Hentikan Privatisasi Pesisir di NTT, Perluas Wilayah Kelola Rakyat

Siaran Pers WALHI NTT (Peringatan Hari Maritim Indonesia) Pada hari ini, kita merayakan Hari Maritim nasional (baca, Indonesia). Peringatan Hari Maritim di era Jokowi-JK tentu seharusnya lebih kuat mengingat Jokowi-JK mengusung tema poros maritim dalam jargon pembangunannya. Kita tentu harus melihat sejauh mana progres pembangunan maritim di era ini. Termasuk didalamnya, propinsi kita, NTT. Jargon Kosong Germala ( Gerakan Masuk Laut) ala Gubenur Lebu Raya Gubernur NTT Frans Lebu Raya pada periode kepemimpinannya mencanangkan Gerakan Masuk Laut. Gerakan ini masuk akal karena NTT memang adalah propinsi kepulauan dimana laut menjadi salah satu potensi terkuatnya. Gerakan ini seolah memberi angin surga bagi rakyat untuk bisa mengelola potensi kelautan untuk kesejahteraan. Sayangnya seiring perjalan waktu, gerakan ini tinggal jargon kosong. Beberapa indikasinya,

  1. Dalam perspektif ekonomi (PAD NTT) tidak terlihat kontribusi yang memadai dari sektor Maritim. Hal ini dikarenakan salahsatunya, program program pembangunan NTT bias darat.
  2. Kondisi kelautan dan pesisir di NTT makin memprihatinkan dengan adanya kebijakan “memunggungi” laut. Yakni membiarkan kebijakan privatisisi kawasan pesisir yang merajalela. Contohnya, membuka ruang privatisasi di pesisir kota Kupang ( Pasir Panjang, Teluk Kupang)
  3. Pencemaran laut dibiarkan. Penyelesaian kasus pencemaran laut Timor praktis tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah propinsi. Uapaya penyelesaian justru banyak diinisiasi masyarakat sipil di NTT. saat ini juga pencemaran di laut Kupang tidak dikontrol oleh pemerintah daerah. Sampah banyak di laut karena aktivitas pembangunan yang tidak diurus serius dampak lingkungannya.
  4. Berkurangnya wilayah kelola rakyat di pesisir. Ada banyak Nelayan yang sulit akses ke laut atau bahkan sekadar menambatkan perahu karena adanya privatisasi pesisir. Bahkan akses publik untuk melakukan rekreasi di pantai kian berkurang. Contoh kasus, Kota Kupang.

Kota Kupang, Ketidakadilan Antar Generasi dan Menuju Kota Maritim Yang Gagal Beberapa minggu terakhir warga Kota Kupang melakukan protes atas kebijakan pemerintah Kota Kupang memberikan Teluk Kupang kepada investor. Warga menginginkan agar kawasan teluk kupang menjadi ruang terbuka hijau bagi publik di Kota Kupang bukan untuk investor. Permintaan ini lantaran warga sudah muak dengan kebijakan pemkot yang terus memberikan ijin pembangunan hotel dan bisnis lainnya di pesisir Kupang atas nama pembangunan. Kita bisa melihat betapa kawasan pasir panjang kini ruang publiknya kian tidak memadai. Yang terjadi, deretan hotel hotel dan bisnis lain yang mengakibatkan sulitnya kases warga dan nelayan ke pesisir serta tercemarnya laut  kupang. Pemerintah Kota Kupang gagal untuk mewujudkan peradaban kota pesisir (Maritim) yang berkelanjutan dan berkeadilan buat warganya. Beberapa fakta kegagalan tersebut yakni

