Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Koalisi Benteng Pertahanan UU PPLH No.32/2009 Sumatera Selatan Serukan “Nyalakan Tanda Bahaya”

Palembang , Senin 5 Juni 2017. Hari ini bertepatan dengan hari lingkungan hidup sedunia Koalisi Benteng Pertahanan UUPPLH No.32/2009 menggelar aksi simpatik. Pada hari Lingkungan Hidup tahun 2017 ini dengan menyerukan “Nyalakan Tanda Bahaya” kepada seluruh rakyat Indonesia, khususnya Sumatera Selatan. Saat ini kita masyarakat Indonesia khusunya Sumatera Selatan dan Lingkungan Hidup kita sedang mengalamai ancaman yang sangat besar. Sebagaimana kita ketahui Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia atau APHI dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau GAPKI sedang melakukan Judical Review (JR) di Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Adapun pasal-pasal dari kedua Undang-Undang tersebut yang dipinta untuk dihapus oleh APHI dan GAPKI beberapa diantaranya adalah seperti: Pasal 99 UU No.32/2009 “setiap orang yang karena kelalainnya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah), Pasal 49 UU No. 42/1999 “Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya”, dan pasal lainnya pada UU No.32 tahun 2009 termasuk mengenai kearifan lokal masyarakat.

Terdapat dampak (bahaya) genting jika upaya JR yang dilakukan APHI dan GAPKI dikabulkan oleh mahkaman konstitusi, antara lain: Pertama. Meskpiun UU 32 tahun 2009 merupakan peraturan dan kebijakan yang progresif namun pelaksanaanya belum optimal, terutama dalam hal pengawasan dan penegakan hukum bagi perusak lingkungan. Apalagi jika pasal-pasal tersebut dihapus, maka dipastikan laju kerusakan lingkungan hidup akan semakin massif. Dalam catatan WALHI Sumsel (environmental outlook, 2017), WALHI sudah mengingatkan kepada pemerintah bahwa bencana ekologis sudah semakin parah dan meluas. Ini disebabkan oleh akumulasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri-industri berbasiskan lahan yang kerap melawan aturan perlindungan lingkungan hidup. Kedua. Upaya pemulihan lingkungan hidup termasuk perlindungan dan pemulihan ekosistem gambut akan mengalami kegagalan. Karena tahap penting yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah penegakan hukum. Jika kemudian pasal tersebut dihapus maka dipastikan agenda restorasi yang merupakan komitmen pemerintahan Jokowi-JK akan mengalami kegagalan dan terbilang sia-sia. Karena kebakaran hutan dan lahan mayoritas terjadi di wilayah konsesi (izin) perusahaan. Sementara karakter korporasi yang merusak sulit untuk diubah. Ketiga. Sikap dan upaya APHI dan GAPKI merupakan bentuk pelemahan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Konstitusi Negara. Kedua organisasi tersebut secara sistematis melakukan pengrusakan lingkungan hidup dan melanggengkan perampasan hak-hak dasar warga negara Indonesia, termasuk ancaman terhadap kearifan lokal masyarakat Indonesia dalam mengelola hutan dan lahan, yang berpotensi semakin memiskinkan dan merampas kedaulatan rakyat atas sumber kehidupannya, baik laki-laki maupun perempuan. Ini adalah bentuk upaya perusahaan untuk berkelit dari tanggung jawabnya, yang selama ini sudah seringkali diabaikan.

Apabila pasal-pasal ini dihapuskan maka hak dan kehidupan rakyat Indonesia akan semakin terancam, terutama petani, masyarakat adat, masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya pada hutan dan dan lahan, serta sumber daya alam lainnya. Apalagi perempuan. Selama ini, akibat perilaku perusahaan yang tidak bertanggung jawab, perempuanlah yang paling rentan mengalami dampaknya, misalnya pembuangan limbah yang selama ini dibuang bebas oleh perusahaan ke sungai-sungai, termasuk zat-zat kimia berbahaya dari aktivitas perusahaan yang mencemari tanah dan air yang selama ini digunakan perempuan untuk kebutuhan sehari hari berdampak pada kesehatan perempuan, terutama kesehatan reproduksi, karena perempuan lah yang paling bersentuhan dengan air dan tanah sebagai sumber kehidupan bagi dirinya dan keluarganya. Kami menegaskan cukup sudah! negara memberikan penguasaan sumber daya alam kepada korporasi tidak bertanggung jawab dan terbukti tidak mampu atau gagal dalam melindungi lingkungan hidup dan hak konstitusional rakyat Indonesia. Pemerintah Indonesia harus mengambil sikap tegas dari rencana dan niat tidak baik APHI dan GAPKI terhadap sumber daya alam. Dalam dokumen Judicial Review, APHI dan GAPKI juga menyinggung gugatan (perdata) Negara kepada anggotanya yang sedang dalam proses pengadilan. Mereka menganggap karena pasal-pasal tersebut di atas (pasal yang di JR) menyebabkan kerugian finansial yang signifikan. Tentunya sikap ini merupakan sikap yang anti terhadap keberlanjutan dan hanya memikirkan keuntungan bagi mereka saja, hanya melihat kerugian lingkungan hidup dan masyarakat hanya berdasarkan kuantifikasi ekonomi saja, padahal kerusakan lingkungan hidup dan nyawa yang telah hilang akibat perilaku mereka selama ini tidak dapat digantikan dengan apapun. Koalisi Benteng Pertahanan UUPPLH No.32/2009 Sumatera Selatan: WALHI Sumsel, Solidaritas Perempuan (SP Palembang), LBH Palembang, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN PW Sumsel), IMPALM, Lingkar Hijau, Perkumpulan Tanah Air (PETA), Mafesripala, Komunitas Masyarakat Pengelola Rawa Gambut (KOMPAG), Sahabat WALHI, HDC UNPAL.