Indonesia Darurat COVID-19, Lupakan Citra Fokus Pada Penanganan pademi

INDONESIA DARURAT COVID-19, LUPAKAN CITRA FOKUS PADA PENANGANAN PANDEMI
 
Situasi gawat darurat pandemi akhir-akhir ini semakin memprihatinkan. Lonjakan kasus Covid-19 yang berujung pada kematian meningkat drastis. Hingga 6 Juli 2021, data nasional mencatat setidaknya 61.868 orang meninggal terkonfirmasi positif Covid-19. Ironisnya 1.607 dari data tersebut, menurut pusara digital https://nakes.laporcovid19.org/, adalah tenaga kesehatan. Sejak Juni hingga 25 Juli 2021, 265 jiwa meninggal dunia saat saat melakukan isolasi mandiri, akibat sulitnya mendapatkan bantuan medis. Serta 63 pasien meninggal karena pihak rumah sakit kehabisan ketersediaan oksigen.  Berdasar pantauan konsorsium beberapa hari lalu, terjadi antrean panjang di took-toko penjual tabung oksigen di sekitar Matraman, Jakarta Timur dan Manggarai, Jakarta Selatan.
 
Tidak berhenti sampai di situ, kesulitan untuk mendapatkan obat-obatan juga dialami oleh masyarakat yang membutuhkan. Dalam situasi sulit tersebut justru para pedagang obat menaikkan harga obat hingga berkali-kali lipat dari harga biasanya. Berdasarkan pengaduan yang kami terima, misalnya jenis obat bermerek oseltamivir, dengan resep dokter yang disarankan untuk membelinya di apotek rumah sakit, ternyata tidak tersedia. Hampir semua apotek di sekitar Pasar Minggu, Jakarta Selatan juga tidak tersedia atau habis. Pengadu lain menyampaikan bahwa obat tersebut dijual di sebuah toko daring (e-commerce) dengan harga Rp. 490.000, yang biasanya dijual dengan harga Rp. 200.000.
 
Dalam situasi demikian, tidak ada pengendalian yang semestinya dilakukan oleh pemerintah. Termasuk juga banyaknya orang yang tidak bisa menjangkau rumah sakit, bahkan ratusan yang harus meninggal tanpa bantuan medis menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi hak atas layanan kesehatan dan hak hidup warganya. Pemerintah gagal untuk menyediakan layanan fasilitas kesehatan masyarakat dalam kondisi darurat. 
 
Padahal terdapat Telegram Kapolri terkait penanganan Covid-19, yang salah satu isinya adalah komunikasi dan kolaborasi dengan rumah sakit untuk menambah kapasitas ruang perawatan dan isolasi mandiri. Selain itu, Bareskrim dan Kejaksaan Agung menyatakan akan menindak tegas oknum yang menjual obat di atas HET. Namun, faktanya yang dialami oleh masyarakat adalah justru kriminalisasi dengan dalih pengendalian Covid-19.
Gonta-ganti istilah pengendalian Covid-19 yang ditetapkan oleh pemerintah, mulai dari PSBB, PPKM Mikro, hingga PPKM Darurat, menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki visi pengendalian Covid-19 yang baik dan komprehensif. Alih-alih mengambil tanggung jawab pengendalian Covid-19, pemerintah justru melemparkan tanggung jawabnya kepada pemerintah daerah. Dalam hal ini tanggung jawab dalam pelaksanaan kekarantinaan kesehatan pada kedaruratan kesehatan masyarakat seharusnya ada di Pemerintah Pusat sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Selain itu, dalam konteks bencana nonalam, dalam hal pengurangan resiko, pelindungan masyarakat dari dampak bencana sampai pengalokasian anggaran penanggulangan bencana merupakan bagian dari tanggungjawab Pemerintah Pusat, menurut Pasal 6 UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.Salah satu upaya pemerintah untuk lari dari tanggung jawabnya adalah dengan menyalahkan masyarakat. Dalam hal terjadi lonjakan angka kematian positif Covid-19 yang terjadi akhir-akhir ini misalnya,  Pemerintah justru menyalahkan masyarakat yang mudik saat lebaran, dengan menyebut “karena masyarakat bandel dan susah diatur.” Padahal justru pemerintah yang melonggarkan pergerakan orang dengan membuka tempat pariwisata serta membuka mall dan perkantoran yang bukan merupakan sektor esensial, serta tidak sungguh-sungguh melarang aktivitas mudik.
 