  1. Dalam perspektif keadilan. Saat ini telah terjadi ketidakadilan antargenerasi di Kota Kupang khususnya ekspresi publik di wilayah pesisir. Generasi tua, muda, anak-anak yang ada di Periode 1990-an hingga awal 2000-an, masih bebas akses ke pantai untuk rekreasi atau kepentingan ekonomi. Begitupun ruang kelola nelayan masih sangat luas. Namun kini, orang tua, muda, dan anak-anak sudah sulit bahkan tertutup aksesnya ke pantai. Bahkan pengakuan dari warga, untuk sekadar parkir motor di sekitar Hotel yang ada di pasir panjang saja dilarang oleh pihak keamanan hotel. Di sinilah letak ketidakadilan antar generasi itu. Kebijakan pemkot di pesisir Kupang yang mengakibatkan ketidakadilan ini terjadi.
  2. Ruang kelola dan rekreasi rakyat tidak nyaman dan kian terbatas di pesisir. Tercemarnya laut Kupang oleh sampah pembangunan dan adanya kebijakan “menemboki” pesisir membuat nelayan dan rakyat kebanyakan tidak punya akses. Padahal UU no 1 tahun 2014 tentang perubahan atas UU no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil. Daerah sempadan pantai adalah kawasan milik negara yang hanya boleh untuk konservasi, rekreasi rakyat dan pembangunan yang terkait dengan infrastruktur ruang publik rakyat. Dan daerah sempadan pantai adalah 100 meter dari batas air pasang tertinggi. Faktanya di Kota Kupang hal itu tidak sesuai.
  3. Area konservasi dan ketahanan menghadapi bencana. Dengan kebijakan Pemkot, area konservasi berkurang drastis. Hal ini dapat mengakibatkan rusaknya ekosistem pesisir dan laut di Kota Kupang.
  4. Hilangnya mental Maritim. Potret kebijakan pemkot bila terus dipertahankan seperti saat ini maka mental maritim kita akan hilang. Kita akan semakin abai dengan pesisir dan laut. Tidak mungkin menciptakan mental cinta laut kepada generasi kita kalau akses terhadap laut pesisir saja kian dipersulit dari waktu ke waktu.

Dalam aksi Hari Maritim Indonesia 21 Agustus 2017 ini, WALHI dan Sahabat Alam NTT menyatakan sikap bahwa, (Pemerintah Propinsi dan Kab/kota di NTT)

  1. Gerakan masuk laut tidak pernah terwujud karena kebijakan lain justru mempersulit akses untuk ke pesisir/laut
  2. Pemerintah propinsi harus melakukan intervensi pada kebijakan pembangunan kota/kabupaten yang justru bersebrangan dengan Germala
  3. Membuat kebijakan yang melindungi kepentingan nelayan dan rakyat kebanyakan dari upaya pencemaran laut dan privatisasi kawasan pesisir di NTT
  4. Stop kebijakan pariwisata pesisir berbasis investor, perluas ruang pariwisata pesisir yang dikelola oleh rakyat.
  5. Menghentikan pencemaran laut di NTT dan serius mengurus masalah pencemaran laut Timor bersama pemerintah Australia
  6. Kebijakan pemerintah daerah agar patuh pada UU no 1 tahun 2014 tentang perubahan atas UU no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil.

(Pemerintah Kota Kupang)

  1. Walikota Baru (Firmanmu) harus tegas dan Jangan Lanjutkan Kesalahan Tata Kelola Pesisir Kupang
  2. Mengevaluasi Perda no 11 tahun 2011 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Kupang
  3. Stop pemberian ijin pembangunan yang tidak terkait dengan kepentingan publik di pesisir Kota Kupang sebagaimana diatur dalam UU no 1 tahun 2014 tentang perubahan atas UU no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil.
  4. Evaluasi semua perijinan di kawasan pesisir Kota Kupang
  5. Patuh pada UU no 1 tahun 2014 tentang perubahan atas UU no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil dan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 51 tahun 2016 tentang batas sempadan pantai yakni minimal 100 meter dari air pasang tertinggi Pantai.
  6. Hentikan Kebijakan lama, Teluk Kupang harus jadi ruang terbuka hijau dan ruang ekspresi publik

Kontak

  • Indrawati Sembe -Koordinator Kota, Pesisir dan Kelautan WALHI NTT (081337615857)
  • Umbu Wulang Tanaamahu P- Direktur Eksekutif WALHI NTT( 081215535456)