Mukadimah
Dari Pulau Sumba, di timur negeri ini, kami berkumpul dalam Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup XIV WALHI. Di sini, suara masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan, anak muda, akademisi, seniman, jurnalis, dan korban bencana ekologis berpadu menjadi satu. Kami bersaksi tentang krisis yang melanda bumi dan rakyatnya, dan kami menyatakan satu tekad: arah pembangunan negeri ini harus dibalik.
Kami menolak model pembangunan yang menempatkan bumi semata sebagai komoditas. Kami menuntut tatanan baru, yang adil secara ekologis, sosial, ekonomi, dan politik, karena hanya dengan itu kehidupan bisa bertahan dan anak-anak memiliki masa depan.
Janji Kemerdekaan yang Terkoyak
Tujuh puluh delapan tahun lalu, Proklamasi 17 Agustus 1945 menjanjikan perlindungan bagi seluruh rakyat dan bumi pertiwi. Namun, delapan dekade kemudian, janji itu menjauh. Krisis ekologis, yang berdampak terhadap seluruh dimensi kehidupan masyarakat semakin memburuk.
Sejak tahun 2001 hingga 2024, Indonesia telah kehilangan 32 juta hektare tutupan pohon dibandingkan tahun 2000. Ini mencakup deforestasi primer maupun sekunder (Global Forest Watch, 2024). Setiap menit, hutan setara 3,6 lapangan sepakbola lenyap dari peta.
Indonesia berada di posisi kedua dunia dalam menyumbang emisi gas rumah kaca dari aktivitas deforestasi, menyumbang sekitar 20 persen dari total emisi global dari sektor tersebut antara 2013–2022. Jika dirata-rata, emisi dari sektor land-use, land-use change, and forestry (LULUCF) Indonesia mencapai 1 GtCO e per tahun, mencapai hampir separuh dari total emisi nasional (Climate Action Tracker, 2024).
Laju kepunahan keragaman hayati di negeri ini juga sangat tinggi. Pada tahun 2021 terdapat 189 spesies fauna di Indonesia yang dikategorikan Kritis Terancam Punah (Critically Endangered), meliputi 26 mamalia dan sejumlah amfibi, reptilia, dan koleksi lautan. Komodo, misalnya, naik status dari “Rentan” ke “Terancam Punah.” Lebih dari sepertiga (30 %) dari 138.374 spesies yang dinilai IUCN kini berada dalam daftar ancaman kepunahan. Ancaman membesar belakangan ini, terutama karena zonasi utama biodiversitas di kawasan Wallacea mengalami deforestasi rata-rata 1,23% per tahun (Maria Voigt, et. al., Environmental Research Letters, 2021).
Dalam hal polusi plastik, yang juga menjadi salah satu dari "tiga krisis planet" selain krisis iklim dan menyusutnya keragaman hayati, Indonesia juga penyumbang besar secara global. Indonesia penyumbang sampah plastik terbesar ke dua ke laut (Jambeck et al., Science, 2015). Di sisi lain, orang Indonesia menelan rata-rata 13 gram mikroplastik per bulan, tertinggi di dunia (Xiang Zhao et al., Environmental Science & Technology, 2024).
Ini menunjukkan kerentanan masyarakat Indonesia terhadap bencana lingkungan. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menunjukkan, setidaknya terjadi 3.500 kejadian bencana ekologis per tahun, meliputi banjir, longsor, dan kebakaran.
Bencana ekologis yang dipicu ekstraksi alam berlebih ini jelas membawa petaka ke rakyat. Pada 2025, 23,85 juta rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan (BPS). Ini menunjukkan, kekayaan alam kita dikeruk, tapi hasilnya mengalir ke segelintir elite, sementara rakyat harus menanggung derita. Sektor sumber daya alam pun menjadi ladang subur korupsi oligarki.
Jelas bahwa krisis ini merupakan hasil pilihan politik dan ekonomi yang salah, pembangunan yang mengejar pertumbuhan semu, ekonomi ekstraktif yang menyembunyikan biaya kerusakan, kekuasaan yang dikonsentrasikan pada oligarki, dan hukum yang tunduk pada modal.
