Paska pembatalan oleh Mahkamah Agung, Pemerintah Tetap Dorong Teknologi Termal untuk Pengolahan Sampah. Ada apa?

Jakarta (24/05). Pasca dibatalkannya Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2016 (Perpres No.18/2016) tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah oleh Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 2 November 2016 lalu, Pemerintah Indonesia menyiapkan rancangan peraturan pengganti sebagai revisi atas Perpres No.18/2016. Namun demikian, rancangan peraturan tersebut masih mengutamakan pengolahan sampah dengan menggunakan teknologi thermal yang tidak sesuai untuk jenis sampah Indonesia. Padahal, hal ini yang mendasari Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) dalam permohonan uji materiil kepada MA tahun lalu, yang kemudian dikabulkan oleh MA. “Draft Peraturan Presiden ini merujuk kepada teknologi termal sebagai teknologi “ramah lingkungan” dan satu-satunya teknologi, tanpa mempertimbangkan akar permasalahan dan karakteristik sampah Indonesia,”  imbuh Dwi Sawung, Pengkampanye Perkotaan dan Energi,  Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). “Selain ketidakjelasan definisi, di dalam draft Perpres ini, Feasibility Study (FS), sebagaimana tercantum pada pasal 5,  justru dilakukan sebagai pembenaran untuk memperkuat penerapan teknologi termal sebagai solusi, bukan sebagai proses teknokratis untuk memahami permasalahan dan mengajukan solusi teknologi yang paling tepat. Ini adalah cara berpikir yang jelas terbalik di mana kesimpulan sudah diambil sebelum kajian dilakukan.”

Terminologi ‘ramah lingkungan’ yang digunakan dalam peraturan ini masih dipertanyakan, karena bergantung terhadap banyak faktor. Salah satunya, penggunaan terminologi ini harus melalui proses kajian dan validasi teknologi, termasuk baku mutu lingkungan dan parameter-parameter penting yang harus dipantau. Kadar emisi, fly ash dan bottom ash, pemantauan dioxin/furan, manajemen/operasional teknologi tersebut, rekam jejak implementasi teknologi yang diusulkan di negara yang mirip kondisinya dengan Indonesia, dan aspek pembiayaan serta indikator lainnya perlu dikaji lebih serius. Penjelasan tentang kriteria sampah membuka ruang untuk teknologi non-termal seperti biodigester dan inisiatif Zero Waste serta upaya minimisasi dan pengelolaan sampah di tingkat lokal dengan peran serta masyarakat yang tinggi, yang sudah terbangun beberapa dekade terakhir di berbagai kota di Indonesia. “Hal ini akan lebih menunjukkan penghargaan dan itikad baik pemerintah terhadap upaya-upaya pengelolaan sampah di tingkat masyarakat dan sesuai dengan rencana serta kemampuan pembiayaan pemerintah daerah,” ujar Yuyun Ismawati, penerima penghargaan Goldman Environmental Prize tahun 2009. “Dengan meningkatkan kualitas dan dukungan terhadap inisiatif tersebut, akan menjamin peningkatan kesehatan lingkungan, partisipasi masyarakat, lebih berkelanjutan dan bebas racun.” Seperti yang diajukan dalam argumen uji materiil Perpres No. 18/2016 kepada MA, para pengaju menyatakan keberatan dan kekhawatiran atas solusi prematur penggunaan teknologi pembakaran sampah. Tanpa peta jalan, environmental safeguards, panduan penempatan, AMDAL, baku mutu lingkungan yang serius, serta kajian cost and benefit  yang memadai, penggunaan teknologi termal hanya akan menjadi proyek monumen kota. “Draft Peraturan Presiden ini bertentangan dengan arah kebijakan dalam UU No. 18 tahun 2008. Arah kebijakan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 adalah penyelesaian persoalan sampah dilakukan secara terdesentralisasi, sedekat mungkin dengan sumber sampah. Sedangkan dalam  draft perpres ini, didorong solusi dengan paradigma end-of-pipe dan teknologi yang tersentralisasi,” tegas David Sutasurya, Direktur YPBB Bandung. *****

