Sekolah Kedaulatan Agraria 2020: Refleksi 60 tahun UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria)

Sekolah Kedaulatan Agraria 2020:
Refleksi 60 tahun UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria)

Jakarta—tepatnya sebulan yang lalu, lima organisasi gerakan di Indonesia menggelar kelas diskusi online yang diberi judul “Sekolah Kedaulatan Agraria”.  Kelima organisasi tersebut yaitu, WALHI, PSA-IPB, Sajogyo Inst, ARC Bandung, dan FNKSDA (Front Nahdiyin Kedaulatan Sumber Daya Alam). Kelas online ini membuka pendaftaran dari tanggal 11–25 Juli 2020. Meskipun waktu pendaftaran terbilang singkat,  partisipasi peserta yang terlibat cukup banyak, yakni 151 orang dari seluruh Indonesia dengan berbagai latar belakang, seperti akademisi, mahasiswa, freelancer, jurnalis, ASN (Aparatur Sipil Negara) dan aktivis yang aktif di dalam organisasi gerakan sosial. Panitia pelaksana juga memberikan prioritas kepada perempuan yang ingin terlibat dalam kelas ini. Dari total 25 peserta yang diseleksi untuk mengikuti kelas ini, 9 orang diantaranya adalah perempuan dan 16 orang lainnya adalah laki-laki.

Kelas online ini digelar dari tanggal 11 – 19 Agustus 2020. Satu pengalaman baru dalam melakukan pendidikan – dimana kita dituntut untuk menyesuaikan dengan situasi pandemi Covid-19 yang tidak memungkinkan untuk melakukan kelas tatap muka. Kelas diawali dengan melakukan techincal meeting dan perkenalan peserta dengan panitia, kemudian, dari panjangnya waktu kelas online ini dibagi ke dalam dua tahapan pertama dari tanggal 11 – 13 Agustus dan tahap kedua setelah libur nasional 15 – 19 Agustus 2020.

Tujuan mendasar dari digelarnya kelas online ini adalah sebagai upaya untuk menjelaskan kembali pertanyaan terkait kedaulatan agraria dan bagaimana gagasan tersebut dimungkinkan untuk diimplementasi di tengah dominasi kapitalisme-neoliberal. Selain itu, SKA 2020 ini juga dimaksudkan untuk dapat memberikan perspektif atau cara pandang “baru” dari kajian agraria bagi gerakan sosial. Capaiannya adalah peserta dapat memehami dan mengerti diskursus agraria yang merentang dari kolonial hingga saat ini (pasca reformasi). Baru dalam pengertian mengerti dengan baik konteks masalah yang beragam sehingga tepat mengambil langkah baik itu advokasi maupun politik. 

Sesi kelas online   
Hari pertama, peserta mengikuti kelas online yang dipantik oleh Prof. Ben White yang memberi pengantar terkait sejarah studi-studi agraria di Indonesia. Pengantar ini juga sekaligus memberi pendalaman singkat terkait konsep-konsep yang digunakan para sarjana agraria di Indonesia. Selain itu, Ben White juga adalah seorang pengajar purna bakti di ISS di Hague, Belanda.  

Dihari kedua, ada Hilma Savitri altivis cum peneliti di Agrarian Recource Center Bandung yang memantik diskusi terkait ekonomi politik dalam kajian agrarian. Kelas ini banyak menyoal konsep atau istilah agrarian yang sering kali dianggap hanya sebagai objek yang berdiri sendiri, atau sebagai sesuatu yang terberi (given). Dengan kata lain hanya terbatas pada tanah, lahan pertanian, dan sumber daya alam saja. Padahal istilah agrarian memiliki cakupan makna luas yang terdiri dari relasi-relasi yang terjalin di atasnya antara orang dengan orang lain,; orang dengan tanah/lingkungannya; dan orang dengan sekelompok orang lainnya, yang dibentuk berdasarkan pranata sosial dan budaya yang berbeda. Pendekatan ekonomi-politk sengaja dipilih dalam sekolah ini karena dianggap tepat sebagai salah satu alat analisa untuk membongkar masalah dalam studi-studi agrarian kritis. Kemudian dihari ketiga, ada  Suraya Afif pengajar Antropologi Fisip UI yang juga pernah aktif menjadi aktivis WALHI. Mba Encur biasa dia disapa memberikan ceramah dan diskusi terkait konflik agraria di Indonesia. Kelas ini secara khusus menggunakan pendekatan ekologi politik dalam menjelaskan dinamika konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Aktor-aktor yang terlibat dijelaskan lebih mendalam sehingga konflik dipahami tidak secara sederhana seperti konflik vertical dan horizontal yang dianggapnya terlalu simplistik dan homogen, tapi dapat dimengerti konteksnya seperti dicontohkan, respon masyarakat terhadap proyek yang masuk tidak selalu seragam, begitupun, posisi “aktor” dalam relasinya dengan aktor lain (oposisi atau aliansi) tidak statis atau dapat berubah dari waktu ke waktu, sehingga langkah-langkah yang diambil dalam advokasi maupun gerakan sosial-politik menjadi tepat. Selain itu,  kelas ini juga menekankan dimensi relasi gender yang sering kali abai dilihat di dalam konflik agaria. Kesemua perangkat konsep tersebut ditelaah dalam rentang sejarah kolonial hingga masa kini dengan rujukan pustaka yang  memberi pengayaan kepada peserta ajar. 

