Waspadai Politisasi TNI dalam Pemilu 2024

Siaran Pers
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan Menyikapi Pergantian Panglima TNI Menjelang Tahun Politik

Presiden Joko Widodo telah mengusulkan nama Agus Subiyanto pengganti Laksamana TNI Yudo Margono sebagai Panglima TNI. Usulan tersebut dikarenakan masa jabatan panglima TNI saat ini akan segera berakhir pada akhir bulan November 2023.

Pergantian Panglima TNI sejatinya menjadi jalan rotasi dan regenerasi jabatan di tubuh TNI secara fair demi kepentingan negara, bukan demi kepentingan pemerintah yang berkuasa. Apalagi jika dijalani dengan cara yang berbau nepotisme. Sayangnya, justru ini yang kami sinyalir tengah terjadi, yaitu fenomena nepotisme dalam hal pergantian Panglima TNI.

Fenomena nepotisme sangat terasa melihat latar belakang hubungan dekat antara Joko Widodo dan Agus Subiyanto ketika masing-masing menjabat pimpinan pemerintahan dan satuan teritorial di kota Surakarta, Solo. Panglima TNI usulan Presiden yaitu Agus Subiyanto pernah menjadi sebagai Dandim Surakarta ketika Jokowi menjabat Walikota di kota yang sama.

Praktik pergantian Panglima yang seperti ini jelas mereduksi kebutuhan regenerasi serta rotasi matra TNI yang diwarnai tujuan dan motif tertentu yang mengarah pada politik praktis, yaitu kepentingan partisan kelompok yang bersifat jangka pendek. Kepentingan tersembunyi itu sulit dipungkiri menyangkut kepentingan Presiden Joko Widodo yang kini cawe-cawe Pilpres dan memenangkan salah satu kandidat Pilpres sekaligus memberikan keuntungan pada anaknya, Gibran RR, yang menjadi calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto.

Mengingat Indonesia sedang memasuki tahun politik elektoral, pertimbangan pemilihan calon Panglima TNI harus betul-betul didasarkan pada kepentingan rotasi dan regenerasi di dalam tubuh TNI, bukan didasarkan pada kedekatan personal maupun kedekatan dan kepentingan politik.

Kami memandang, nama Agus Subiyanto rentan dimensi politisnya. Usulan nama itu juga punya potensi besar disalahgunakan Presiden untuk kontestasi Pemilu 2024. Hal ini mengingat, latar belakang Agus Subiyanto yang merupakan mantan Dandim Surakarta tahun 2011 di mana pada saat itu Jokowi juga menjabat sebagai Walikota dan beliau juga mantan Danpaspampres. Kendati presiden Jokowi sudah tidak akan mencalonkan diri sebagai presiden, dalam kontestasi mendatang terdapat anak kandung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang akan berkontestasi dalam pemilu mendatang.

Oleh karena itu, masyarakat luas patut ikut mengkhawatirkan adanya potensi politisasi institusi TNI dalam kontestasi Pemilu 2024 mendatang.

Baca juga:
https://www.walhi.or.id/perpanjangan-masa-jabatan-panglima-tni-ilegal-dan-tidak-ada-esensinya

Dalam konteks Pemilu mendatang TNI harus menyadari perannya sebagai alat negara di bidang pertahanan sebagaimana disebutkan Pasal 5 UU No. 34 tahun 2004. Larangan terlibat dalam politik praktis secara tegas disebutkan dalam Pasal 39 UU No. 34 Tahun 2004, menyatakan prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan menjadi anggota partai politik dan kegiatan politik praktis. Oleh karena itu, keterlibatan TNI dalam aktivitas politik atau yang berkaitan dengan itu jelas dilarang dan sebaiknya dihindari.

Kami memandang bahwa proses pergantian Panglima TNI harus selalu ditujukan sebagai momentum perbaikan internal dalam rangka mewujudkan TNI sebagai alat pertahanan negara yang profesional, modern dan menghormati HAM. Dalam konteks ini, meski pergantian panglima TNI merupakan hak prerogatif presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, menjadi penting otoritas tersebut dijalankan secara bijak dan akuntabel. Pergantian panglima TNI bukan hanya tentang pergantian sosok pimpinan, tapi yang jauh lebih penting adalah hal tersebut juga akan mempengaruhi baik-buruknya dinamika dan wajah TNI ke depan.

Proses pergantian panglima TNI dalam suasana kontestasi politik ini sudah seyogyanya bebas dari kepentingan yang pragmatis-politik. Presiden dan DPR harus menghindari dan meninggalkan pola pragmatif-politis dalam pergantian panglima TNI, seperti mempertimbangkan unsur kedekatan dengan lingkaran kekuasaan, kepentingan kelompok, dan keuntungan politik. Pola pergantian yang berbasis pada pragmatis-politis menjadi berbahaya, karena selain menjadikan TNI rentan dipolitisasi juga menggerus profesionalitas, merusak soliditas internal TNI, dan mengabaikan reformasi TNI.

Kami memandang alih-alih menggunakan pendekatan pragmatis-politis, pergantian Panglima TNI sudah sepatutnya mengedepankan pendekatan substantif di mana pendekatan yang menempatkan proses pergantian Panglima TNI yang menekankan pada kapasitas dan kapabilitas dalam memimpin TNI. Dalam konteks ini, presiden perlu mencermati secara seksama rekam jejak, prestasi, kompetensi dan integritas calon-calon yang ada, termasuk bebas dari dugaan korupsi, pelanggaran hukum dan kasus HAM. Presiden dapat meminta masukan dari berbagai pihak seperti Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPK, akademisi, masyarakat sipil dan lainnya untuk menilai kualitas calon panglima TNI yang ada.

Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan.
(IMPARSIAL, KontraS, YLBHI, Amnesty Internasional, Public Virtue, PBHI, WALHI, ELSAM, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers, ICJR, LBH Pos Malang, Centra Initiative, Setara Institute, ICW)

Jakarta, 4 November 2023
Contact person:

  1. Hussein Ahmad (Imparsial)
  2. Muhamad Isnur (YLBHI)
  3. Teo Reffelsen
  4. Dimas Bagus Arya (Kontras)
  5. Yansen Dinata (Public Virtue Research Institute)
  6. Julius Ibrani (PBHI)

Catatan Koalisi:
Presiden Joko Widodo selalu mengangkat orang orang yang memiliki kedekatan dengan dirinya sebagai Panglima TNI dan Kepala Polri, seperti:

  1. Jenderal TNI Agus Subiyanto pernah menjabat Dandim 0735/Surakarta 2009 semasa Joko Widodo menjadi Walikota Solo.
  2. Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo pernah menjabat Kapolresta Solo Semasa Jokowi menjadi Walikota Solo.
  3. Jenderal TNI (Purn) Andika Perkasa, pernah menjabat Danpaspampres pada 2014-2016 di masa Periode Pertama Joko Widodo menjadi Presiden.
  4. Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto, pernah menjabat sebagai Komandan Pangkalan Udara Adi Soemarmo pada 2010-2011 semasa Joko Widodo menjadi Walikota Solo dan Sekretaris Militer Presiden pada 2015-2016 semasa Joko Widodo Menjabat Presiden di Periode Pertama.