Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Jakarta, 6 Oktober 2025. Rencana pelepasan hutan seluas 486.939 hektar hutan menjadi areal peruntukan lain untuk mendukung Percepatan Pembangunan Kawasan Swasembada Pangan, Energi, dan Air Nasional Merauke, Provinsi Papua Selatan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan keselamatan masyarakat adat di Papua Selatan adalah bentuk kekerasan terbuka oleh negara. Hal ini diperparah dengan pernyataan Menteri ATR/BPN yang menyatakan bahwa wilayah hutan yang akan dilepaskan adalah milik negara dan tidak ada yang bermukim di sana.
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh WALHI, seluas 265.208 hektar merupakan hutan alam, yang jika diubah peruntukan menjadi konsesi kebun tebu (untuk etanol), cetak sawah baru, dan untuk perkebunan sawit (B-50) akan melepaskan emisi kurang lebih sebesar 140 juta hingga 299 juta ton CO2. “Jadi bisa dibayangkan jika 2 juta hektar hutan Papua akan diubah menjadi konsesi pangan dan energi, emisi yang dilepaskan akan jauh lebih besar, dan ini berkontradiksi dengan komitmen iklim Indonesia. Indonesia akan mempermalukan dirinya sendiri jika rencana ini tetap dijalankan, kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI.
Pada wilayah hutan yang akan dilepaskan tersebut ada 24 kampung yang merupakan wilayah adat milik masyarakat adat di sana. Kampung-kampung itu antara lain Kampung Bibikem, Kampung Yulili, Kampung Wogekel, Kampung Wanam, Kampung Woboyu, Kampung Dodalim, Kampung Dokib, Kampung Wamal, Kampung Yowid, Kampung Welbuti, Kampung Sanggase, Kampung Alatep, Kampung Alaku, Kampung Dufmira, Kampung Iwol, Kampung Makalin, Kampung Es Wambi, Kampung Maghai Wambi, Kampung Onggari, Kampung Domande Kampung Kaipursei, Kampung Zanegi dan Kampung Kaliki. “Pernyataan Menteri ATR/BPN terkait tidak ada yang bermukim di wilayah tersebut adalah sebuah kesalahan besar, sekaligus menunjukkan sikap tidak hormatnya Menteri ATR BPN pada masyarakat adat Papua”, tambah Uli.
Pelepasan hutan ini juga akan memperparah konflik agraria di Papua Selatan, sebab proyek PSN dan pelepasan kawasan hutan tidak didasarkan pada persetujuan masyarakat adat sebagai pemilik sah wilayah tersebut. “Masyarakat adat yang kampungnya dijadikan sebagai lokasi proyek PSN itu menolak kehadiran PSN. Mereka takut akan terusir dari wilayah adatnya. Proyek pangan skala besar ini justru akan menghancurkan sumber pangan lokal masyarakat adat, padahal mereka menggantungkan hidup pada sagu, hasil hutan dan perikanan yang semuanya itu ada di hutan mereka,” kata Maikel Peuki, Direktur Eksekutif WALHI Papua.
Selain merusak sumber pangan, pelepasan hutan ini juga akan merusak ekosistem hutan Merauke sebagai habitat satwa endemik seperti kasuari, kanguru pohon, dan cenderawasih. “Penghancuran hutan ini sama artinya dengan penghancuran identitas masyarakat adat Papua, ini sebuah kekerasan terbuka yang dilakukan oleh negara. Selain itu, semua hal diputuskan melalui meja hijau di Jakarta. UU Otonomi Khusus Papua yang diterbitkan oleh Presiden RI bisa dimentahkan oleh SK Menteri”, tambah Maikel.
WALHI Papua juga mengingatkan bahwa Papua saat ini sedang menghadapi ancaman deforestasi serius. Tiga puluh tahun terakhir, Papua telah kehilangan tutupan hutan primer ± 688 ribu hektare. Bahkan mengejutkannya lagi, deforestasi 2022-2023 seluas 552 ribu hektar hutan alam Papua terdeforestasi. Papua menyumbang 70% dari total deforestasi nasional. Maka dari itu, menyelamatkan Papua artinya menyelamatkan Indonesia. Menolak PSN Papua untuk pangan dan energi adalah sebuah keharusan pengurus negara.
Kontak:
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) : +62 811 5501 980
WALHI Papua : +62 822 4800 0233