Sampah Laut dan Tanggung Jawab Korporasi

Sampah Laut dan Tanggung Jawab Korporasi

oleh Parid Ridwanuddin
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI

"Laut Indonesia terancam oleh masifnya sampah yang dibuang dari daratan dan mencemari laut. Didominasi oleh sampah plastik."

"Sampah Plastik mendominasi jenis sampah yang mencemari laut Indonesia. Penelitian J.R Jambeck dkk (2015) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik terbesar kedua setelah Cina. Persoalan sampah ini perlu segera ditangani."

"Menurut Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, ada 10 juta metrik ton sampah yang masuk ke laut dan 10 persen berdampak pada penyebaran lintas batas. Data juga menunjukkan jumlah kebocoran sampah plastik ke laut 0,27 -0,59 juta ton per tahun. produsen perlu bertanggung jawab terhadap sampah plastik dari produk kemasannya."

****
Selain terancam oleh krisis iklim dan beban pembangunan berwatak eksploitatif, laut Indonesia juga sangat terancam oleh masifnya sampah yang dibuang dari daratan atau pecemaran laut. Menurut Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (2018), sebanyak 80% sampah laut Indonesia saat ini, berasal dari daratan dan 30% diantaranya dikategorikan sebagai sampah plastik. Setiap tahunnya, 1.29 juta ton sampah plastik, yang turut dipengaruhi oleh pasang surut ombak masuk ke perairan Indonesia dan berkontribusi terhadap akumulasi sampah lokal.

Bahkan, menurut catatan Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL), secara global sampah plastik mendominasi komposisi permasalahan pencemaran laut, sekitar 60-80 persen dari jumlah total sampah di laut. Sangat memilukan karena laut telah menjadi tong sampah raksasa.

Dalam jangka panjang, akumulasi pencemaran sampah di laut akan mengancam keanekaragaman hayati di laut, khususnya beragam jenis ikan. Sebagai contoh, tahun 2022 lalu, ditemukan ikan paus yang mati terdampar di Wakatobi, dimana saluran pencernaannya dipenuhi sampah laut mencapai berat 5,9 kilogram. Mayoritas sampah di dalam perut ikan paus tersebut adalah sampah plastik.

Padahal, keberadaan berbagai jenis ikan di laut, khususnya ikan paus, sangat penting karena dapat menyerap karbon dalam jumlah banyak. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Heidi Pearson, Ahli Biologi Kelautan, Universitas Alaska, menjelaskan sekitar 2,5 juta paus pada tahun 2010 lalu mampu menahan 210.000 ton karbon mati (deadfall carbon) per tahun ke lautan dalam. Jumlah tersebut setara dengan menarik sekitar 150.000 mobil dari jalanan setiap tahunnya.

Pada Juni 2022, WALHI bersama sejumlah organisasi lingkungan hidup melakukan kegiatan brand audit di 11 titik pantai yang tersebar di 10 provinsi di Indonesia. Temuannya menjelaskan, kemasan dari Unilever, Indofood dan Mayora Indah menjadi tiga besar penyumbang sampah kemasan plastik sekali pakai. Hasil audit juga menemukan, kemasan plastik yang terbanyak adalah kemasan plastik sekali pakai yaitu saset sebanyak 79,7 persen dari total temuan sampah plastik.

Temuan ini menjelaskan, Unilever, Indofood, dan mayora Indah adalah kontributor utama pencemaran sampah plastik di lautan Indonesia. Seharusnya, temuan brand audit ini dijadikan oleh Pemerintah Indonesia sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan penangan sampah di laut yang selama ini lebih banyak mengubah gaya hidup masyarakat (culturalist) menjadi penegakan hukum lingkungan, dalam arti menuntut tanggungjawab korporasi.

Pemerintah Indonesia sebetulnya telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut yang memuat Rencana Aksi Nasional Penangan Sampah Laut Tahun 2018-2025. Ironisnya, regulasi ini tidak mewajibkan menuntut pertanggungjawaban korporasi sebagai bagian penting dalam rencana aksinya.

Di dalam Rencana Aksi tersebut, memang disebut ada strategi meningkatkan efektivitas pengawasan dan pelaksanaan penegakan hukum. Namun, dalam kegiatannya hanya mencantumkan kegiatan, diantaranya, pemberian reward and punishment kepada Pemda, pengelola, dan masyarakat atas pelanggaran dan SOP pengelolaan sampah di kawasan destinasi pariwisata bahari. Pemerintah Indonesia tidak memiliki keberanian untuk menuntut pertanggungjawaban dengan memberi sanksi tegas korporasi yang terbukti telah mencemari laut Indonesia dengan sampah plastik yang mereka produksi.

Meskipun belum memiliki undang-undang khusus, sampah plastik seharusnya dimasukan ke dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) karena tingkat bahaya yang ditimbulkannya. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengatur sanksi penjara dan denda yang untuk limbah B3. Pasal 103 menyebut sanksi berupa penjara paling lama 3 tahun dan denda sebanyak 3 miliar rupiah.

Laut bukan tong sampah raksasa. Ia harus diselamatkan dari pencemaran sampah plastik yang dimulai dengan merevisi Perpres 83/2018 yang memasukkan pertanggungjawaban korporasi dengan cara memberi sanksi tegas terhadap mereka.(*)

Tulisan telah dimuat di Rubrik Opini Koran Tempo.