Tentang Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) AZWI diinisiasi oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia, yaitu BaliFokus Foundation, Wahana Lingkungan Hidup - Eksekutif Nasional, Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik, Yayasan Pengambangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB), Greenpeace Indonesia, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (Kruha), dan Ecoton. AZWI mengampanyekan pentingnya solusi zero waste dalam menangani permasalahan sampah di Indonesia dan menolak teknologi termal untuk mengelola sampah. AZWI telah mengajukan permohonan uji materil terhadap Perpres 18/2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah dan kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Agung pada November 2016 lalu. Website: https://www.noburn.info/ Contact Person

Lampiran 1. Tanggapan Masyarakat Sipil Terhadap Draft Peraturan Presiden tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis “Teknologi Ramah Lingkungan” TANGGAPAN UMUM Secara umum, kami melihat bahwa :

  1. Peraturan Presiden ini bertentangan dengan arah kebijakan dalam UU No. 18 tahun 2008. Arah kebijakan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 adalah dengan pengurangan timbulan sampah sejak awal terproduksi (timbulan); penanganan sampah secara berwawasan lingkungan dan secara terdesentralisasi. Sedangkan dalam  draft Perpres ini, didorong solusi teknologi yang tersentralisasi yang  berparadigma end-of-pipe.
  2. Dalam hal sampah sebagai sumberdaya, arah kebijakan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 juga menekankan pada konservasi material, sedangkan dalam draft Perpres ini menekankan pada pemusnahan material.
  3. Tidak ada hubungan yang jelas antara permasalahan sampah yang menumpuk dengan solusi yang ditawarkan. Lebih rinci akan dijelaskan di bagian Penjelasan Tanggapan.
  4. Peraturan Presiden ini merujuk kepada teknologi termal sebagai teknologi “ramah lingkungan” dan satu-satunya teknologi, tanpa mempertimbangkan akar permasalahan dan karakteristik sampah Indonesia. Selain ketidakjelasan definisi, di dalam draft Perpres ini, Feasibility Study (FS), sebagaimana tercantum pada pasal 5, justru dilakukan sebagai pembenaran untuk memperkuat penerapan teknologi termal sebagai solusi, bukan sebagai proses teknokratis untuk memahami permasalahan dan mengajukan solusi teknologi yang paling tepat. Ini adalah cara berpikir yang jelas terbalik di mana kesimpulan sudah diambil sebelum kajian dilakukan.
  5. Kami konsisten dengan pernyataan kami dalam menanggapi Presiden pada Climate Conference (Desember 2015 lalu). Kami berpendapat bahwa teknologi termal bukan merupakan metode produksi energi yang berkelanjutan, diantaranya karena akan meningkatkan tingkat emisi gas rumah kaca nasional di atas proyeksi BAU saat ini. Selain itu tidak ada dasar hukum yang dapat diacu, baik dari UU 18/2008 maupun UU No, 30/2007, yang menyatakan bahwa pembakaran sampah adalah metode pembangkitan energi yang berkelanjutan atau ramah lingkungan.
  6. Sebagian besar struktur dan konten dari draft perpres yang baru ini sama dengan Perpres No. 18 tahun 2016 yang telah dibatalkan Mahkamah Agung tgl. 2 November 2016.
  7. Mengingat hal-hal fundamental di atas, pasal-pasal lain yang sifatnya lebih teknis tidak bisa kami tanggapi.

