (55%) oleh swasta (KKP, 2021). lalu, bagaimana dengan keberadaan ekosistem mangrove yang akan terdampak perluasan shrimp estate? Dalam pada itu, kajian Walhi (2022) menyebutkan bahwa sampai dengan tahun 2040 akan ada hampir 2 juta hektar kawasan perikanan budidaya skala besar yang akan mengancam keberadaan ekosistem mangrove.

Ketiga, ekspansi industri pariwisata skala besar di banyak wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil. Contoh yang paling nyata adalah pengembangan kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) yang menjadi kawasan pariwisata premium. Selain itu, pengembangan kawasan pariwisata skala besar yang sering disebut 10 Bali baru dibangun di banyak tempat di Indonesia. “Dampaknya banyak terjadi konflik di lapangan,” jelas Parid.

Keempat, ekspansi perluasan kawasan konservasi laut sampai seluas 32 juta hektar pada tahun 20203. Perluasan kawasan konservasi laut ini akan mengulang kegagalan konservasi lama yang ditetapkan secara top down dan mengejar setoran ke dunia internasional dalam rangka memenuhi target 30 x 30.

Ekonomi Biru Dorong Perampasan Ruang Laut

Dengan demikian, di Indonesia ekonomi biru telah dan sedang mendorong dan mempercepat perampasan ruang laut atau ocean grabbing. “Istilah ocean grabbing digunakan untuk menyoroti proses dan dinamika penting yang berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya laut, sekaligus keberlanjutan hidup masyarakat yang cara hidup dan identitas budaya serta mata pencahariannya bergantung pada penangkapan ikan skala kecil,” urai Parid.

Aktor utama ocean grabbing, kata Parid, adalah pemerintah, lembaga di tingkat regional dan atau internasional, organisasi lingkungan internasional, perusahaan skala besar, dan yayasan filantropi. beragam lembaga ini merupakan aktor utama yang mendorong reformasi dan kebijakan berbasis pasar yang pada akhirnya memungkinkan terjadinya perampasan laut. Dalam praktiknya, proses ini terkadang menggunakan pemaksaan melalui lembaga keamanan untuk menegakkan kepatuhan.

“Perampasan laut terjadi melalui proses tata kelola yang tidak tepat dengan menggunakan tindakan yang merusak mata pencaharian masyarakat atau menghasilkan dampak yang merusak kesejahteraan sosial-ekologis,” jelas Parid.

Dalam situasi semacam ini, ekonomi biru justru menambah persoalan baru dari pada menyelesaikan masalah tata kelola sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia. “Pada titik ini, Pemerintah Indonesia seharusnya kembali pada konsep ekonomi yang dimandatkan oleh konstitusi Republik Indonesia, bukannya silau dengan ekonomi biru yang sangat bias kepentingan negara-negara utara,” pungkas Parid. (*)

 

Informasi lebih lanjut
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, di email [email protected]