Pengampunan 3,3 Juta Hektar Sawit Dalam Hutan: Tunduknya Pemerintah Terhadap Korporasi

Rilis Media
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Jakarta, 27 Juni 2023. Pengampunan kejahatan kehutanan oleh pengurus negara kepada korporasi-korporasi sawit yang beraktivitas ilegal dalam kawasan hutan adalah bentuk lemahnya pengurus negara dalam melakukan penegakan hukum. Bahkan, deadline 2 November 2023 untuk mekanisme pengampunan kejahatan kehutanan melalui pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Cipta Kerja sangat rentan menjadi ruang transaksional di tahun politik.

23 Juni 2023 lalu, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) sekaligus Ketua Pengarah Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara menyampaikan bahwa pemutihan atau legalisasi seluas 3,3 juta sawit dalam kawasan hutan karena tidak mungkin untuk dicopot sawitnya adalah bentuk tunduknya negara terhadap korporasi dan pembiaran terhadap kejahatan lingkungan yang telah dilakukan korporasi. 

Secara historis, sejak 13 tahun yang lalu, pengurus negara telah memberikan ruang pengampunan untuk korporasi yang melakukan kejahatan kehutanan, melalui PP Nomor 60 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan serta PP Nomor 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan. 

Kedua PP ini memberikan waktu kepada korporasi yang beraktivitas dalam kawasan hutan untuk mengurus kelengkapan administrasi paling lama 6 (enam) bulan untuk PP Nomor 60 Tahun 2012 dan 3 tahun untuk PP 104 Tahun 2015. Korporasi-korporasi yang beraktivitas ilegal dalam kawasan hutan dapat beraktivitas secara legal dengan mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan jika mengurus seluruh administrasi yang ditentukan. 

Alih-alih penegakan hukum yang dilakukan justru pengurus negara memberikan kembali ruang pengampunan kejahatan ribuan entitas hukum yang 90% nya adalah korporasi sawit melalui pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Cipta Kerja.

Berdasarkan analisa data yang dilakukan oleh Walhi, dari korporasi-korporasi yang diidentifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagian besarnya tergabung dalam grup besar sawit di Indonesia. Bahkan, selain beraktivitas ilegal dalam kawasan hutan, sebagian besar korporasi tersebut melakukan pelanggaran lainnya, seperti kebakaran hutan dan lahan serta perampasan tanah yang menyebabkan konflik dengan masyarakat. Salah satu contohnya, PT Bumitama Gunajaya Agro (PT BGA) yang mengajukan keterlanjuran melalui pasal 110 A dan 110 B hingga saat ini berkonflik dengan masyarakat di Kinjil, Kalimantan Tengah, bahkan melakukan kriminalisasi terhadap 3 orang masyarakat.

Selain itu, kerugian perekonomian negara dari praktik kejahatan tersebut seperti banjir, longsor, kekeringan, kebakaran, juga harus ditanggung oleh rakyat dan negara. Jika diakumulasikan semua kerugian negara dan kerugian perekonomian negara ini pasti jauh lebih besar dari denda yang diperoleh negara. 

Kasus Surya Darmadi yang diputus bersalah karena telah melakukan korupsi perizinan dan pencucian uang telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,2 triliun dan kerugian perekonomian negara sebesar Rp 39,7 triliun. Beberapa perusahaan Surya Darmadi yang menjadi objek kasus juga mengajukan pengampunan melalui pasal 110 A dan 110 B undang-undang Cipta Kerja. Kerugian dari kebakaran hutan dan lahan juga sangat besar. Kerugian dari kebakaran hutan 2015 sebesar Rp 220 triliun dan pada 2019 sebesar Rp 75 triliun. 

Artinya, fakta-fakta ini cukup kuat untuk melakukan penegakan hukum terhadap korporasi-korporasi yang sekian lama telah meraup keuntungan dari hasil kejahatan, bukan malah bertindak seperti konsultan korporasi yang tertutup dalam proses 110 A dan 110 B, namun hadir di publik dengan narasi ketidakmungkinan penegakan hukum dari pada pemutihan pelanggaran. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) sekaligus Ketua Pengarah Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara harus menjelaskan siapa sebenarnya yang memaksa pemerintah untuk memutihkan 3,3 juta hektar sawit dalam kawasan hutan ini.

Seharusnya pemerintah membuat regulasi mekanisme tagihan tanggung gugat ke korporasi, sebab dibalik aktivitas illegal selama belasan tahun ini terindikasi adanya korupsi dan pencucian uang. Selain itu, jika pengurus negara tidak berani untuk melakukan penegakan hukum terhadap korporasi-korporasi yang telah melakukan kejahatan kehutanan, maka sudah seharusnya melakukan blacklist terhadap korporasi ini. Tidak lagi diberikan izin dan diberikan perpanjangan izin.

Narahubung:
Uli Arta Siagian (Manager Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional WALHI)