Konprensi Pers “Menanti Putusan Presiden dan Menteri Lingkungan Hidup Atas Perlindungan Hukum Terhadap Pejuang Lingkungan Hidup

Kepada Yth.:
  1. Bapak Joko Widodo Presiden Republik Indonesia
    Istana Merdeka     Jalan: Medan Merdeka Utara  
  1. Ibu Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
   Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lantai 2, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat      Jakarta   Dengan hormat, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Warga masyarakat yang peduli pada kelestarian lingkungan bersama ini menyampaikan Surat Pernyataan Terbuka kepada Joko Widodo Presiden Republik Indonesia   dan Ibu Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang tidak bertanggung jawab atas kriminalisasi para pejuang lingkungan hidup di berbagai daerah di Indonesia Melalui surat pernyataan terbuka ini kami menyampaikan beberapa hal: Kekerasan  fisik yang dialami para aktifis lingkungan hidup dari hari ke hari semakin meningkat, bahkan kekerasan fisik ini ada yang berujung dengan penjara, hal ini tentu sangat memprihatinkan. Pada sisi lain, pola kekerasan fisik ini pun mengalami modus lain yang terkadang terjadi secara beriringan yaitu kekerasan struktural dalam bentuk kriminalisasi. Praktek kriminalisasi biasanya menggunakan Pasal-Pasal Pembalasan misalnya Pasal penghinaan kehormatan lambang negara, penyebaran ajaran komunisme, pencurian, pengrusahakan dll.  Berdasarkan riset beberapa Kelompok Masyarakat Sipil menyimpulkan bahwa pola karakteristik bentuk kriminalisasi ini dapat dilihat sebagai berikut;
  • Melibatkan aparat penegak hukum, khususnya penyidik.
  • Menggunakan proses hukum acara pidana oleh aparat penegak hukum.
  • Proses hukum acara pidana dilakukan tanpa adanya bukti permulaan yang cukup atau “probable cause”, atau bukti yang diada-adakan.
  • Dilakukan dengan itikad buruk, atau improper motive atau improper purpose.
Kemudian dilihat dari Motif, kriminalisasi memiliki beberapa tujuan, yaitu; merusak reputasi korban, menghalang-halangi korban melakukan aktivitasnya, teror kepada pihak lain, kepentingan politik, dan ekonomi. Dan pihak yang memiliki motif utama tersebut tidaklah harus aparat penegak hukum, namun bisa saja pihak tersebut adalah pihak lain, seperti pelapor atau orang lain yang menyuruh pihak penegak hukum. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menunjukkan dugaan “kriminalisasi” adalah sebagai berikut;
  • Adanya ketidakwajaran proses penanganan perkara, termasuk adanya diskriminasi dalam penangangan perkara maupun keberpihakan yang berlebihan atau tidak wajar kepada pelapor.
  • Penggunaan Pasal-Pasal pidana yang berlebihan, atau tidak tepat dengan peristiwa yang digambarkan, terutama Pasal-Pasal yang dapat dikenakan penahanan.
  • Proses penanganan perkara yang tidak sesuai hukum acara dan administrasi perkara yang buruk.
  • Penggunaan upaya paksa yang berlebihan, Ada kekerasan dalam proses hukum.
  • Adanya kesengajaan untuk tidak mempercepat penanganan perkara atau undue delay.
  • Ketidakwajaran siapa yang menjadi pelapor tindak pidana.
