Belajar dari Masyarakat Adat Pubabu

Belajar dari Masyarakat Adat Pubabu
Oleh: Melkior Nahar

Hutan lebat. Pepohonan besar tumbuh subur dan rimbun. Tampak hijau dari kejauhan.  Itulah hutan adat Pubabu yang melingkupi beberapa desa seperti Desa Linamnutu, Polo, Oe Ekam, dan Desa Mio, di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Barat. Dalam perjalanan waktu, hutan adat ini mengalami pergantian nama beberapa kali. 

Awal mula hutan ini bernama Klai, berarti lebat, rimbun dan tak bisa dilalui. Kala para tokoh adat berkumpul mengadakan upacara dikenal dengan Kio, hutanpun berganti nama menjadi Hutan Pubabu. Ia berarti batang pohon tali hutan yang dapat menghasilkan air. 

Nama Hutan Pubabu pun berubah nama pada 1982, kala masuk proyek percontohan intensifikasi peternakan, kerjasama Pemerintah TTS dan Australia. Hutan adat Pubabu menjadi Hutan Besipae. Ini gabungan nama julukan dua orang Usif yakni Besi dan Pa’E. Perubahan nama ini inisiasi Australia. Penetapan hutan adat ini, dilakukan oleh para tokoh adat dari seluruh desa. Tujuannya, hutan harus dilindungi dan tidak boleh terjamah masyarakat atau siapapun. 

Dalam bahasa Dawan Amanuban Selatan,  hutan adat dikenal dengan Nais Kio, berarti hutan yang dilarang para tokoh-tokoh adat. Mereka ini Amaf Lopo-Puay, Amaf Nau-Tunliu, dan Meo Nabuasa, Meo Sayuna, Meo Selan, Meo Sopaba bersama-sama Usif Nabuasa berkumpul dan upacara adat guna menetapkan hutan larangan. Hutan tidak boleh dikelola siapapun termasuk berburu satwa liar.  

Aturan melarang memasuki hutan atau Kio ini agar hutan adat bisa menjadi tempat tinggal satwa baik liar maupun gembalaan (he muittan haket tan tainina). Warga juga tidak boleh berburu di hutan. Perburuan hanya boleh ketika ada binatang liar keluar dari hutan dan masuk kampung. Namun, jika binatang liar lari dan masuk hutan, tidak boleh dikejar lagi. Dengan larangan itu, pohon-pohon juga bisa tumbuh menjadi besar, rimbun dan lebat (haut nam nasimma makona, honot nam nais/ klai).

Kearifan Lokal
Pengelolaan hutan dengan kearifan lokal ini turun menurun dijalankan masyarakat adat. Mereka hidup tergantung hutan, hingga lingkungan hutanpun harus terjaga lewat kearifan lokal yang mereka miliki. 

Terlebih, hari demi hari ancaman kerusakan terhadap hutan kian besar. Berbagai masalah terjadi, dari penyerobotan lahan oleh kelompok atau pihak lain yang tak memahami aturan adat sampai ancaman atas nama pembangunan. 

Secara umum, kearifan lokal bisa dipahami sebagai gagasan-gagasan bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, tertanam, dan diikuti warga adat. Kearifan lokal itu merupakan gagasan konseptual yang hidup, tumbuh dan berkembang terus menerus dalam kesadaran masyarakat serta berfungsi mengatur kehidupan. Masing-masing komunitas, memiliki kearifan lokal tersendiri dalam mengelola hutan dan lingkungan hidup mereka. 

Bagi masyarakat Timor, konsep segitiga kehidupan mansinan-muit-nasi, na bua, berarti manusia, ternak, dan hutan merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Mereka saling memiliki ketergantungan. Ekosistem dan jejaring kehidupan yang saling hidup menghidupi sangat dihargai. Manusia memerlukan ternak dan hutan. Ternak mencari makan di hutan, dan manusia memelihara hutan. Jika salah satu dari ketiga unsur dipisahkan, bisa berdampak kepada unsur lain. 

Dalam menjalankan kearifan lokal itu, masyarakat adat di Timor, mempunyai jabatan adat dengan tugas dan fungsi masing-masing. Ada Usif, sebagai pemimpin yang mengendalikan dan  mengawal semua nilai dan norma dalam persekutuan hidup serta pengawasan. Lalu, Amaf, sebagai tokoh panutan dan pendukung Usif dalam penetapan nilai,  norma lokal, serta tanggungjawab wilayah tertentu. Ada Meo. Ia sebagai pengaman kehidupan komunitas dan wilayah, Ana’Tobe yang berfungsi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Juga Ma’Fefa, yang menjadi juru bicara.

Wilayah kelola pun terbagi dalam beberapa bagian. Ada disebut Suf, Autif,  yakni wilayah yang dibatasi alur air. Nuaf yaitu wilayah kesatuan dari suatu gunung. 

Wilayah kelola juga terbagi menurut fungsi dan manfaat. Ada yang disebut pahe kulin, pahe nakan; oele’matan, hune’ba’an; hau ma kono, faut ma kono, nais le’u, oe le’u. Ungkapan ini,  diarahkan pada wilayah (zona) merupakan puncak atau karena keyakinan lokal dianggap sakral atau penting. Ia bukan hanya ungkapan tetapi disertai sikap perilaku lebih berhati-hati, dan santun. 

