Temui KLHK di Jakarta, Bendesa Desa Adat Intaran Suarakan Penolakan Terminal LNG di Kawasan Mangrove dan Pesisir Sanur

Siaran Pers

Temui KLHK di Jakarta, Bendesa Desa Adat Intaran Suarakan Penolakan Terminal LNG di Kawasan Mangrove dan Pesisir Sanur

Jakarta, 22 September 2022 -- Bendesa Desa adat Intaran Bali bersama dengan Eksekutif Daerah WALHI Bali dan Eksekutif Nasional WALHI menemui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia pada Kamis, 22 September 2022 di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta.

Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk menyampaikan penolakan terhadap rencana pembangunan terminal LNG Sidakarya yang masuk pada kawasan mangrove Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai dan Pesisir Sanur, Bali.

Menurut Direktur Eksekutif WALHI Bali, Made Krisna Bokis Dinata, dasar dari penolakan pembangunan terminal LNG Sidakarya kawasan mangrove yang akan diubah menjadi kawasan terminal LNG berada pada kerapatan tinggi diatas 70%, dimana rata-rata memiliki ketinggian pohon mencapai 4 sampai 10 meter. “Di kawasan ini, sebaran satwa tinggi atau sering dijumpai,” tegas Made Krisna Bokis Dinata.

Namun hal tersebut berbanding terbalik dengan perubahan blok yang menempatkan tapak Proyek LNG di Tahura Ngurah Rai yang semula merupakan merupakan Blok Perlindungan menjadi Blok Khusus. Bokis menjelaskan Pertama, pada peta blok Tahura tahun 2015 yang disahkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor: SK.255/KSDAE-SET/2015 kawasan mangrove pada Tapak proyek terminal LNG masih sebagai kawasan perlindungan namun pada Keputusan Direktur Jenderal KSDAE Nomor: SK. 1113/KSDAE/SET.2/KSA.0/12/2021 Blok Pengelolaan pada tapak proyek Terminal LNG Sidakarya berubah menjadi blok khusus dan hal tersebut dinilai tidak memperhatikan kondisi lapangan. “Harusnya Peruntukan Blok pada tapak Proyek Terminal LNG Sidakarya dikembalikan menjadi Blok Perlindungan” Tegas Bokis.

Ahmad Munawir, S.Hut M.S selaku Direktur Perencanaan Kawasan Konservasi yang menemui mewakili Dirjen KSDAE dalam menemui pertemuan hari ini mengatakan jika standing Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia adalah menjaga mangrove. “Komitmen kami menjaga mangrove agar tetap utuh dan apabila ada yang rusak akan kami perbaiki hal ini juga sejalan dengan misi Presiden Jokowi dalam merestorasi mangrove” tungkasnya.

Menanggapi pernyataan tersebut Bokis juga menambahkan jika Dirjen KSDAE (Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem) tidak melupakan fungsi pengawasan terhadap kawasan konservasi mangrove yang ada di daerah, terutama kawasan konservasi di Bali yang luasannya tidak terlalu besar namun memiliki fungsi yang amat signifikan. “Dengan memperhatikan kondisi lapangan yang kami sampaikan terkait keadaan mangrove yang padat dan amat tinggi, harusnya tidak ada perizinan maupun rekomendasi yang diterbitkan oleh KSDAE, terlebih melegitimasi pembangunan terminal LNG di kawasan mangrove” Tegasnya.

Tak hanya itu, di kawasan pesisir laut sekitar mangrove terdapat terumbu karang berdasarkan tutupannya tergolong Baik, dengan skala 50%-70%. Untuk membangun terminal LNG, akan dilakukan pengerukan alur laut dengan kedalaman 15 meter, lebar alur 145 meter, dengan total volume material keruk sebanyak 3.300.000 M³ (tiga juta tiga ratus ribu meter kubik).

Jarak dari lokasi pengerukan (dredging) dengan ekosistem terumbu karang kurang dari 500 meter, bahkan berdasarkan Peta Terumbu Karang yang ada pada RZWP3K, Provinsi Bali, lokasi pengerukan masuk di area indikatif terumbu karang seluas 5,2 ha (lima koma dua hektar). Terumbu Karang yang berada persis di tempat keluar masuknya kapal oleh masyarakat setempat diyakini sebagai Barrier Reef atau pelindung dari terpaan gelombang yang mengarah ke pesisir.