  • Lemahnya bukti permulaan yang cukup yang dimiliki oleh penyidik untuk memulai penyidikan
Praktek kriminalisasi ini sangat menghambat kerja-kerja para pegiat atau aktifis lingkungan hidup dan menyengsarakan individu atau masyarakat korban yang kehilangan hak atas lingkungan hidupnya. Mereka adalah orang-orang yang memperjuangkan hak-hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Mereka adalah Pembela HAM sebagaimana didefinisikan dalam rumusan-rumusan Pembela HAM yang dijelaskan dalam   Resolusi Majelis Umum PBB tentang Pembela HAM, Konstitusi Indonesia (UUD 1945), maupun Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara spesifik, mereka biasanya diistilahkan dengan Pembela HAM Lingkungan Hidup (Environmental Human Rights Defender/E-HRD). Jaminan hak dan perlindungan terhadap kerja-kerja Pembela HAM Lingkungan Hidup selain diatur secara umum dalam ketentuan nasional maupun internasional, namun dalam perundang-undangan nasional yaitu pada Pasal 66 UU PPLH Nomor 32 Tahun 2009 telah diatur secara khusus dan tegas. Pada intinya Pasal 66 tersebut menjelaskan bahwa para aktifis lingkungan hidup seyogyanya mendapatkan perlindungan dari penuntutan secara pidana ataupun gugatan secara perdata. Bahkan pada 2013, Mahkamah Agung telah menerbitkan Keputusan Ketua MA No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, tertanggal 22 Februari 2013 yang secara umum mengatur agar para hakim yang memeriksa dan mengadili perkara lingkungan hidup agar bersifat progresif, subtantif dan humanis. Namun ironis, kenyataannya masih banyak para aktifis lingkungan hidup yang mengalami kekerasan fisik dan kriminalisasi baik secara pidana maupun secara perdata.    Dan secara politis, komitmen Presiden Jokowi dalam nawacitanya pada 2014 yang ditegaskan dalam pidatonya pada Hari HAM Dunia 2015 menolak dan menentang adanya kriminalisasi terhadap masyarakat  yang mempertahankan hak-haknya sekaligus menghentikan praktek kriminalisasi yang sedang berlangsung di lapangan. Menurut Presiden Jokowi, sengketa agraria harus diselesaikan dengan cara pembenahan tumpang tindih hak atas tanah tanpa melakukan kriminalisasi. Komitmen politik ini seharusnya dapat memperkuat keberadaan Pasal 66 UU PPLH Nomor 32 Tahun 2009 sehingga praktek kriminalisasi  terhadap para pejuang lingkungan hidup menjadi berkurang dan bukan sebaliknya. Bertolak sebagian dari kasus-kasus kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan hidup,
  • Kasus Budi Pego di Jawa Timur
Dalam kasus  ini nampak bahwa hakim lebih mementingkan keadilan prosedural, teknikal dengan memutuskan bersalah Budi Pego, daripada mementingkan memberi keadilan substansial. Padahal cara ini nyata-nyata menjadikan Budi Pego, seorang pejuang lingkungan, yang memperjuangkan ruang hidup bagi diri dan komunitasnya, menjadi korban hukum. Budi Pego adalah potret dari banyak “Budi Pego” yang lain. Ia dikalahkan oleh peradilan atas nama keadilan hukum, bukan keadilan untuk manusia. Padahal ia memperjuangkan sejengkal tanahnya, ruang hidupnya bersama komunitasnya. Kasus ini terkait adanya informasi kegiatan pertambangan baru di desa mereka, Heri Budiawan beserta 50-an orang warga desa Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi berencana mendatangi lokasi tersebut. Selanjutnya mereka menuju lokasi tersebut, dan bertemu dengan sekelompok orang yang bekerja atas nama PT DSI (Anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold, Tbk). Lokasi ini dikenal oleh warga dengan nama gunung Gamping.   Majelis hakim PT Jawa Timur yang diketuai oleh Edi Widodo memutuskan menerima permintaan banding JPU Kajari Banyuwangi. Dan memutus pidana penjara selama 10 bulan terhadap Heri Budiawan dan  Mahkamah Agung melalui amar putusannya, memutuskan menolak permohonan kasasi Heri Budiawan. Bahkan MA mengubah putusan PN Banyuwangi dan PT Jawa Timur, mengenai pidana penjara Heri Budiawan menjadi 4 (empat tahun). Adapun tim hakim MA yang memutus perkara tersebut adalah: H. Margono, SH., MH., MM, Maruap Dohmatiga Pasaribu, SH., M.Hum, dan Prof. DR. Surya Jaya, SH., M.Hum.