HIMBAUAN: Berdasarkan hal-hal di atas, kami menghimbau agar :

  1. Membaca dan mempelajari kembali dengan seksama dasar dan latar belakang Keputusan MA dengan Nomor Perkara 27 P/HUM/2016 tanggal 2 November 2016 yang membatalkan Perpres No.18 tahun 2016 tentang Percepatan pembangunan instalasi PLTSa di 7 kota;
  2. Pemerintah segera menghentikan pembahasan draft Peraturan Presiden pengganti Perpres No.18 tahun 2016 ini karena:
    1. Mengulang kesalahan yang sudah dilakukan dalam Perpres No.18 tahun 2016 yang telah dibatalkan oleh MA;
    2. Secara mendasar draft Perpres yang baru masih bertentangan dengan arah kebijakan dan amanat Undang-undang No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan dengan paradigma desentralisasi dan pendekatan pada hulu permasalahan;
    3. Besarnya potensi dampak lingkungan, sosial, dan beban terhadap anggaran pemerintah daerah maupun pemerintah provinsi dan pusat, yang akan terjadi dengan penerapan Peraturan Presiden ini;
    4. Pilihan teknologi yang disarankan dalam draft Perpres mengindikasikan adanya bias untuk mengakomodasi kepentingan bisnis atau kelompok tertentu.
  3. Pemerintah harus kembali memfokuskan upaya dan koordinasi lintas kementerian/lembaga dan antar pemerintah daerah untuk mempercepat implementasi amanat dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 terutama terkait pengurangan sampah di hulu dan ketentuan tanggung jawab/kewajiban produsen dalam pengurangan dan penanganan sampah. Termasuk di dalamnya adalah membuat Peraturan Presiden untuk percepatan penerapan amanat Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 dan peraturan perundangan turunannya.
  4. Pemerintah dapat mengeluarkan peraturan yang seharusnya bersifat makro dan membuka ruang untuk daerah, berinovasi sesuai dengan kondisi dan prioritas masing-masing untuk menyelesaikan persoalan sampah di daerahnya dengan dukungan dan insentif pemerintah pusat. Perlu diketahui bahwa kelambatan dan ketidakefektifan pengelolaan sampah di daerah lebih terjadi karena kelambatan dan berbagai kesalahan pemerintah pusat dalam menerjemahkan UU No. 18/2008 ke dalam kerangka kebijakan makro yang tepat dan efektif.
  5. Menyusun peta jalan pengelolaan sampah Indonesia yang mencakup semua jenis sampah dan terkoordinasi dengan semua kementerian/lembaga yang terkait.
  6. Memperkuat dan mendorong kajian kelayakan teknis dari berbagai opsi teknologi yang dapat digunakan untuk mengolah sampah yang sesuai dengan karakter sampah Indonesia yang selaras dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
  7. Mengaktifkan Komisi Validasi Teknologi yang terdiri dari berbagai ahli sebagai salah satu tahap untuk menyaring masuknya dan berjamurnya penawaran-penawaran teknologi pengolah sampah, yang belum tentu sesuai dengan karakteristik Indonesia, untuk pengelolaan sampah di Indonesia.
  8. Presiden dan Para Menteri Koordinator agar menjalankan kewenangannya dalam mewujudkan koordinasi antar instansi yang kuat dan progresif untuk mempercepat implementasi UU No. 18/2008. Lemahnya koordinasi antar instansi adalah salah satu hambatan besar bagi kelambatan implementasi UU No. 18/2008,. Oleh karena itu kami melihat bahwa arahan koordinasi antar instansi dan antar daerah, sebagaimana tercantum pada Bab VII, seharusnya sudah sejak dulu diterapkan untuk mempercepat implementasi UU Pengelolaan Sampah No. 18/2008. Kami yakin bila koordinasi antar instansi sudah berjalan dengan kuat sejak awal penerapan UU No. 18/2008, kondisi yang oleh sebagian kalangan disebut ‘darurat sampah’ tidak akan terjadi.
  9. Perlu ada penguatan signifikan di bidang pengelolaan sampah di kementerian-kementerian yang relevan, agar amanat utama UU Pengelolaan Sampah No. 18 tahun 2008 dapat direalisasikan dengan akuntabel dan dengan mengutamakan kepentingan publik, keberlanjutan dan kesehatan lingkungan serta bebas kepentingan pihak ketiga. Solusi pengelolaan sampah perlu disesuaikan dengan karakteristik sampah yang ada dan tidak mendorong jenis teknologi tertentu yang belum teruji kesesuaian dan kehandalannya.
  10. Kondisi ‘darurat sampah’ dapat diatasi melalui Kebijakan pengelolaan sampah regional, meliputi pemrosesan akhir yang berwawasan lingkungan. Tidak lah realistis bila daerah perkotaan dibebani untuk memiliki TPA sendiri dengan pembiayaan APBD. Pemerintah nasional melalui pemerintah Propinsi perlu meningkatkan kinerjanya dalam memfasilitasi kerjasama antar daerah dalam mewujudkan pengelolaan sampah regional yang efektif.

