Menyikapi Dampak Usaha Perkebunan Sawit yang Merusak Hutan, Merampas Tanah, Melanggar HAM, Korupsi dan Bencana Lingkungan, Masyarakat Sipil mengirimkan surat terbuka kepada Presiden RI, Dewan Uni Eropa, Komisi Eropa dan Pemimpin Negara Eropa 

Jakarta-Pemerintah Indonesia saat ini sedang gencar-gencarnya melakukan negosiasi dan diplomasi dengan negara-negara Uni Eropa paska Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi untuk tidak lagi memberikan subsidi energi transportasi yang bersumber dari bahan nabati (sawit) karena penghancuran hutan dan perubahan iklim. Pemerintah Indonesia memandang bahwa kebijakan Uni Eropa tersebut merugikan Indonesia, dengan klaim bahwa ekonomi Indonesia bersumber dari perkebunan sawit yang salah satunya diekspor ke pasar eropa, kebijakan tersebut merugikan rakyat Indonesia dalam hal ini petani sawit dan buruh perkebunan sawit.

Sayangnya dalam proses negosiasi tersebut, pemerintah Indonesia lebih banyak membawa kepentingan korporasi, dibandingkan dengan kepentingan rakyat. Pemerintah juga menutup fakta, bahwa praktik perkebunan sawit selama 1 (satu) abad penuh dengan praktik pelanggaran hak asasi manusia, perampasan tanah, korupsi, perusakan hutan dan bencana ekologis. Bahkan, buruh perkebunan sawit yang diklaim oleh pemerintah diuntungkan oleh sawit, faktanya sebagian besar adalah buruh harian lepas tanpa jaminan sosial/kesehatan. Demikian juga petani sawit, yang justru banyak mengalami ketidakadilan dan kriminalisasi. Perkebunan sawit juga telah meluluhlantahkan tatanan sosial dan budaya masyarakat adat/masyarakat lokal, serta semakin menambah lapis kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak.

Masyarakat sipil Indonesia menilai bahwa dibutuhkan sebuah narasi tanding yang memaparkan fakta-fakta buruknya perkebunan sawit di lapangan, dengan harapan tentu saja agar kebijakan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa dapat dijadikan sebagai sebuah momentum melakukan pembenahan dalam tata kelola sumber daya alam, khususnya di sektor perkebunan sawit, sebagai bagian dari upaya pemulihan lingkungan. Melakukan penegakan hukum dan aturan sebagaimana yang ada dalam Konstitusi dan perundang-undangan, serta memaksa korporasi untuk tunduk pada aturan hukum dan perundang-undangan.

Sampai tanggal 22 Mei 2018, surat terbuka ini telah ditandatangani dan didukung oleh 236 penandatangan baik individu maupun organisasi. Surat ini secara resmi akan disampaikan kepada Presiden RI, Dewan Uni Eropa, Komisi Eropa dan Pemimpin Negara-Negara Eropa. Kami akan terus memperluas dukungan ini dari berbagai elemen masyarakat sipil lainnya.

Surat Terbuka Kepada Presiden dan Pemimpin Dewan Uni Eropa_220518 Open Letter to President and EU Commision_220518