Indonesia bukan Chernobyl: Jauhkan Kalimantan Barat dari Ancaman Bahaya (Radiasi) Nuklir-PLTN

Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Hari Peringatan Internasional Terhadap Bencana Chernobyl
38 Tahun Chernobyl–26 April 2024

Jakarta & Pontianak, 26 April 2026

 

Dokumentasi: https://drive.google.com/drive/u/0/folders/1CIxyChoqc6cLtcduijh1F_rsN7M1gv59

 

“Bagi bangsa Indonesia masih berat, sebab tidak ada teknologi yang 100 persen sempurna terhadap radiasi. PLTN sangat berbahaya dan teknologi ini tidak mungkin dianggap main-main karena penggunaan energi ini bukan alih teknologi, namun lebih berorientais proyek”
Dr. Iwan Kurniawan (Pakar Nuklir)

Adalah keliru dan salah besar bila mengatakan Indonesia, khususnya Kalimantan kerap dianggap sebagai pulau yang aman dari potensi kebencanaan terutama gempa. Sejumlah kejadian terkait dengan bencana geologis dan ekologis yang terjadi membantah situasi dimaksud. Hal ini pula yang dikonfirmasi pihak Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melalui pernyataan Daryono selaku Kepala Bidang Mitigasi Gempa dan Tsunami. Menurutnya, anggapan Kalimantan aman dari bencana ini tentu saja tidak benar dan hanya mitos semata. Sebab Kalimantan memiliki sumber gempa, seperti Sesar Meratus, Sesar Mangkalihat, Sesar Tarakan, Sesar Maratua, Sesar Sampurna, dan Sesar Paternoster (Kompas, Juli 2022).

Bencana geologis dimaksud misalnya terjadi ketika pada Senin (25/3) sekitar pukul 18.54 lalu, gempa magnitude 4,3 mengguncang wilayah kabupaten Kapuas Hulu. Beberapa waktu sebelumnya berjarak tidak jauh, gempa lokal pada kabupaten yang sama juga terjadi di Desa Jelemuk dan Desa Nanga Manday di kecamatan Bika. Bukan hanya di Kapuas Hulu, kejadian gempa serupa juga pernah terjadi pada sejumlah wilayah Kalimantan Barat lainnya.

Di ibukota provinsi–Kota Pontianak pada Juli 2023 sekitar pukul 04.43 WIB dengan Magnitudo 2,6 misalnya. Selain itu pada Juni 2023 pukul 17.24 WIB dengan magnitudo 4,0, gempa terjadi di kabupaten Landak dan Bengkayang. Demikian pula di Ketapang pada Juli 2022, gempa berkekuatan magnitudo 5,0, pukul 05.09 WIB kala itu terjadi. Sementara di kabupaten Sintang gempa berkekuatan Magnitudo 3,1 sebelumnya juga pernah terjadi pada Maret 2019 mengguncang daerah tersebut.

Sejumlah goncangan akibat gempa yang terjadi di Kalimantan Barat tersebut hanya bagian kecil jumlah yang teridentifikasi beberapa tahun terakhir. Bukan hanya gempa, bencana ekologis banjir juga sangat kerap melanda sejumlah wilayah kabupaten/kota di Kalimantan Barat selama ini dengan waktu kejadian dan tingkat keparahan yang beragam, termasuk di kabupaten Bengkayang.

Situasi-situasi tersebut memberi signal kepada warga Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat–provinsi yang menjadi target pendirian tapak Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) tidak baik-baik saja. Berbagai tanda-tanda ‘kemurkaan alam’ tersebut sangat mungkin kembali terjadi dan menjadi salah satu situasi ancaman bagi keberadaan reaktor PLTN bila ke depan tetap dipaksakan untuk dibangun di Bengkayang, Kalimantan Barat.

Pada sisi lain berkaca pada apa yang telah dilakukan negara-negara seperti Jepang, Rusia, Amerika Serikat, tidak ada yang meragukan kemajuan sumberdaya manusia, infrastruktur dan kecanggihan teknologi dan lainnya yang dimiliki untuk mendirikan PLTN dengan standar keamanannya yang ketat bukan? Namun demikian, faktanya bencana nuklir dengan kecelakaan reaktor PLTN terjadi pada sejumlah tempat seperti di Daicii di Jepang (11 Maret 2011), There Mile Island di Amerika Serikat (1979), di Mayak, Rusia (29 September 1957) dan di  Seversk (dulu Tomsk-7) Siberia (6 April 1993) yang menunjukkan dampak gejala serupa berupa kelainan darah dan kerusakan genetik.  Hal yang sama juga terjadi di Semipalatinsk, Astana pada tahun 1949 hingga tahun 1962 sehingga hampir setengah dari populasi menderita disfungsi sistem syaraf motorik. Dampak dari radiasi nuklir lainnya pernah terjadi di Jepang, ketika Kota Hiroshima dan Nagasaki diserang tentara sekutu Amerika dengan bom atom.

Kecelakaan reaktor PLTN fenomenal dunia lainnya di Chernobyl, Ukraina pada 26 April 1986–tepatnya 38 tahun lalu. Bencana nuklir Chernobyl ini berhasil memporak-porandakan kehidupan Ukraina yang mengakibatkan sebanyak 7 juta orang harus menderita setiap saat dengan korban nyawa maupun gangguan kesehatan tidak terbilang jumlahnya. Bahkan bencana kemanusiaan dan lingkungan tragis ini berhasil membuat matinya sebuah kota Pripyat di daerah tersebut.