PENJELASAN TANGGAPAN: BAGIAN MENIMBANG “...bahwa dalam rangka meningkatkan ketangguhan kota dalam menjaga kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan, dan mejadikan sampah sebagai sumber daya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 Undang-undang nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, serta untuk mengurangi volume sampah secara signifikan demi keindahan kota, dipandang perlu mempercepat pembangunan instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan pada beberapa kota” Kami berpendapat bahwa pada bagian menimbang belum secara kuat menjelaskan bagaimana Peraturan Presiden ini menjadi sebuah langkah kebijakan yang strategis dalam menjalankan kewajiban pemerintah untuk mengimplementasikan UU No. 18/2008, yang seharusnya menjadi dasar filosofis dan legal yang fundamental  dari sebuah produk hukum teknis pemerintah. Poin-poinnya dapat kami jelaskan sebagai berikut:

  1. Tidak terlihat hubungan yang kuat antara mengolah sampah menjadi energi listrik dengan menjaga kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan.
  2. Terkait menjadikan sampah sebagai sumberdaya, semangat UU 18/2008 terkait mengubah sampah menjadi sumberdaya seharusnya memprioritaskan aspek konservasi material daripada memusnahkan material untuk mengekstraksi energi yang terkandung di dalamnya. Tidak terlihat dengan jelas mengapa, dalam merespon kondisi yang disebut dengan ‘darurat sampah’, mengolah sampah menjadi energi perlu mendapatkan prioritas nasional dibandingkan pengurangan sampah di sumber, daur ulang maupun pengkomposan sampah organik (yang merupakan 60% dari timbulan sampah kota umumnya).
  3. Pasal 29 Undang-undang Pengelolaan Sampah No. 18 tahun 2008 menyatakan pelarangan membakar sampah yang tidak layak teknis. Membakar sampah yang tidak layak bakar, sampah campuran yang mengandung chlorine dan atau PVC dengan temperatur yang tidak ajeg, dalam skala kecil maupun besar, berpotensi melepas dioxin/furan. Hal ini sejalan dengan Undang-undang No. 19 tahun 2009 tentang Pengesahan Implementasi Konvensi Stockholm. Konvensi Stockholm dan Rencana Implementasi Nasional Indonesia menyatakan akan mendorong upaya-upaya pencegahan timbulnya UPOPs (Unintended Persistent Organic Polutants), dalam hal ini dioxin dan furan (PCDD/PCDF) terutama dari sektor sampah.
  4. Apakah yang dimaksud dengan mengurangi volume sampah dalam draft Perpres baru ini adalah proses pemusnahan material? Bila demikian pemikirannya, maka hal ini merupakan bagian dari paradigma end-of-pipe, yang bertolak belakang dengan konsep pengurangan sampah dari hulu seperti yang tertuang dalam UU No. 18/2008.
  5. Pada tingkat yang lebih teknis kami juga mempertanyakan hubungan logis antara pengurangan volume sampah dengan keindahan kota, karena persoalan keindahan kota lebih terkait dengan masalah littering, yang merupakan sektor permasalahan yang berbeda dan perlu dipecahkan dengan konstruksi kebijakan yang berbeda. Sebagai contoh, kota-kota dengan timbulan sampah yang besar bisa bersih dan indah, sehingga hal ini menunjukkan bahwa tingginya timbulan sampah belum tentu berkorelasi positif dengan persoalan littering.