Ada po’an. Ini areal bagi kegiatan budidaya terutama pangan. Warga menanam padi, jagung hingga sorgum. Kemudian maman atau mamar, yakni,wilayah sumber mata air untuk budidaya tanaman sirih, pinang, dan kelapa. 

Dari pandangan-pandangan itu, terlihat jelas kearfian lokal memiliki makna substansi utuh sesuai metode-metode maupun pola-pola pendekatan pengelolaan hutan kontemporer. 

Ritual Banu 
Pada masyarakat adat Pubabu, Desa Linamnutu, Kecamatan Amnuban, TTS, norma, tradisi dan adat istiadat melekat kuat dalam kehidupan mereka. Ia menjadi pegangan hidup warga adat wilayah itu. Bagi mereka, ketakutan hukum atau sanksi adat lebih besar dibandingkan hukum positif. 

Ketergantungan masyarakat adat Pubabu terhadap hutan dalam memenuhi kebutuhan hidup sangat tinggi. Dari sumber pangan berupa flora dan fauna, hingga obat-obat ada di hutan. 

Bagi masyarakat adat ini, hutan memiliki makna sebagai nono hau ana (tali dan pohon), ninik haumeni (lilin dan cendana), one sisi (madu dan daging), oel maka (air dan pangan). Juga, kuna tilun (habitat), dan lopo pinis akun (lumbung embun). Guna menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian hutan, mereka memiliki kearifan lokal, disebut dengan Banu atau Bunuk. 

Bagi masyarakat adat di sana, ritual Banu, merupakan warisan nenek moyang yang sudah turun menurun berjalan. Awalnya, ritual ini muncul karena ada pemanfaatan sumber hutan baik flora dan fauna atau manfaat lain secara berlebihan. Dari sinilah, awal mula, ritual Banu. 

Lewat ritual ini, masyarakat adat meyakini, bisa berpengaruh besar terhadap pola dan perilaku warga dalam memanfaatkan hutan. Ritual Banu mengatur soal sanksi atau denda sangat berat bagi pelanggar. 

Alam berpengaruh dan bermanfaat besar bagi kehidupan manusia. Jadi, sudah sepantasnya mendapatkan perlakuan baik. Layaknya, sesama manusia. Ritual Banupun, bisa diartikan sebagai komunikasi manusia dengan alam. Ia juga dimaknai sebagai momentum memberikan kesempatan alam memulihkan diri secara alamiah tanpa intervensi manusia.

Untuk ritual ini ada dua jenis, Banu Naik dan Banu Turun. Banu Naik, adalah ritual menandai seluruh aktinitas berhubungan dengan hutan baik flora, fauna, dan lain-lain dihentikan. Sedang Banu Turun, adalah ritual yang menandai kegiatan berhubungan dengan hutan baik flora, fauna, dan lain-lain boleh dilakukan. 

Pagelaran ritual Banu sangat bergantung kepada ketersediaan dan keperluan akan sumber daya hutan di wilayah masyarakat adat. Ritual bisa sewaktu-waktu, ketika masyarakat adat memerlukan satu jenis satwa atau tumbuh-tumbuhan dan lain-lain dari hutan. 

Lebih jelas lagi, ritual Banu Naik, sewaktu-waktu bisa dilakukan kala ada keterdesakan keperluan bersama masyarakat adat dari hutan. Setelah keperluan terpenuhi, barulah ritual Banu Turun, lagi.  

Dalam ritual Banu buka–tutup ini, biasa ditandai dengan penyembelihan beragam hewan, antara lain, sapi dan babi. Tulang rahang atas dan tanduk sapi akan diambil dan dipaku di satu pohon tempat ritual Banu berlangsung. 

Jenis dan ukuran sapi atau babi pun,  berkaitan dengan sanksi yang bakal diterima masyarakat yang melanggar. Makin besar sapi dan rahang yang dipaku di pohon, sanksi bagi pelanggar ritual banu juga sebanding dengan itu.  

Seiring perkembangan zaman, dalam lima tahun belakangan ini, pagelaran ritual Banu, baik buka maupun tutup, sudah tak wajib menyembelih hewan seperti sapi atau babi, dan lain-lain. Tentu, ia tak mengurangi makna atau substansi penyelenggaraan ritual itu sendiri. 

***

Beberapa istilah yang dikenal dalam nilai-nilai dan norma berkaitan pengelolaan hutan di Timor Tengah Selatan: 

Banu/Bunuk: Larangan terhadap berbagai aktivitas yang berhubungan dengan hutan. Larangan ini bagi kebakaran potensi sumberdaya hutan (flora, fauna, dan lain-lain) yang bernuansa magis. 

Tones/Asan: Ini ungkapan berisi nilai historis, pujian serta pujaan terhadap hutan. 

Nel/Fanu: Kalimat-kalimat kiasan bermakna persahabatan juga permusuhan.

Fek Nono Hau Ana: upacara untuk mengawali kegiatan pembukaan lahan.

Opat: Denda atau sanksi atas pelanggran terhadap nilai dan norma lokal

Beko Tunis: Suatu tindakan untuk mempererat hubungan emosional dengan makhluk lain. []