Pengesahan RZWP-3-K Banten: Legalisasi Perampasan Ruang dan Kejahatan Lingkungan, Tanpa Transparansi dan Partisipasi Masyarakat yang akan Terdampak

Siaran Pers AMUK Bahari Banten, Serang, 17/1/2021

PENGESAHAN RZWP-3-K BANTEN: LEGALISASI PERAMPASAN RUANG DAN KEJAHATAN LINGKUNGAN, TANPA TRANSPARANSI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT YANG AKAN TERDAMPAK

Provinsi Banten telah mengesahkan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Perda RZWP-3-K) pada tanggal 7 Januari 2021. Penyusunan dan pengesahan Perda tersebut dilakukan tanpa melibatkan partisipasi dan transparansi kepada masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi Banten. Ini adalah potret memalukan dari proses legislasi di Provinsi Banten.

Secara formil, pembahasan Ranperda RZWP-3-K Provinsi Banten tidak transparan dan tanpa partisipasi aktif masyarakat dalam menyusun kebijakan yang akan mengatur ruang hidup mereka. Hal tersebut penting karena masyarakat lah yang akan terdampak, khususnya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang ada di Banten. Bahkan tak jarang, pembahasan perda ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi hal tersebut bocor dan diketahui oleh publik dan memicu amarah serta aksi publik yang memberi perhatian khusus terhadap isu lingkungan, ruang pesisir, pulau-pulau kecil, kelautan dan perikanan.

AMUK (Aliansi Masyarakat untuk Keadilan) Bahari Banten telah melayangkan kritik terhadap proses penyusunan Ranperda hingga menjadi Perda RZWP-3-K Banten. Kritik tersebut dilayangkan karena proses penyusunannya yang belum sesuai dengan ketentuan peraturan penyusunan perundang-undangan dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Kritik tersebut telah dilakukan dalam berbagai kesempatan sewaktu pihak Pemerintah Provinsi Banten melakukan pembahasan RZWP-3-K Banten. Salah satu kritik yang telah disampaikan adalah pada tanggal 27 Juli 2020. (terlampir).

Hingga sampai saat ini, Pemerintah Daerah Banten bahkan tidak membuka pada publik dokumen Perda RZWP-3-K yang telah disahkan untuk dapat dilihat dan dikritisi oleh publik Banten, khususnya masyarakat yang akan terdampak.

Mengacu terhadap dokumen lama sewaktu masih dalam proses pembahasan Ranperda RZWP-3-K Banten yang disusun pada tahun 2020, disebutkan sejumlah alokasi peruntukan ruang di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Alokasi peruntukan ruang tersebut terdiri dari proyek pariwisata, pelabuhan, pertambangan, industri, energi, konservasi, pipa bawah laut, dan kawasan strategis nasional. Dilihat dari alokasi peruntukan ruang, pemukinan nelayan di Provinsi Banten tak memiliki tempat dalam draft Ranperda lama yang dikeluarkan tahun 2020. Dengan demikian, pada dasarnya Ranperda tersebut tidak berpihak terhadap masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional.

AMUK Bahari Banten mencatat, bahwa jumlah alokasi peruntukan ruang yang terdapat dalam draft Ranperda tersebut dapat dilihat dalam tabel 1.

Tabel 1. Data jumlah Kabupaten, Kota, Kecamatan dan jumlah titik alokasi ruang di dalam dokumen RZWP-3-K Provinsi Banten

 

Peruntukan Ruang

Jumlah

Kabupaten/Kota

Jumlah Kecamatan

Jumlah Alokasi Ruang

Zona Pariwisata

4 kabupaten ; 1 kota

15

10

Zona Pelabuhan

5 kabupaten ; 1 kota

25

25

Zona Pertambangan

3 kabupaten ; 1 kota

3

10

Terdiri dari:

1. Pasir Laut (7)

2. MiGas (3)

Zona Perikanan Budidaya

4 kabupaten ;  1 kota

16

14

Zona Industri

2 kabupaten

3

3

Zona Energi

3 kabupaten

4

5

Zona Konservasi

3

7

15

Zona Strategis Nasional

Tertentu

1

2

3

Zona Permukiman

Nelayan

0

0

0

Sumber: Dokumen Ranperda RZWP-3-K Provinsi Banten (tahun 2020)