  • Kasus  Deddy Febrianto di NTT
Pada kasus di  Nusa Tenggara Timur sahabat WALHI Deddy Febrianto mengkritisi kebijakan perkebunan Monokultur yang dijalankan oleh Bupati Sumba Timur Gideon Mbiliyora dalam membangun daerah. Salah satu kasus yang paling dikritisi WALHI yakni keberadaan PT. MSM (Sebuah Perusahan Perkebunan Tebu yang mengantongi ijin seluas 52. 000 hektar). Beberapa kali di media massa Deddy dan Bupati Sumba Timur berseberangan pendapat. Mulai dari persoalan kontekstual, apakah kita butuh pangan atau tebu, masalah sumber daya air yang dibiarkan oleh pemerintah dikuasai oleh perusahan, persoalan perambahan hutan alam primer oleh PT. MSM hingga soal 780 hektar sawah warga di Wanga yang kekeringan akibat ketiadaan air, sementara di kawasan hulu perusahan memiliki air. Majelis Hakim PN Waingapu Sumba Timur Majelis Hakim Ketua Richard Edwin Basoeki dan anggota Putu Walyudi dan AA Ayu Dharma Yanti dengan vonis 4 bulan penjara dan denda 100.000 (seratus juta rupiah)  dengan ketentuan apabila Deddy tidak sanggup membayar maka akan digantiu dnegan pidana 2 bulan kurungan
  • Kasus Trisno Susilo di  Kalimantan selatan
Kasus ini merupakan korban keabsenan negara dimana penangkapan Trisno Susilo sebagai bentuk kriminalisasi terhadap aktivis pembela tanah adat di Kabupaten Tanah Bumbu. Trisno dan warga menggarap tanah HGU yang dikuasai oleh Jhonlin Agro Mandiri dan PT Kodeco Timber. Trisno Susilo yang berjuang atas  hak-hak masyarakat adat Dayak Meratus atas wilayah adatnya sudah lama dilanggar oleh perusahaan dan pemerintah atas terkait izin yang diberikan sewenang-wenang kepada PT Kodeco Timber untuk merambah wilayah adat Dayak Meratus.
  • Kasus Frans, M. Jufri, Suparto, Sikusman, dan Mulyadi di Sulawesi Tengah
Astra Agro Lestari merupakan salah satu pelaku bisnis yang menguasai sumber-sumber agraria begitu besar di bumi Sulawesi, khususnya Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Dengan luasan HGU dan IUP mencapai 111.304 hektar dari total luas perkebunan sawit mencapai 713.217 hektar, Astra Agro Lestari menduduki posisi teratas yang menguasai industri perkebunan sawit di Sulawesi Tengah, disusul Smart dan Kencana Agri. Situasi inilah yang berkontribusi pada semakin krisisnya bumi Celebes. Semakin kuatnya kuku bisnis yang ditancapkan oleh AAL di sektor perkebunan sawit, berjalan beriringan dengan berbagai kasus dan konflik agraria yang terjadi di Sulawesi Tengah”. “Ironinya, seluruh potret buruk pengelolaan Industri perkebunan sawit mendapat lagitimasi dari Negara, baik Pemerintah Pusat, maupun Pemerintah Daerah. Tidak mengherankan jika penguasan atas ruang di wilayah Sulawesi Tengah, hampir 30 persen dikuasai oleh Korporasi, sementara di sisi yang lain, ruang hidup dan wilayah kelola rakyat terus terancam dan semakin mengecil. Kasus kriminalisasi yang dilakukan oleh PT. Mamuang terhadap petani Desa Polanto Jaya dan konflik agraria lainnya patut dipertanyakan, Lima orang petani desa Polanto Jaya Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah masih harus menjalani proses persidangan di PN Mamuju Utara Sulawesi Barat, atas tuduhan pencurian buah sawit PT. Mamuang, anak perusahaan Astra Agro Lestari (AAL).  Kelima petani  tersebut adalah Hemris alias Frans, M. Jufri , Suparto, Sikusman, dan Mulyadi. Dalam putusan Pengadilan Tinggi Makassar, dimana Mulyadi dan Jufri divonis 7 bulan penjara, Suparto, Sikusman tidak mendapatkan putusan dari Pengadilan Tinggi Makassar sedangkan Hemris sekarang ini ditahan dengan tunduhan pencurian kebun sawit ditanah Hemris sendiri.