Di negara-negara pemilik pembangkit listrik tenaga nuklir dunia kini ada yang berencana dan bahkan telah mengnonaktifkan reaktor PLTNnya. Negara Jerman misalnya pada April 2023 mengkonfirmasi penghentian PLTN mereka (Emsland, Isar 2, dan Neckarwestheim). Menteri Federal Jerman untuk Lingkungan, Steffi Lemke sebagaimana dikutip CNN menegaskan bahwa posisi pemerintah Jerman jelas; “tenaga nuklir tidak ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan”.

Sejumlah tragedi kemanusiaan dan lingkungan tersebut menegaskan bahwa teknologi ciptaan manusia tidak sepenuhnya dapat dikontrol dan dikendalikan oleh manusia selaku penciptanya. Sebaliknya, justeru berkaca dari kecelakaan PLTN tersebut puluhan ribu manusia meregang nyawa hingga mengalami gangguan kesehatan, kerusakan lingkungan dan matinya kota Pripyat yang kini dikenal sebagai ‘Kota Hantu’.

Ditengah masih berlimpahnya sumber energi terbarukan yang belum teroptimalkan, masih cukupnya kebutuhan energi nasional, besarnya biaya investasi PLTN, Indonesia yang rawan gempa, potensi risiko kecelakaan yang besar, biaya rehabilitasi yang juga besar, limbah lingkungan radioaktif yang berbahaya dan listrik dari PLTN yang akan jauh lebih mahal–pemerintah melalui BATAN dan promotor PLTN akan tetap memaksakan pendirian tapak di sekitar Pantai Gosong, Bengkayang? Bahkan beberapa warga sekitar tapak ada yang mangganggap rencana PLTN hoaks, karena selama ini belum pernah mendapat informasi jelas terkait hal ini dari pihak terkait secara langsung kepada mereka selaku pemilik tanah.

Inisiatif pembangunan PLTN hanya menjadi kepentingan segelintir orang yang lebih ditujukan untuk kepentingan industri, namun dikemas sebagai solusi ketahanan energi nasional. Selain pembangunannya mahal, waktu pembangunan lama dan berpotensi menciptakan ketergantungan teknologi kepada negara penyedia teknologi–PLTN juga membutuhkan kapasitas institusi yang tinggi dan sangat baik untuk membangun, mengelola, mengawasi, serta mengurus limbah dan menangani setelah tutup. Jadi tentu tidak sesederhana yang dibayangkan, dengan risikonya yang juga jauh lebih besar dan berbahaya.

Terlebih selama ini, rencana pembangunan PLTN di Kalbar maupun di Indonesia pada umumnya tidak diinformasikan dengan jujur, utuh dan berimbang kepada publik. Bahkan, diantara informasi yang disampaikan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan para promotor PLTN lainnya selama ini justru mengandung sesat pikir juga kebohongan publik. Sesat pikir paling krusial juga terlihat ketika energi nuklir dianggap sebagai bagian dari energi terbarukan oleh promotor PLTN.

Ancaman krisis energi di masa depan mestinya dapat diatasi dengan memanfaatkan secara maksimal potensi energi terbarukan yang dimiliki disertai efisiensi energi di segala lini. Namun jika tetap akan dipaksakan, maka silakan dirikan saja tapak PLTN di samping rumah tinggal para promotor PLTN.

Menghentikan rencana pendirian PLTN di Kalimantan Barat agar tidak melahirkan potensi risiko bencana dan momok bagi generasi mendatang mestinya jadi perhatian untuk menjawab pemenuhan kebutuhan energi masa depan yang murah, aman, bersih dan berkeadilan. Ancaman krisis energi di masa depan mestinya dapat diatasi dengan memanfaatkan secara maksimal potensi energi terbarukan yang dimiliki disertai efisiensi energi di segala lini.

Tentu saja kita tidak menghendaki Indonesia menjadi Chernobyl berikutnya, yang porak poranda karena teknologi berbahaya pembangkit nuklir. Inisiatif untuk memaksakan pendirian PLTN bukanlah solusi untuk pemerataan akses listrik bagi masyarakat Kalimantan Barat yang aman, murah dan berkeadilan. Justru dengan mendorong pendirian PLTN ditengah alpanya optimalisasi potensi energi terbarukan, pemerintah sedang menunjukkan ketidakmampuannya mengoptimalkan. Pada sisi lain, upaya yang dilakukan para promotor PLTN selama ini juga dirasakan tidak terbuka dan tidak disampaikan utuh kepada publik.

Melalui momentum Hari Peringatan Internasional Terhadap Bencana Chernobyl (Chernobyl Day) pada 26 April 2024, kami meminta agar; (1) Jauhkan bumi Kalimantan Barat dari ancaman bahaya radiasi nuklir-PLTN, (2) Agar pemerintah menghentikan dengan tidak memaksakan rencana pembangunan energi nuklir melalui PLTN di Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat dengan mengalihkan investasi yang ada pada untuk pengembangan sumber-sumber energi terbarukan yang tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga terjangkau secara finansial dan dapat diandalkan untuk jangka Panjang, (3) Bahwa tidak benar rencana pendirian PLTN tanpa penolakan selama ini di Kalimantan Barat sebagaimanan klaim pihak Direktur EBT dan Konservasi Energi ESDM yang gegabah dan tidak mendasar dan ini tidak lebih bentuk kebohongan publik yang justru dapat berdampak kontraproduktif dan menyesatkan.

 

Kontak:
Hendrikus Adam (Direktur Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Barat) - +62 8524 5251 907
Fanny Tri Jambore (Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional WALHI) - +62 8385 7642 883