Dampak pembangunan terminal LNG akan mendorong abrasi yang mengancam keberadaan tempat suci yang berada di sekitar rencana lokasi proyek Terminal LNG. Jaraknya paling jauh sekitar 823,88 meter. Menurut I Gusti Agung Alit Kencana, Bendesa Desa Adat Intaran, setidaknya ada enam tempat suci yang terancam, yaitu: 1) Pura Dalem Pangembak; (2) Pura Campuhan Dalem Pangembak; (3) Pura Sukamerta; (4) Pura Kayu Menengan; (5) Pura Mertasari; dan (6) Pura Tirta Empul Mertasari.

“Dengan adanya pengerukan tersebut pastinya akan merusak ekosistem laut di Pesisir Sanur akibat proyek Terminal LNG di kawasan mangrove dan Pesisir Sanur. Dan mengancam keberadaan enam tempat suci,” tegas I Gusti Agung Alit Kencana.

Selain itu Pesisir Sanur merupakan ruang penghidupan bagi 400 orang keluarga nelayan tradisional. para nelayan yang berada di Desa Intaran, baik untuk aktivitas menangkap ikan maupun aktivitas lainnya. Keberlangsungan Pesisir Sanur sangat penting dijaga dari gempuran proyek pembangunan Terminal LNG di kawasan mangrove dan Pesisir Sanur.

Menurut Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional WALHI, proyek pembangunan terminal LNG memiliki dua kesalahan utama, yaitu: pertama, akan menghancurkan hutan mangrove dan terumbu karang yang dilindungi oleh UU 27 Tahun 2007 jo UU 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; Kedua, menghilangkan hak-hak masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional yang dilindungi oleh UU No. 7 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Menurut Parid, rencana pembangunan terminal LNG di Tahura, yang merupakan kawasan konservasi mangrove seluas 14,5 hektar bertentangan dengan rencana pemerintah Indonesia yang akan merestorasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektar sampai dengan tahun 2024. Isu hutan mangrove banyak disebut oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di banyak forum internasional. Ia menyatakan bahwa menyatakan bahwa pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinannya telah dan sedang melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 hektar sampai dengan tahun 2024. Menurut Presiden Jokowi, rehabilitasi hutan mangrove merupakan salah satu cara untuk menciptakan laut yang sehat. Ini merupakan kunci keberlanjutan pembangunan Indonesia yang notabene negara kepulauan terbesar di dunia.

Proyek pembangunan LNG yang akan menghabiskan hutan mangrove seluas 14,5 hektar ini, akan mendorong pelepasan karbon dalam jumlah banyak. Menurut catatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, 2018), setiap satu hektar lahan mangrove, mampu menyerap karbon dioksida 39,75 ton per tahun. Jika dihitung, 14,5 hektar wilayah mangrove dapat menyerap 576,375 ton karbon per tahun.

“Jika luasan itu hilang, maka akan ada 5.763,75 ton karbon yang hilang dalam 10 tahun ke depan. Artinya, pembangunan proyek LNG itu secara ekologis tidak ramah lingkungan karena akan mendorong pelepasan karbon dalam jumlah banyak,” ungkap Parid.

Atas dasar itu, Bendesa Desa Adat Intaran Bali bersama dengan Eksekutif Daerah WALHI Bali dan Eksekutif Nasional WALHI menyampaikan sejumlah desakan sebagai berikut:

  1. Mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam hal ini Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem untuk mengembalikan peruntukan Blok Pengelolaan Tahura Ngurah Rai Bali menjadi Blok Perlindungan pada Tapak Terminal LNG Sidakarya.
  2. Mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, untuk mengevaluasi dan mencabut izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKPRL) yang telah dikeluarkan untuk pembangunan terminal LNG.
  3. Mendesak Gubernur Bali untuk menghentikan seluruh agenda yang membahas peninjauan kembali dan/atau revisi PERDA Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali yang melegalisasi pembangunan Terminal LNG di kawasan Mangrove dan Pesisir Sanur.

 

Informasi Lebih lanjut:
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut EN WALHI, 081237454623

Made Krisna Dinata, Direktur Eksekutif WALHI Bali, 081936033113