 Perundangan lain yang berhubungan dengan teknologi pengolahan sampah, diantaranya yang perlu ditambahkan antara lain:

  • Undang-Undang No. 19 Tahun 2009 tentang Pengesahan Konvensi Stockholm tentang Pencemar Organik yang Persisten. Dalam undang-undang ini secara spesifik disebutkan mengenai teknologi atau proses thermal, diantaranya insinerator sampah, tungku semen (cement kilns) dan penggunaan bahan bakar fosil.
  • Konvensi Minamata tentang Merkuri yang telah diratifikasi oleh 52 negara pada tanggal 18 Mei 2017 dan akan diberlakukan (entry into force) pada 20 Agustus 2017 dapat dimasukkan sebagai pertimbangan. KLHK sebagai focal point dari Indonesia dan partisipan aktif dalam proses negosiasi, sedang dalam proses untuk meratifikasi Konvensi Minamata. Mengingat di dalam dokumen teks dan lampiran dari Konvensi Minamata disinggung mengenai teknologi termal insinerator sampah, tungku semen (cement kiln), dan pembangkit listrik tenaga batu bara sebagai sumber emisi merkuri. Pengolahan sampah dengan teknologi termal berpotensi meningkatkan emisi dan lepasan merkuri ke lingkungan terutama bila pengoperasiannya tidak memenuhi kelayakan teknis.

BAGIAN MENGINGAT Pada poin 3 dalam Bagian “Mengingat”, dikutip Undang-Undang No. 30 tahun 2007 tentang Energi. Pada Pasal 1 ayat 4 UU No. 30/2007 dinyatakan bahwa: “Sumber energi baru adalah sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas metana, batubara (coal bed methane), batubara tercairkan (liquified coal), dan batubara tergaskan (gasified coal).  Sumber energi baru dari sampah tidak dinyatakan secara eksplisit dalam UU No. 30/2007 tetapi gas metana sebagian besar berasal dari kegiatan pengolahan sampah organik (baik sampah kota, sampah rumah tangga maupun limbah dari sektor pertanian). Selanjutnya, Pasal 1 ayat 6 dari UU No.30/2007 menyatakan bahwa: “Sumber energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan, laut.” Dengan demikian definisi bahwa sampah adalah sumber energi yang ramah lingkungan tidak ada dasar hukumnya baik dalam UU No. 18/2008 maupun UU Energi No. 30/2007. Dalam  UU Energi No. 30/2007 dinyatakan bahwa yang tergolong sumber energi terbarukan adalah antara lain dari "gas metana" dan "bioenergi". Kami juga melihat bahwa dimasukannya RDF dan PLTSa dalam dokumen First Nationally Determined Contribution (FNDC) terbaru sebagai salah satu langkah mitigasi perubahan iklim merupakan kesalahan konseptual. Kita perlu kembali mengacu pada langkah mitigasi perubahan iklim dari sektor sampah dan limbah yang telah digariskan pada dokumen rencana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang telah dihasilkan BAPPENAS pada tahun 2011. Sampah perkotaan mengandung karbon yang akan terlepas bila dibakar. Pembakaran sampah dengan teknologi thermal seperti insinerator untuk menghasilkan energi akan melepaskan karbon dioksida (CO2). Selain CO2 gas rumah kaca lainnya, yaitu , karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (N2O), NOx, amonia (NH3), dan karbon organik juga dilepaskan dari pembakaran sampah perkotaan. Sementara itu, di dalam First Nationally Determined Contribution (FNDC) Indonesia, CO2 dan N2O termasuk dalam cakupan gas rumah kaca yang akan diturunkan. Membakar sampah untuk energi akan menjadi kontraproduktif terhadap komitmen penurunan emisi gas rumah kaca, apalagi jika batu bara dilibatkan dalam proses pembakaran tersebut. Penjelasan Tanggapan PASAL 1