Argumen yang kerap disampaikan oligarki untuk membenarkan perusakan yang dilakukan bahwa “negara maju pun dulu merusak lingkungannya” pun sesat dan berbahaya. Planet ini kini berada di ambang batas daya dukung. Tidak ada ruang lagi untuk mengulang kesalahan sejarah.
Alih-alih melanggengkan kerusakan yang bakal membawa kita ke jurang bencana ekologis lebih dalam, kami menuntut keadilan ekologis.
Jalan Keadilan Ekologis
Keadilan ekologis adalah gagasan sekaligus kompas moral. Ia menempatkan manusia, alam, dan generasi mendatang dalam satu kesetaraan. Keadilan ekologis bukan sekadar soal kelestarian, tapi soal hak hidup.
Kami menegaskan:
- Bahwa bumi dan seluruh ekosistemnya memiliki hak untuk hidup dan memulihkan diri.
- Bahwa generasi mendatang berhak mewarisi bumi yang layak huni.
- Bahwa hasil kekayaan alam harus dibagi secara adil, bukan dimonopoli oleh segelintir elite.
- Bahwa rakyat memiliki hak menentukan arah pembangunan, bukan menjadi korban keputusan sepihak.
- Bahwa masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan, orang muda adalah penjaga pengetahuan dan ruang hidup; hak mereka untuk mengelola sumber daya harus dilindungi.
- Bahwa transisi energi yang adil dan demokratis harus menjadi pilar utama, meninggalkan ketergantungan pada energi fosil yang menghancurkan bumi.
Pasal 28H dan 33 UUD 1945 memberi mandat jelas: negara wajib melindungi rakyat dan mengelola bumi, air, dan kekayaan alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kami menuntut janji itu ditepati.
Prinsip Perjuangan
- Kami berdiri di atas keyakinan bahwa keadilan ekologis bukan sekadar isu lingkungan, melainkan perjuangan sosial, politik, dan ekonomi.
- Kami menolak neoliberalisme, menolak kolonialisme ekologis, dan menolak pembangunan yang menyingkirkan rakyat demi modal.
- Kami menolak kompromi dengan perusakan lingkungan.
- Kami memilih berpihak pada mereka yang paling tertindas.
- Kami percaya perubahan hanya lahir dari solidaritas lintas pulau, lintas generasi, dan lintas bangsa.
Seruan Aksi
- Kami menyerukan kepada pemerintah: hentikan perampasan tanah, akui dan lindungi hak rakyat atas ruang hidup, air, dan wilayah kelola. Kami menyerukan kepada masyarakat sipil: satukan barisan, karena tanpa persatuan, tak ada perubahan.
- Kami menyerukan kepada akademisi dan jurnalis: gunakan pengetahuan untuk membela kehidupan, bukan kepentingan pasar.
- Kami menyerukan kepada komunitas global: hentikan kolonialisme hijau dan proyek-proyek pembangunan yang merampas tanah dan laut kami.
- Kami menyerukan kepada generasi muda: ambil peran, karena masa depan tidak menunggu.
Untuk menegaskan komitmen ini, kami menetapkan 20 September sebagai Hari Keadilan Ekologis Nasional dan mendesak pemerintah memperjuangkannya sebagai Hari Keadilan Ekologis Internasional.
Penutup
Deklarasi ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang merebut masa depan. Kami tahu jalan ini terjal, tapi kami memilih melangkah bersama.
Bumi bukan warisan leluhur, melainkan titipan generasi mendatang. Mari kita hentikan perampasan, mari kita rebut kembali kehidupan. Kita tak sedang melawan alam; kita sedang melawan keserakahan.
Untuk Indonesia yang adil, lestari, dan bermartabat.
Sumba, 20 September 2025
----- -----
Unduk dokumen Deklarasi Sumba tentang Keadilan Ekologis: