Gugatan Pencemaran Udara “Satu Tahun Digantung Negara”

GUGATAN PENCEMARAN UDARA “SATU TAHUN DIGANTUNG NEGARA”

JAKARTA, 6 JULI 2020 – Sidang gugatan warga negara (citizen lawsuit) atas polusi udara Jakarta memasuki agenda Sidang Pembuktian di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hari ini. Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Koalisi Ibukota) yang mendampingi perjalanan gugatan oleh 32 warga negara tersebut menilai persidangan ini berjalan dengan sangat lambat. Pada 4 Juli 2020 kemarin, terhitung proses gugatan sudah genap berlangsung selama satu tahun.

Dalam perjalanannya, gugatan yang ditujukan kepada tujuh pejabat negara ini awalnya mendapat satu respons positif yakni dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, dalam lima kali pertemuan mediasi di dalam ruang sidang dan dua kali di luar persidangan, tidak ditemukan juga kesepakatan.

Dengan jalan persidangan yang lambat hingga satu tahun dan minimnya respons positif dari ketujuh tergugat tersebut, Koalisi Ibukota kembali mengingatkan kepada pemerintah untuk menunjukkan sikap serius dalam memberikan hak sehat untuk warga negara.

Salah satu penggugat, Khalisah, mengatakan jika pemerintah merespons dengan cepat poin-poin yang menjadi gugatan, tentunya warga tidak perlu merasa was-was menjelang musim kemarau tahun ini. Terlebih, dengan adanya pandemi Covid-19, seharusnya pemerintah berani mengambil langkah cepat untuk mencegah masalah polusi udara yang sepertinya sudah menjadi agenda tahunan.

Dalam perkara ini, aturan yang digugat untuk direvisi salah satunya adalah Peraturan Pemerintah nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

“Cara pemerintah untuk menangani pencemaran udara dalam PP No.41 itu sudah usang, sudah tidak sesuai dengan standar pencemaran udara saat ini. Aturan dalam PP tersebut jauh di bawah baku mutu yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Pemerintah seharusnya tidak mengabaikan peraturan ataupun rekomendasi dari WHO, apalagi di masa pandemi saat ini,” kata Khalisah.

Penggugat lainnya, Elisa Sutanudjaja, mengatakan seharusnya dalam konsep New Normal saat ini pemerintah juga berani mengusung norma baru. Menurut dia, berbagai hasil riset atau penelitian yang menunjukkan hubungan antara polusi udara dengan Covid19, sepatutnya dapat membuat pemerintah mengambil langkah signifikan untuk mencegah meningkatnya angka pasien ataupun kematian akibat Covid19.

“Pemerintah kerap mendengungkan ‘New Normal’ akhir-akhir ini dalam konteks menghadapi pandemi Covid19. Namun pada kenyataannya kita tidak pernah normal.

Pencemaran udara makin buruk bahkan kian terakselerasi. Belum lagi proyek-proyek yang mendorong terjadinya polusi di Jakarta yang malah menjamur. Misalnya, jalan tol bertingkat di utara Jakarta dan berbagai rencana tol baru di Jabodetabek yang nampak dalam  Perpres  20  tahun  2020  tentang  Penataan  Kawasan Jabodetabek-Punjur,” tutur Elisa.

Dia menambahkan, norma baru yang harusnya didorong oleh pemerintah dapat membawa kehidupan dan sistem produksi yang minim polusi. “Misalnya, memprioritaskan transportasi non-motor seperti pejalan kaki dan sepeda, serta transportasi publik. Bukan malah memprioritaskan kendaraan bermotor melulu. Norma baru berarti Jakarta harus stop membangun monumen pencemaran udara seperti jalan tol,” imbuh Elisa.

Di tempat yang sama, perwakilan dari tim advokasi dari LBH Jakarta, Ayu Eza Tiara mengingatkan bahwa sudah banyak data yang memprediksi bahwa di tahun 2030 masalah pencemaran udara akan meningkat, bahkan hingga 30 kali lipat.

Tidak hanya itu, Ayu menyebut, telah banyak juga data atau riset yang menjelaskan dampak pencemaran udara yang tidak hanya berpengaruh pada kesehatan fisik, namun juga pada kesehatan psikologis, bahkan ekonomi masyarakat.

“Tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk selalu menunda-nunda atau menghiraukan pemenuhan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat. Tidak perlu menunggu hingga ada putusan yang inkracht lalu Pemerintah baru sibuk memikirkan upaya yang tepat untuk mengatasi pencemaran udara,” tukas dia.

Lebih dari itu, Ayu menyayangkan lambannya respons dari para tergugat. Alasannya, melalui gugatan ini, warga negara khususnya warga Jakarta sebenarnya telah memberikan solusi-solusi apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah.

“Sehingga dengan adanya gugatan warga negara ini, sudah sepatutnya dijadikan peringatan yang keras bagi pemerintah untuk mengatasi masalah pencemaran udara, dan menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-undang,” tutur Ayu.

Gugatan warga negara tentang polusi udara Jakarta telah dimulai dengan mengirimkan notifikasi kepada tujuh tergugat pada 5 Desember 2018 silam. Dalam penyerahan gugatan yang dilayangkan pada 4 Juli 2020 lalu, ditetapkan tujuh pejabat pemerintahan sebagai para Tergugat dan Turut Tergugat dalam perkara ini.

Secara rinci, ketujuh pejabat yang digugat adalah Presiden Republik Indonesia (TERGUGAT 1), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (TERGUGAT 2), Menteri Dalam Negeri (TERGUGAT 3), Menteri Kesehatan (TERGUGAT 4), Gubernur DKI Jakarta (TERGUGAT 5), Gubernur Banten (TURUT TERGUGAT 1) dan Gubernur Jawa Barat (TURUT TERGUGAT 2).

-o-