  1. “Sampah adalah sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga” di Indonesia mayoritas (67%) adalah sampah organik dan basah dengan nilai kalor rendah, rata-rata sekitar 1.5-2.5 KJ/kcal. Dengan nilai kalor yang rendah, sampah rumah tangga dan sejenis sampah rumah tangga tidak layak dibakar. Hal ini yang harus dijadikan sebagai pedoman dasar untuk mencari solusi teknologi pengolahan sampah rumah tangga di Indonesia.
  2. Cakupan teknologi. Ketentuan ini masih mengunci instalasi pengolahan sampah menjadi energi listrik dengan teknologi termal (gasifikasi, insinerasi, dan/atau pirolisis), sehingga dampak peraturan presiden ini tidak mendukung berbagai kemungkinan inovasi teknologi dan menekankan kepentingan sektor bisnis tertentu. Dasar penggunaan teknologi termal adalah nilai kalor sampah rata-rata di atas 7KJ/kcal per tahun (Panduan World Bank, 1998).
  3. Terminologi ramah lingkungan. Sesuai dengan judul dokumen ini, kami berpendapat bahwa definisi terminologi ‘ramah lingkungan’ perlu dikaji ulang dan harus konsisten dengan substansi dari UU No. 18/2008.
  4. Mengingat nilai kalor sampah Indonesia yang rendah dan didominasi oleh sampah organik, dapat dipastikan proses pembakarannya, terutama dengan teknologi insinerator dan gasifikasi, akan membutuhkan tambahan bahan bakar berupa batubara dan kemungkinan besar berupa batubara kualitas rendah atau low-grade coal. Selain meningkatkan emisi karbon, skenario pembakaran batubara untuk mempercepat pembakaran sampah akan menciptakan malapetaka baru yang beresiko tinggi terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.

  Definisi “ramah lingkungan” perlu mengacu dan memperkuat definisi tanpa mengurangi makna dari pengertian yang sudah ada dalam UU No. 18/2008 sebagaimana dikutip di bawah ini:

  1. Bagian penjelasan pasal 3 (UU No. 18/2008):

Yang dimaksud dengan asas “berkelanjutan” adalah bahwa pengelolaan sampah dilakukan dengan menggunakan metode dan teknik yang ramah lingkungan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan, baik pada generasi masa kini maupun pada generasi yang akan datang.  

  1. Bagian penjelasan pasal 20 (UU No. 18/2008):

Teknologi ramah lingkungan merupakan teknologi yang dapat mengurangi timbulan sampah  sejak awal proses produksi.    Karena tidak adanya penjelasan lebih lanjut yang dapat diacu dari peraturan lain mengenai persampahan (PP No. 81/2012; PermenDagri No. 33/2010; PermenPU No. 3/2013; PermenLHK No. 59/2016; PermenLHK No. 70/2016) selain UU No. 18/2008 tentang definisi dari teknologi ramah lingkungan, maka berdasarkan UU No. 18/2008 pengertian ramah lingkungan dapat digabungkan sebagai berikut:

  • tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan, baik pada generasi masa kini maupun pada generasi yang akan datang;
  • dapat mengurangi timbulan sampah sejak awal proses produksi.

  Kedua hal di atas perlu dikembangkan sebagai dasar pengembangan kriteria teknologi ramah lingkungan berdasarkan kajian akademis yang valid, dengan saran awal sebagai berikut:

  • Potensi dampak terhadap lingkungan: yang berdasarkan perkembangan terbaru setidaknya perlu memperhatikan:
    • Penggunaan sumber daya alam yang digunakan dalam operasional berjalannya teknologi;
    • Neraca penggunaan dan produksi energi dalam implementasi teknologi;
    • Perbandingan potensi timbulnya emisi karbon beserta jejak karbon dari semua pilihan teknologi untuk mengelola sampah.
  • Potensi dampak terhadap kesehatan masyarakat: dalam hal ini terutama perlu diperhatikan potensi emisi yang akan dihasilkan. Walaupun baku mutu beberapa parameter lingkungan sudah diatur dalam Peraturan Menteri LHK No. 70 Tahun 2016, terdapat peraturan terkait lainnya yang perlu dipertimbangkan seperti:
    • Undang-Undang No. 19 Tahun 2009 tentang Pengesahan Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten, yaitu harus mempertimbangkan pedoman untuk pencegahan dan tindakan pengurangan potensi emisi dioksin dan furan yang terbentuk tidak sengaja dari proses thermal, termasuk insinerasi limbah kota dan tungku semen (cement kiln). Lebih lanjut dapat dilihat pada Lampiran C UU No. 19/2009, yang merupakan terjemahan dari dokumen Stockholm Convention Text and Annexes - Annex C.
    • Indonesia, dengan focal point dari KLHK, saat ini dalam upaya untuk meratifikasi Konvensi Minamata tentang Merkuri. Dalam konvensi tersebut, upaya yang sama juga harus dilakukan terhadap fasilitas insinerator sampah, tungku semen (cement kiln), dan PLTU batubara. Lebih lanjut dapat dilihat pada Minamata Convention Text and Annexes - Annex D.
  • Seberapa besar peran teknologi tersebut untuk mengurangi timbulan sampah dari sumber, sesuai dengan definisi pada UU No. 18/2008;
  • Seberapa besar peran teknologi tersebut untuk mengurangi timbulan sampah dalam manajemen pengelolaan sampah secara umum. Pengurangan timbulan sampah secara umum juga menjamin pengelolaan abu terbang (fly ash) dan bottom ash (jika menggunakan teknologi termal) serta kompos dan gas metana (jika menggunakan teknologi non-thermal) sebagai produk akhir dari teknologi tersebut di samping listrik;
  • Sebagai tambahan, perlu juga dikaji rekam jejak implementasi teknologi tersebut di lokasi lain dengan konteks persampahan yang mirip dengan lokasi yang akan diimplementasikan selama periode relevan tertentu (misal: kinerja operasional dan pemeliharaannya paling tidak selama 5 tahun). Jika teknologi tersebut belum pernah ada di Indonesia dapat dikaji dari implementasi di negara lain dengan karakteristik yang mirip dengan Indonesia.

Kriteria ‘ramah lingkungan’ ini dapat dikembangkan lebih lanjut selama tetap selaras dengan yang telah dinyatakan dalam UU No. 18/2008. Berdasarkan kriteria ini kemudian dapat dilakukan kajian pilihan teknologi mana yang paling memenuhi kriteria ramah lingkungan. Penjelasan Tanggapan PASAL 5 Kegiatan Pra-FS yang dinyatakan dalam Pasal 5 seharusnya didasari oleh masterplan kota/kabupaten yang objektif dan solid. Beberapa kota besar dan sedang di Indonesia telah menyusun Buku Putih Rencana Strategi Pengelolaan Sanitasi Lingkungan Perkotaan dan beberapa kota besar sedang atau telah menyusun masterplan pengelolaan sampah kota masing-masing. Penyusunan Pra-Studi Kelayakan (Feasibility Study) harusnya bebas bias teknologi tertentu dan didasari oleh perencanaan yang sesuai dengan analisis kondisi serta visi kota/kabupaten sesuai UU No. 18/2008. Hal ini tentunya harus sesuai pula dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan karena dokumen setingkat masterplan harus melalui tahapan Kajian Lingkungan Hidup Strategis atau KLHS. Selain itu, proses penyusunan master plan juga harus dikonsultasikan dan mendapat persetujuan dari para pemangku kepentingan. Berdasarkan masterplan pengelolaan sampah maka kemudian dapat dilakukan proses analisis kebutuhan teknologi yang lebih valid, dengan persetujuan para pihak. Selain itu, kriteria penempatan atau lokasi instalasi pengolahan sampah dengan teknologi termal akan berbeda dengan kriteria lokasi TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah dengan teknologi Sanitary Landfill. Hal ini disebabkan oleh karakter emisi dan lepasan dari fasilitas PLTSa yang lebih kritis dan lebih berbahaya dibandingkan dengan emisi dan lepasan dari TPA. PENUTUP Berdasarkan poin-poin di atas, kami memandang tidak perlu memberikan tanggapan dan masukan yang lebih detil terhadap pasal-pasal lainnya dalam draft Perpres karena dasar pemikiran draft Perpres pengganti Perpres No.18 tahun 2016  yang telah dibatalkan MA ini hanya merupakan pengulangan konsep pemikiran pengelolaan sampah yang salah dan bertendensi memihak proponen teknologi tertentu. Selain itu kami tidak melihat aspek “percepatan” atau mekanisme fastrack dalam draft Perpres yang baru ini karena semua kegiatan dilakukan mengacu pada prosedur perundangan yang ada. Demikian kami sampaikan tanggapan kami. Terimakasih atas undangan dan kesempatan yang diberikan. Semoga kementerian yang berwenang dapat menerima tanggapan ini dengan pikiran terbuka, bebas dari kepentingan individu atau korporasi, serta benar-benar berorientasi pada solusi yang berkelanjutan, mendahulukan perlindungan kesehatan masyarakat dan lingkungan. Salam Zero Waste,

