Pencemaran Minyak di Laut Lampung Terus Berulang, WALHI: Pemerintah Harus Usut Tuntas Pelaku Pencemaran

SIARAN PERS BERSAMA

Eksekutif Daerah WALHI Lampung
Eksekutif Daerah WALHI DKI Jakarta
Eksekutif Nasional WALHI

Pencemaran Minyak di Laut Lampung Terus Berulang, WALHI: Pemerintah Harus Usut Tuntas Pelaku Pencemaran

Jakarta, 17 Maret 2022 -- Eksekutif Daerah (ED) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Lampung mendorong Pemerintah Daerah, baik di Kota Bandar Lampung maupun Pemerintah Provinsi Lampung, serta Pemerintah Pusat untuk menuntaskan kasus pencemaran laut yang kembali terjadi di Pesisir Panjang, Kecamatan Panjang, Kota Bandar Lampung yang diperkirakan terjadi sejak tanggal 4 Maret 2022, tetapi informasinya baru diketahui pada 8 Maret 2022.

Dalam hasil tinjauan lapangan WALHI Lampung ditemukan bahwa pencemaran tersebut berada pada titik koordinat 5°28'50.3"S 105°19'09.8"E di RT 09 Kampung Rawa Laut Kecamatan Panjang Kota Bandar Lampung, dilokasi terlihat limbah yang menyerupai oli dan/atau minyak menempel di sepanjang garis pantai, berwarna hitam dan berbau seperti minyak solar. 

Hal tersebut sudah ada sejak 4 Maret 2022 namun baru diketahui pada 8 Maret 2022 yang membuat bibir pantai yang dipadati pemukiman warga terlihat hitam. “Setelah dikonfirmasi kepada masyarakat sekitar pantai limbah tersebut tiba-tiba muncul pada pagi hari di bibir pantai dan tidak ada yang mengetahui sumbernya dari mana, yang diperkirakan dari tengah laut,” ungkap Direktur ED WALHI Lampung, Irfan Tri Musri. 

Dari peristiwa itu masyarakat merasa kebingungan harus mengadu ke lembaga mana. Pada saat yang sama limbah tersebut sangat mengganggu dan merugikan nelayan sekitar yang sudah tidak melaut untuk mencari ikan selama beberapa hari ini. Tak hanya itu, masyarakat resah karena belum diketahuinya limbah tersebut apakah berbahaya atau tidak.

Proses Penyelidikan tak Transparan 
WALHI mendesak Pemerintah dan aparat penegak hukum harus segera melakukan upaya agar pelaku penjahat lingkungan jera, karena kejadian serupa telah terjadi 3 kali ini di laut Lampung dalam kurun waktu berturut sejak tahun 2020, 2021 dan tahun 2022. “Karena tidak transparan proses penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian dan pemerintah, sampai saat ini belum diketahui prosesnya sampai sejauh mana,” ungkap Irfan.

Pemerintah dan aparat penegak hukum dinilai tutup mata karena selama ini kasus serupa tidak jelas penyelesaiannya, seperti apa hukuman yang akan diberikan, apakah sudah memberi efek jera atau belum terhadap pelaku pencemaran. Pada tahun 2021 lalu, pencemaran terjadi di perairan Teluk Lampung, Teluk Semaka dan Pantai Barat Lampung. Pelakunya diduga kuat salah satu perusahaan BUMN. Adapun total material minyak yang berhasil diangkut jumlahnya lebih kurang 18,5 ribu barel sepanjang 2021. Dampak pencemarannya sangat luas sampai ke perairan Banten.

Penanganan kasus yang terjadi pada tahun 2021 tidak pernah diumumkan oleh pemerintah dan terkesan ditutupi termasuk dalam proses pembahasan progress tindak lanjut penanggulangan tumpahan minyak bumi tersebut. Dalam konteks ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkesan eksklusif membahas tindak lanjut penanggulangan tumpahan minyak di Provinsi Lampung yang dilaksanakan pada 8 Februari 2022 di Hotel Wyndham Casablanca Jakarta secara hybrid.

“Dalam kegiatan tersebut KLHK hanya mengundang unsur pemerintah dan Pengelola Tambling Wildlife Nature Conservation, serta pakar Hidrogeologi dan Pakar Lingkungan ITB saja. Perwakilan masyarakat terdampak tidak dilibatkan sama sekali”, jelas Irfan.

Hingga siaran pers ini ditulis, belum ada informasi lebih lanjut mengenai penanganan kasus pencemaran limbah minyak di Pesisir Panjang, Kecamatan Panjang, Kota Bandar Lampung. Dari informasi terakhir yang dihimpun WALHI Lampung, Polda Lampung dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Lampung disebut-sebut telah melakukan penyelidikan mengenai pencemaran pesisir pantai Panjang Bandar Lampung dan sampel air laut yang tercemar telah dibawa untuk uji laboratorium.

Menurut Irfan, uji laboratorium tersebut juga menjadi tanda tanya apakah hanya sebatas menggugurkan kewajiban negara di lokasi pencemaran. Pada tahun 2020 dan 2021 pemerintah melakukan hal yang sama, yaitu menurunkan petugas lapangan untuk memantau kemudian mengambil sampel yang akan dilakukan uji laboratorium. Namun hasil uji laboratoriumnya tidak pernah dipublikasi baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.

Dampak terhadap masyarakat
Masyarakat Kelurahan Panjang Selatan juga sedang menunggu hasil investigasi yang dilakukan oleh KLHK. Pencemaran ini mengakibatkan kerugian sosial, kesehatan, ekonomi dan lingkungan. Sampai saat ini WALHI Lampung masih melakukan investigasi untuk mengumpulkan data-data lapangan terkait dampak pencemaran ini.

Secara umum, masyarakat yang bermukim di kawasan Pesisir Panjang Selatan tidak memperoleh hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Sanksi terhadap Pelaku Pencemaran
Mendesak pelaku pencemaran perairan Lampung diberikan sanksi tegas berdasarkan sejumlah UU sebagai berikut:

Pertama, UU No. 27 Tahun 2007 jo UU 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 35 poin j menyebutkan larangan untuk melakukan penambangan minyak dan gas pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.

Selanjutnya, pasal 75 ayat 1 poin e menyebut, pelaku dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap Orang yang dengan sengaja melakukan penambangan minyak dan gas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf j.

Kedua, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 98 ayat 1 menyebut, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 98 ayat 2 menyebut, Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Lalu, Pasal 103 menyebut, Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Selanjutnya, Pasal 104 menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Atas dasar itu, WALHI mendesak supaya pemerintah segera menuntaskan kasus pencemaran yang terjadi di Pesisir Lampung sejak tiga tahun terakhir. Penting untuk segera mengungkap siapa pelaku sekaligus memberikan sanksi administratif dan atau sanksi pidana sebagai sarana menegakan hukum agar kejadian seperti ini tidak terus terulang di kemudian hari. Selain itu, semua proses serta temuan juga harus disampaikan kepada publik. (*)

 

Informasi selanjutnya

Irfan Tri Musri, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Lampung, 0821-7540-0203
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional WALHI, 0812-3745-4623