Paruh kedua setelah peserta diliburkan, materi kelas yang diberikan menyoal reforma agraria, gerakan agraria transnasional dan terkahir ditutup dengan sesi kelas yang lebih konseptual yaitu, transisi agraria. Kelas reforma agraria di pantik oleh oleh beberapa aktivis cum peneliti dari Pusat Studi Agraria IPB, disesi pertama oleh Shohibuddin, dan Bayu Eka Yulian yang memberi pemahaman terkait latar belakang, konsep dan perkembamgan reforma agraria saat ini.   Kemudian disesi ke dua oleh Rina Mardiana dan Tri Budianto menjelaskan ragam praktik reforma agraria baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun dari gerakan sosial dipaparkan melalui riset-riset yang kredibel.  Berikutnya adalah materi gerakan agrarian nasional dan transnasional yang di pantik oleh Roy Murthado dan dari Front Nahdiyin Kedaulatan Sumber Daya Alam (FN-KSDA) dan Iqra Anugrah dari Forum Islam Progressif.  

Dari daftar bacaan yang didistribusi ke peserta ajar, kelihatan jika fokus kelas ini  memang diarahkan untuk banyak melihat dari dua ranah yakni konseptual dan praktik-praktiknya baik itu di livel trans-nasional maupun di Indonesia dengan keragamannya. Ekonomi-politik agraria adalah perspektif yang digunakan oleh kedua nara sumber. Paling menarik adalah upaya kelas ini untuk menelaah gerakan sosial yang mengusung tema “reforma agraria.” Paling tidak peserta ajar mengerti tidak sekedar melihat regorma agrarian sejati dan tidak, tetapi melihat lebih dalam orientasi idiologi, tujuan, objek, subjek, siapa pelaksana, dan rentang waktu pelaksanaan reforma agrarian sebagai program pembangunan yang ditujukan untun transformasi sosial-ekonomi.

Kelas paling akhir adalah “transisi agraria” yang di pantik oleh Dianto Bahcriadi, peneliti senior di Agrarian Resource Center (ARC) Bandung. Kelas ini adalah upaya mendiskusikan  program reforma agraria dalam konteks transisi agraria di Indonesia saat ini. Menurut Kang Gepeng sapaan akrabnya bahwa perkembangan kapitalisme global dan industrialisasi di Indonesia sekarang sepertinya juga menyiratkan reforma agraria tidak lagi diperlukan jika tujuannya untuk menciptakan “akumulasi yang diperlukan oleh industri” – sebagaimana teori reforma agraria yang berkembang pada awal dan pertengahan abad ke-20 dengan menjadikan sektor pertanian sebagai alas utama dan pertama dalam rangka membangun industri nasional. Lebih jauh dari itu, tujuan utama kelas ini adalah mengajak peserta Sekolah Kedaulatan Agraria (SKA) 2020 untuk “mengembalikan” wacana tentang reforma agraria (land reform) dalam konteks transsi agrarian dan perlakukan-perlakukan terhadap sektor pertanian dan kaum tani di tengah situasi transisi agrarian, serta membaca kecenderungan-kecenderungan pengaturan ulang penguasaan tanah – baik di pedesaan maupun perkotaan yang sangat gencar dilakukan saat ini.

Kedaulatan agraria di Indonesia?
Disesi penutupan SKA, panitia memberi kesempatan peserta ajar untuk berdiskusi lebih intens dengan Gunawan Wiradi yang telah diagendakan untuk memberikan refleksi terkait kedaulatan agraria dalam konteks pandemi Covid-19 dan menjelang 60 tahun UUPA yang akan jatuh pada 24 September 2020. Diskusi ini diformat dalam bentuk informal sekaligus silahturahmi antara panitia, peserta dan Gunawan Wiradi.