  • Kasus Madriwal, Weldi Pranico, Yandri Saputra, Yuli Nesri, Lenri dan Mardiwal di Sumatera Barat
Penolakan masyarakat adat Simpang Tonang menolak berdirinya PT Inexco Jaya Makmur (PT IJM). Masyarakat menolak pembangunan perusahaan itu karena berada di tanah masyarakat adat. Masyarakat melarang aktifitas tambang, karena PT IJM tidak mengantongi izin untuk melakukan tambang emas di sana. Dimana sebelumnya, IJM 2017 mengantongi izin cuma di Nagari Duo Koto yang berbatasan langsung dengan Nagari Simpang Tonang.   Namun IJM sudah melakukan aktivitas di nagari Simpang Tonang yang menimbulkan kericuhan ditanah masyarakat adat sehingga lima orang yang sejak awal berjuang menolak tambang emas ditanah adat harus dihukum penjara dengan vonis  4 orang 1 tahun penjara dan 1 orang 1 tahun 3 bulan oleh hakim ketua Cut Carnelia, SH, MH, Sanjaya Sembiring Sh, MH dan Abdul Hasan SH di pengadilan negeri Lubuk Sikaping – Sumatera Barat.
  • Kasus Sulaiman, Mastono, Bahrudin, Mustqafirin dan Surdin di Pulau Pari Kepulauan Seribu
Kriminalisasi oleh PT Bumi Pari Asri adalah perusahaan swasta yang disebut-sebut memiliki 90 persen lahan di Pulau itu. Dan pada laporan atas penerbitan 62 SHM Ombudsman menemukan penerbitan yang justru tidak mengikuti prosedur. Prosedur yang dimaksud adalah ketentuan Pasal 18 Ayat 1, 2, 3, dan 4 serta Pasal 26 Ayat 1, 2, dan 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.  Mastono, Bahrudin, Mustqafirin ditangkap dengan tuduhan pemerasan ditempat wisata pulau pari sedangkan sulaiman didakwa dengan pasal pneyerobotan tanah sedangkan Surdin status saksi tanggal 28 Desember 2018 atas laporan dari Pintarso Direktur PT Bumi Pari Asri.
  • Kasus Sukma, Sawin dan Nanto di Indramayu – Jawa Barat
Ketiga  warga Sukma, Samin, dan Nanto dari  Desa Mekarsari dan sekitarnya yang tergabung dalam Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu (JATAYU) menolak atas rencana proyek pembangunan PLTU tersebut. Perjuangan masyarakat menolak pembangunan proyek PLTU Indramayu 2 berujung pada kriminalisasi terhadap masyarakat. Pada tanggal 17 Desember 2017 lalu, pak Sawin, Sukma dan Nanto dikriminalisasi dengan tuduhan penghinaan terhadap lambang negara, dengan memasang bendera terbalik. Sawin, Sukma dan Nanto dituding melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada pasal 24 jo pasal 66 tentang lambang dan bendera Negara. Sempat jeda atau terhenti, kasus ini kembali ditangani oleh Kepolisian pada 24 september 2018. Sawin, Sukma dan Nanto kembali mendapat surat panggilan dari Polres Indramayu, dan pada tanggal 27 September 2018 kasus ini dilimpahkan penyidik Polres ke Kejaksaan Negeri Indramayu. Sawin, Sukma dan Nanto adalah warga blok Pulokuntul desa Mekarsari kecamatan Patrol kabupaten Indramayu yang beraktivitas sebagai buruh tani. Kedua orang tersebut meskipun pendidikannya hanya sampai SD namun mereka sangat paham dan mengerti warna serta bendera yang menjadi kebanggaan semua warga negara Indonesia, Sawin dan Sukma dengan sadar menyatakan tidak pernah melakukan kegiatan pemasangan bendera secara terbalik seperti apa yang dituduhkan oleh pihak pelapor. Hal ini sangat jelas sekali bahwa dugaan kasus tersebut sangat mengada-ngada dibuat