Yuyun Ismawati BaliFokus, Senior Advisor Dwi Sawung WALHI Eksekutif Nasional, Campaigner
David Sutasurya YPBB, Direktur Rahyang Nusantara Gerakan Diet Kantong Plastik, Koordinator Nasional, Koordinator Nasional
Puput TD Putra WALHI EkDa Jakarta, Direktur Margaretha Quina ICEL, Ketua Divisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan
Dwi Retnastuti WALHI EkDa Jabar, Wakil Deputy Daru Rini ECOTON, Manager Penelitian dan Pengembangan Program
Titik Eksanti Yayasan Gita Pertiwi, Direktur Aroel Saba Alam Indonesia Hijau, Direktur Eksekutif
Anita S. Arif BaliFokus Foundation, Toxic Program Associate Hermawan Some Komunitas Nol Sampah Surabaya
Ahmad Ashov Birry Greenpeace Southeast Asia - Indonesia Office, Greenpeace Campaigner Arifsyah Nasution Greenpeace Southeast Asia - Indonesia Office, Greenpeace Campaigner
Yuyun Indradi Greenpeace Southeast Asia - Indonesia Office, Greenpeace Campaigner Krishna Zaki Toxic Program Manager
Mochamad Adi Septiono Toxic Program Officer Sonia Buftheim Toxic Program Officer
Asroel Hossain Green Indonesia Foundation, Direktur Eksekutif  

Lampiran 2. Pokok-pokok pengajuan uji materiil Perpres No. 18/2016

  1. Bagian terkait “percepatan” dalam Perpres 18/2016 bertentangan dengan kerangka hukum pencegahan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
  2. Pembatasan PLTSa dengan teknologi termal dalam Perpres 18/2016 bertentangan dengan sistem pengelolaan sampah dan tujuan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
  3. Keberadaan Perpres 18/2016 menimbulkan ancaman serius yang tidak dapat dipulihkan terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia sehingga bertentangan dengan UU Kesehatan, UU Pengesahan Konvensi Stockholm tentang Bahan Organik yang Persisten dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
  4. Bagian terkait “percepatan” dalam Perpres 18/2016 merupakan penyalahgunaan kewenangan Presiden dan para Kepala Daerah yang berpotensi merugikan keuangan negara.
  5. Pengundangan Perpres 18/2016 dilakukan tanpa mempertimbangkan Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, khususnya “dapat dilaksanakan” dan “kedayagunaan dan kehasilgunaan” sehingga bertentangan dengan Pasal 5 huruf d dan e UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.