Sesi ini adalah salah satu upaya untuk mempertanyakan apakah “kedaulatan agraria” telah tercapai di Indonesia? Jawabanya tentu saja tidak jika kita gunakan indikator sederhana seperti “petani” yang belum menguasai sarana-sarana prodokusi seperti tanah, bibit, pupuk dll. Belum lagi impor bahan pangan seperti garam, beras dll. Logikanya produksi petani tidak memenuhi konsumsi dalam negeri sehingga impor menjadi keharusan. Kenapa produksi merosot karena lahan-lahan pertanian kita padat tenaga kerja bukan teknologi, apalagi relasi pemilik lahan dan penggarap tidak banyak menguntungkan petani-penggarap. Paling baru adalah RUU (Rancangan Undang-Undang) “Omnibus Law” yang  merupakan bagian dari konsolidasi kekuatan kelas yang berkuasa di Indonesia. Dengan kata lain tidak ada ruang bagi petani untuk berdaulat.

Sebaliknya, kita hanya surplus dalam memproduksi luasan lahan dan bahan baku di industri ekstraktif seperti perkebunan sawit skala besar dan pertambangan (nikel dan batu bara).  Pertanyaan lanjutan yang mesti kita ajukan adalah bagaimana menuju kedaulatan agrarian? Apakah jalan yang kita tempuh sedang menuju ke sana atau kita sedang berada dalam jalur transisi agrarian yang jalurnya sudah bisa kita pastikan menuju masyarakat kapitalis?  apakah dimungkinkan menempuh jalur sosialis Indonesia seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa saat ini? dengan megajukan beberapa pertanyaan-pertanyaa tersebut kita bisa melihat kembali apa yang telah dan akan kita lakukan menuju kedaulatan agraria Indonesia.

Menurut Gunawan Wiradi memegang prinsip-prinsip idiologi yang diyakini menjadi penting untuk mencapai kedaulatan agraria yang dicita-citakan. Prinsip yang menjadi pegangan hidup berkait erat dengan tindakan yang diambil. Manusia adalah anak zamannya tutup Pa Gun sapaan akrabnya.

Lebih jauh dari itu dalam refleksi kali ini Pa Gun menulis satu tulisan yang diberi judul “Renungan Seorang Lansia: Kondisi Poleksosbud Sejak beberapa dasawarsa terkahir”  yang mengulas beberapa pertanyaan penting yang sangat mendasar yaitu, benarkah bahwa kita telah menyimpang dari, atau mengingkari cita-cita Revolusi 1945? Dan jika benar, mengapa hal itu bisa terjadi?

Dugaan Pa Gun pertanyaan diatas disebabkan oleh sejumlah dilemma yang dihadapi bangsa Indonesia dalam perjalanan sejarahnya sesudah Indonesia merdeka, akibat adanya dualisme pandangan mengenai berbagai hal. Pertama, antara demokrasi untuk rakyat versus rakyat untuk demokrasi, antara demokrasi moderen versus demokrasi kuno. Kedua, antara Revolusi sudah selesai versus Revolusi belum selesai.

Sekarang ini yang kita saksikan adalah demokrasi procedural, rakyat digerakkan untuk Pemilu, dan jika perlu semacam “dibeli.” Rakyat untuk demokrasi. Bukan demokrasi untuk rakyat. Yang lebig pelik adalah masalah revolusi. Sekarang ini terasa dominan adalah pandangan bahwa revolusi sudah selesai. Tetapi, dengan berbagai penyimpangan itu, maka revolusi kita menjadi mubazir. Revolusi kita adalah mubazir! Ratusan, bahkan mungkin ribuan, pemuda yang gugur dalam Revolusi kemerdekaan  dulu, yang berserakan dalam makam pahlawan di berbagai kota besar, seolah-olah pengorbanan mereka menjadi tidak ada artinya. Sia-sia! 

Lanjut Pa Gun dalam tulisan renungannya, apakah berarti revolusi belum selesai? Jika begitu, apa yang harus dilakukan dan bagaimana caran menyelesaikannya? Sementara itu, sekarang ini, bicara soal Revolusi saja terasa sudah ditabukan, karena mungkin diasosiasikan dengan kemungkinan menjadi terorisme. Teori-teori tentang revolusi agaknya perlu dipelajari kembali. Sebab, tidak ada Revolusi yang berhasil tanpa revolusi. Benarkah? Demikian berbagai pertanyaan yang masih merisaukan pikiran saya tutup Pa Gun. []

Dokumentasi Kegiatan