untuk membungkam kedua buruh tani tersebut yang sedang berjuang melakukan penolakan rencana pembangunan PLTU Batubara Indramayu 2. Perjuangan menolak pembangunan proyek PLTU batubara sesungguhnya merupakan perjuangan untuk mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan perjuangan tersebut dilindungi oleh Konstitusi, dimana pasal 28H menegaskan bahwa hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah hak asasi manusia, dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terlebih dalam UU 32/2009, terdapat pasal 66 yang menegaskan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup tidak dapat dipidana maupun diperdata. Sejak awal, UU 32/2009, khususnya pada pasal 66 ini memang menempatkan prinsip hak asasi manusia dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sayangnya pada tanggal 28 Desember 2018 PN Indramayu menghukum tiga warga dengan Vonis 5 Bulan kepada Sawin dan Sukma sedangkan kepada Nanto dengan Vonis 6 bulan penjara.
  • Kasus Muhammad Hisbun Payu, Kelvin Ferdiansyah, Sutarno, Sukemi Edi Susanto, Brilian Yosef Naufal di Jawa Tengah
Aksi demontrasi yang dipicu oleh kekecewaan karena Bupati Sukoharjo batal mengumumkan penutupan sementara pabrik Tidak ada saksi yang melihat para aktivis pernah melakukan perusakan terhadap fasilitas PT RUM pabrik rayon PT Rayon Utama Makmur (RUM) Sukoharjo.   Bahwa saksi-saksi dari Jaksa Penutut Umum  banyak berspekulasi, tidak yakin melihat melakukan perusakan. Pembuktian di pengadilan pun hanya berdasarkan video yang tidak jelas sumbernya, adapun dari tujuh orang yang ditangkap oleh kepolisian, lima di antaranya diduga melakukan perusakan yakni Muhammad Hisbun Payu, Kelvin Ferdiansyah, Sutarno, Sukemi Edi Susanto, Brilian Yosef Naufal. Dua orang lainnya diduga melanggar UU ITE, yaitu Bambang Hesthi Wahyudi dan Danang Tri Widodo. Bahwa sebanyak 5 dari 7 terdakwa, kasus perusakan terhadap bangunan PT Rayon Utama Makmur (RUM) Sukoharjodivonis hukuman penjara 2 tahun, hingga 2 tahun 3 bulan dengan dakwaan pasal 406 KUHP oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Sedangkan Sutarno dan Brillian, dijatuhi hukuman penjara 2 tahun dengan melanggar Pasal 187 dan 406 KUHP.   Bahwa tindakan-tindakan tersebut diatas, kami menuntut Presiden Republik Indonesia dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan wajib untuk menghormati  pasal 66 UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Menerbitkan Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri tentang Perlindungan Terhadap Pejuang Lingkungan Hidup dan Meminta Presiden untuk Memerintahkan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia agar menghentikan tindakan kriminalisasi dan penangkapan terhadap para pejuang lingkungan hidup.   Jakarta, 28 Desember 2018 Hormat kami,   Narahubung :   Wahyu WALHI Esekutif Nasional     : 0821 123 95919 Rere WALHI Jatim             : 0838 5764 2883 Uslaini    WALHI SumBar         : 0811 3345 654 Aries WALHI Sulteng          : 0821 9195 2025 Kisworo WALHI KalSel        : 0813 4855 1100 Ismail WALHI Jawa Tengah         : 0811 800 763 Dadan Ramdan WALHI Jawa Barat  : 0812 2264 9424 Tubagus WALHI DKI Jakarta    : 0856 9327 7933 Wulang Tanaamahu WALHI NTT    : 0812 1553 5456