Ini semua merupakan cermin kebijakan yang jauh dari panduan pencegahan dan pengendalian pandemi. Selain itu saat pembatasan sosial sangat lemah, pemerintah juga tidak melakukan testing secara proporsional. Belum lagi kelalaian pemerintah dalam mencegah dan mengendalikan transmisi varian Delta, yang mampu menular secara eksponensial. Sayang, pemerintah justru menyembunyikan fakta bahwa varian Delta sudah masuk ke tanah air sejak Januari dan kini mendominasi kasus infeksi.
 
Tidak berhenti di sini. Meski situasi di lapangan sudah gawat darurat, lagi-lagi pemerintah tidak mengakuinya. Alih-alih, pejabat publik malah menyampaikan situasi masih terkendali. Artinya, di tengah kesulitan luar biasa untuk mendapatkan layanan medis, penuhnya rumah sakit, ketidakmampuan rumah sakit menampung pasien Covid-19, banyaknya warga meninggal saat isoman, banyaknya tenaga kesehatan yang terinfeksi dan meninggal akibat Covid-19, pemerintah justru fokus pada mencitrakan bahwa semuanya baik-baik saja, dan tidak pernah menunjukkan rasa empati kepada keluarga yang kehilangan nyawa akibat kelalaian negara.
 
Untuk itu sekali lagi, untuk kesekian kalinya, Konsorsium Masyarakat untuk Kesehatan Publik mendesak agar pemerintah mengambil langkah luar biasa untuk menekah laju kegawatdaruratan pandemi, antara lain sebagai berikut:
 
1. Meminta maaf kepada publik atas situasi ini dan memberikan solusi bantuan konkret terhadap keluarga yang berjuang mendapatkan perawatan rumah sakit/ICU/dan layanan medis lainnya;
 
2. Mengevaluasi penanganan Covid 19 yang buruk selama ini dan segera mengambil tanggungjawab secara penuh untuk mengendalikan Covid-19 secara nasional sebagaimana diatur dalam UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, maupun UU No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Termasuk juga kebijakan penanganan yang terpadu antar daerah. 
 
3. Menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai, mulai dari peralatan kesehatan hingga obat-obatan yang diperlukan masyarakat. Pemerintah juga hadir dalam memberikan informasi atas kabar hoax jenis pengobatan dan penanganan Covid-19.
 
4. Menertibkan para spekulan yang memanfaatkan situasi ini dengan menaikkan harga obat-obatan, dengan cara menyediakan dan mendistribusikan obat-obatan yang dibutuhkan masyarakat;
 
5. Menyudahi komunikasi yang mencitrakan baiknya situasi dan beralih ke komunikasi risiko yang berempati, akuntabel dan merefleksikan kegawatdaruratan di masyarakat dan fasilitas kesehatan sesungguhnya di lapangan, sehingga menumbuhkan kewaspadaan bagi masyarakat untuk taat menjalankan protokol kesehatan.
 
Jakarta, 7 Juli 2021
Konsorsium Masyarakat untuk Kesehatan Publik:
 
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
Asia Justice and Rights (AJAR)
AMAR
Amnesty International Indonesia
Auriga Nusantara
#BersihkanIndonesia
ICW
Jurnalis Bencana dan Krisis (JBK)
Jala PRT
Kios Ojo Keos
Koalisi Warga Lapor COVID-19
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Kurawal
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat
Lokataru
Migrant Care
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Transparency International Indonesia (TII)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
WatchDoc
Yayasan Perlindungan Insani
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)