Mengacu pada data di tabel 1, substansi Ranperda RZWP-3-K Provinsi Banten menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Banten tidak memberikan dan tidak mengakui alokasi ruang untuk permukiman nelayan. Padahal, Provinsi ini memiliki rumah tangga nelayan tradisional sebanyak 9.235, yang terdiri dari 8.676 keluarga nelayan tangkap dan 559 keluarga nelayan budidaya. Hal ini merupakan bentuk ketidakadilan sekaligus bentuk perampasan ruang yang akan dilegalkan melalui Perda yang telah disahkan.

Selain itu, dengan memperhatikan data jumlah alokasi ruang pada tabel 1, arah pembangunan laut di Provinsi Banten dapat dilihat akan berorientasi pada pembangunan infrastruktur melalui KSN (Kawasan Strategis Nasional) sekaligus pembangunan ekstraktif-eksploitatif melalui proyek pertambangan. Belum lagi alokasi ruang untuk proyek reklamasi yang berada di 54 kawasan pesisir Banten. Proyek-proyek ini dipastikan akan menggusur ruang hidup masyarakat pesisir.

Faktanya, praktik-praktik penggusuran ruang hidup masyarakat pesisir oleh proyek-proyek industri ekstraktif kian marak terjadi di Provinsi Banten. Mulai dari kriminalisasi tiga masyarakat di Pulau Sangiang. Masyarakat yang telah hidup beberapa generasi di pulau tersebut kini terancam kelangsungan keberadaannya akibat konflik ruang dengan PT Pondok Kalimaya Putih (PT PKP); Sama halnya dengan masyarakat pesisir Dadap yang dilaporkan ke polisi karena menolak reklamasi; Nelayan tradisional di Ujung Kulon harus sembunyi-sembunyi melaut karena pelarangan oleh pihak Taman Nasional Ujung Kulon; Nelayan Cikubang, Bojonegara, yang sampai saat ini tidak memiliki ruang bersandar kapal yang layak karena dihimpit oleh  Kawasan industri yang berjajar di sekitar pesisir Desa Agrawana; Belum lagi masyarakat pesisir Bayah yang terganggu karena adanya penambangan pasir laut yang akan merusak biota dan juga mendangkalkan wilayah pesisir laut Bayah.

Setidaknya tercatat ada 24 kasus perampasan ruang hidup nelayan dan perusakan lingkungan pesisir yang terjadi selama 2017-2020, baik itu pencemaran limbah industri, penggusuran, kecelakaan laut, kriminalisasi, yang diyakini akan makin banyak terjadi setelah disahkannya Perda RZWP-3-K Banten. Bahkan evaluasi dari berbagai Perda RZWP-3-K yang telah disahkan di 27 Provinsi lainnya, masih terdapat berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat pesisir, khususnya nelayan kecil dan tradisional.

Oleh karena itu, AMUK Bahari Banten dengan ini menyatakan tegas menolak RZWP-3-K Banten yang baru saja disahkan karena jauh dari semangat perlindungan dan keberlanjutan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; tidak ada pelibatan masyarakat nelayan yang sejatinya adalah pemangku kepentingan utama dalam menentukan nasib kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; alih-alih melindungi kepentingan nelayan, Perda RZWP-3-K ini hanya disusun untuk melayani kepentingan investasi reklamasi, tambang, pariwisata dan industri ekstraktif-eksploitatif lain yang semakin menggerus kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Untuk itu RZWP-3K Banten harus segera dibatalkan serta dilakukan evaluasi menyeluruh atas produk kebijakan yang melegitimasi perampasan dan pengrusakan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Provinsi Banten.

Narahubung:
Mad Haer Effendi, Pena Masyarakat Banten, 085693945652
Tubagus Ahmad, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta, 085693277933
Fikerman Saragih, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), 082365967999
Ki Bagus HK, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), 085781985822