COP 24 Harus Menjadi Momentum bagi Pemerintah untuk Mengoreksi Target NDC

Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Katowice-Putaran COP 24 tengah berlangsung di Katowice, dengan berbagai agenda untuk memastikan komitmen negara yang tertuang dalam Paris Agreement dijalankan. Dua tahun paska pemerintah meratifikasi Paris Agreement, berbagai upaya konon sudah dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai target penurunan emisi dari sebagai penyumbang emisi terbesar hingga saat ini, yakni dari alih fungsi lahan dan deforestasi. Pada COP 24 ini, Pemerintah menyatakan penurunan emisi telah terjadi, salah satunya karena angka kebakaran hutan dan lahan telah menurun dari tahun 2015. Kami melihat upaya penurunan emisi dengan penanganan kebakaran hutan dan lahan sebagai sebuah upaya positif. Namun kami menilai upaya tersebut belum cukup memadai atau belum ambisius, terlebih jika kita merujuk pada laporan IPCC terbaru. IPCC mengeluarkan report terbarunya yang merekomendasikan agar semua pihak, khususnya pemerintah harus berupaya sekuat tenaga untuk menahan suhu bumi di bawah 1.5 derajat celcius. Dalam laporan IPCC disebutkan bahwa target NDC semua negara sebagaimana yang tertuang dalam Kesepakatan Paris tetap akan menyebabkan pemanasan global lebih dari 1.5 derajat celcius. [1] Dari laporan tersebut, semua negara, termasuk Indonesia harus segera melakukan tindakan yang ambisius untuk menurunkan emisi di sektor energi, hutan dan lahan. Tindakan ini harus dilakukan secara struktural dengan cara mengoreksi kebijakan ekonomi dan pembangunan Indonesia ke depan. Pemerintahan Indonesia ke depan harus merumuskan kebijakan korektif, struktural dan sistematis untuk mencapai target penurunan emisi secara drastis, demi memberikan jaminan keselamatan bagi warga negara dan memastikan perlindungan wilayah kelola rakyat dari dampak perubahan iklim. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah mendesak untuk mendorong suhu bumi di bawah 1.5 derajat, demi memastikan jaminan keselamatan rakyat dan ruang hidupnya, diantaranya dengan melanjutkan dan memperkuat Inpres moratorium Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Gambut.[2] Menjalankan kebijakan moratorium sawit dan evaluasi perizinan, serta audit lingkungan terhadap korporasi sebagai aktor penyumbang emisi terbesar dunia. Dalam COP 24 ini, WALHI juga menegaskan penolakan terhadap tawaran solusi penanganan perubahan iklim yang justru akan melahirkan krisis baru pada satu sisi, dan di sisi yang lain juga tidak akan menjawab persoalan struktural dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berujung pada perubahan iklim. WALHI menolak solusi palsu atau false solution yang berbasiskan pasar dan menciptakan komodifikasi dan finansialisasi sumber daya alam, lewat Blue Carbon salah satunya yang mereplikasi skema REDD. Maupun solusi-solusi teknis semata dan tidak mampu menjangkau akar masalah perubahan iklim seperti techno-fixes. WALHI juga menolak reforestasi yang berbasiskan pada skema pasar dan korporasi, karena reforestasi berbasis korporasi hanya menjadi bagian dari green washing korporasi. Kami menilai bahwa korporasi sudah terlalu banyak diberikan kemewahan dan kesempatan melalui negara lewat izin yang dikeluarkan dan faktanya telah gagal, dengan berbagai krisis lingkungan hidup dan kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Atas dasar itulah dalam momentum COP 24 ini, WALHI menyelenggarakan diskusi bertema Forest for the People: Community Defending the Remaining Forest in Indonesia as a real Climate Solution dan pemutaran film tentang jejak dan dampak deforestasi di Kalimantan Tengah di Katowice – Polandia. Dalam diskusi ini WALHI Daerah di 5 propinsi yakni Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara yang menyampaikan fakta krisis iklim yang terjadi di tingkat tapak yang sebagian besar bersumber dari alih fungsi lahan dan deforestasi seperti perkebunan besar kelapa sawit, tambang batubara dan kebun kayu, yang menyumbangkan emisi gas rumah kaca, meski pemerintah sudah mengeluarkan Inpres Moratorium Sawit. Di sisi yang lain, pengakuan terhadap hutan adat masih berjalan sangat lambat, dari komitmen yang seharusnya sudah bisa dipenuhi oleh pemerintah, juga masih lemahnya pengakuan hak kelola rakyat dalam pengelolaan ekosistem rawa gambut oleh negara. Bagi WALHI, wilayah kelola rakyat yang berbasiskan pada pengetahuan dan kearifan lokal adalah solusi riil dari rakyat dalam menghadapi dampak perubahan iklim. (selesai) Katowice, 6 Desember 2018 Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

  1. Yuyun Harmono, Pengkampanye Keadilan Iklim Eksekutif Nasional WALHI di 081385072648
  2. Anton Widjaya, Direktur WALHI Kalimantan Barat di 0811574476
  3. Dimas Hartono, Direktur WALHI Kalimantan Tengah di 081352704704
  4. Fatur Roziqin Fen, Direktur WALHI Kalimantan Timur di 08115448002
  5. Muhammad Hairul Sobri, Direktur WALHI Sumatera Selatan di 081278342402
  6. Dana Tarigan, Direktur WALHI Sumatera Utara di 08126344992

  [1] Friends of the Earth International memprediksi bahwa target NDC seluruh negara akan mendorong suhu global mencapai 2.9 derajat sampai 3.4 derajat pada tahun 2100. Untuk menghindari kenaikan suhu global di atas 1.5 derajat, maka emisi global harus beranjak turun sebelum tahun 2030. Jika tidak, maka nasib keselamatan makhluk bumi, khususnya di negara-negara rentan seperti Indonesia yang memiliki begitu banyak pulau-pulau kecil. [2] WALHI mendorong dalam kurun waktu 25 tahun agar terjadi pembenahan tata kelola sumber daya alam, khususnya di sektor kehutanan.