WALHI Menuntut Pemerintah Indonesia Untuk Segera Menghentikan Praktik Liberalisasi Agraria

Siaran Pers
Hari Agraria Nasional 2023

Jakarta, 24 September 2023 - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) memperingati Hari Tani Nasional (HTN) dengan tema "Liberalisasi Agraria, Penindasan Di Pelupuk Mata". Walhi menilai bahwa praktik negara masih jauh dari mandat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang dicetuskan pada tahun 1960.

Apa yang terjadi di Pulau Rempang, yang mempertontonkan penggunaan instrumen kekerasan secara sistematis adalah puncak gunung es. Peristiwa tersebut mewakili timbunan konflik yang tersebar hampir merata di seluruh wilayah republik ini. Walhi menangani 72 konflik yang tersebar di 20 provinsi dan berdampak pada kurang lebih 320 ribu jiwa keluarga petani. Konflik tersebut memperhadapkan secara langsung petani kecil dengan sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan korporasi swasta yang mendapatkan dukungan penuh pemerintah. Dalam banyak kasus pemerintah bahkan mengerahkan aparat bersenjata untuk memuluskan agenda perampasan tanah rakyat, sebagaimana yang terjadi di pulau rempang.

Konflik agraria meningkat secara signifikan terutama di daerah-daerah yang terdapat Proyek Strategis Nasional (PSN). Dengan dalih pertumbuhan ekonomi dan mengatasi krisis iklim, PSN menerabas semua rintangan, baik itu yang terkait dengan mekanisme kebijakan di daerah, hingga klaim rakyat terhadap tanah, adat, hingga kebudayaan dan sistem sosial yang telah tumbuh di sebuah wilayah. Sekalipun berlabel proyek negara, PSN banyak yang dilimpahkan kepada korporasi dan segelintir elit dengan kemudahan pemberian perizinan. PSN menjadi jalan yang memudahkan aktor swasta mendapatkan ruang eksploitasi dan menguasai sumber-sumber agraria yang dikelola rakyat.

HTN tahun ini bertepatan dengan tahun politik, untuk itu Walhi memperingatinya dengan mengajak rakyat merefleksikan “Liberalisasi Agraria, Penindasan Di Pelupuk Mata”. Hal ini tidak terlepas dari semakin masifnya konflik agraria di berbagai daerah. Laporan Walhi terhadap konflik agraria ke Kementerian Agraria Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Kementerian terkait lainnya, masih sangat lambat direspon oleh pihak terkait. Sebaliknya, wilayah-wilayah yang dilaporkan Walhi justru mendapat tekanan tindakan represif dari aparat. Setidaknya lebih dari 12 orang yang dikriminalisasi akibat memperjuangkan sumber agrarianya.

Walhi melihat setidaknya ada 5 pokok permasalah agraria di Indonesia, yaitu Pertama, isu tata kelola sumber daya agraria berkeadilan, cabang produksi pertanian, peternakan, perikanan, perampasan tanah dan alih fungsi. Kedua, isu lingkungan dan krisis iklim. Ketiga, isu hak dan keadilan sosial. Keempat, isu kriminalisasi aktivis, pejuang lingkungan, dan pejuang agraria. Terakhir adalah isu kesejahteraan rakyat petani, peternak, dan nelayan.

Walhi menilai proyek ambisius pemerintahan Jokowi telah menjelma menjadi tiga jenis kekerasan. Pertama adalah kekerasan struktural. Kebijakan PSN merupakan bentuk nyata kekerasan struktural yang dilakukan rezim Jokowi. Kedua adalah kekerasan langsung (fisik) di mana rakyat yang mempertahankan sumber agrarianya dipukul mundur dengan kekuatan represif, seperti kriminalisasi dan kekerasan. Ketiga adalah kekerasan kultural, melakukan pemaksaan proyek yang seolah-olah benar dan memusnahkan keragaman, tradisi dan budaya masyarakat. Proyek food estate salah satunya, yang justru menghilangkan kultur pangan-pangan lokal yang ada.

PSN ini lebih layak disebut Proyek Sesat Nasional. Negara satu sisi mengakui adanya ancaman krisis iklim, di sisi lain justru memperparah krisis iklim dengan mengalihfungsikan ruang produktif menjadi berbagai proyek yang merusak lingkungan. Walhi menyebut ini sebagai solusi palsu. Paradigma pertumbuhan ekonomi ini sudah mencapai taraf bencana. Memperdaya dengan skema stempel blue ekonomi, green ekonomi, ruang angkasa tercakup ruang di atas bumi dan air pun dijadikan komoditas yang dieksploitasi. Stempel “green” secara kasat mata dapat dilihat pada operasi Rempang “Eco” City. Kebengisan opresi negara yang mengabaikan hak-hak rakyat diberbagai wilayah, justru menjadikan proyek semacam ini menjelma menjadi tragedi “Ekosida”.

Program-program yang dicanangkan Jokowi justru memperpanjang daftar konflik agraria dan perebutan sumberdaya alam hingga berbagai pelanggaran HAM. Ketimpangan penguasaan agrarian dan perampasan sumber agrarian atas nama pembangunan dan krisis iklim, dari hulu ke hilir adalah fakta yang terjadi hari ini. Alih-alih memulihkan, “krisis” dijadikan alat dagang bagi para elit untuk menggeruk keuntungan dan melepaskan tanggung jawabnya. Sementara petani, nelayan, peternak semakin terampas hak-haknya dan tertindas, terlebih lagi pada perempuan yang memiliki keragaman identitas politik, pengalaman dan situasinya, namun sering diabaikan oleh negara.

Seharusnya Negara memiliki keseriusan untuk memberikan perlindungan rakyat atas kelola sumber agrarianya, dengan mengerti dan memahami konteks model corak produksi ala Ekonomi Nusantara. Pengalaman empirik rakyat Nusantara yang hidup serasi dengan alam adalah modal dasar yang telah dimiliki bangsa ini untuk memberi kontribusi signifikan dalam menjaga peradaban bumi.

Sehingga, pada momentum Hari Agraria Nasional/HTN tahun ini, Walhi menantang pengambil kebijakan dan para kandidat yang akan berkontestasi untuk memperlihatkan programnya dalam mewujudkan keadilan agraria. Secara konkrit hal itu hanya dapat diukur dengan langkah pertamanya untuk menghentikan seluruh proyek yang memicu konflik agraria dan penghancuran lingkungan di Indonesia.

Narahubung
Ully ArthA Siagian
+62 821-8261-9212