Cemari Danau Mahalona, WALHI SUlsel Minta Kontrak Karya PT VALE Ditinjau Ulang

Siaran Pers WALHI Sulawesi Selatan

Makassar, 4 Desember 2018. Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan menggelar aksi di depan kantor PT VALE, di jalan Somba Opu, Makassar, Selasa. Aksi ini dilakukan untuk mengkampanyekan pencemaran Danau Mahalona yang disebabkan kegiatan tambang PT Vale di Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur. Selain itu, WALHI Sulsel juga meminta agar kontrak karya PT VALE di tinjau ulang, agar kerusakan hutan dan danau tidak semakin meluas. Direktur WALHI Sulsel, Muhammad Al Amin menjelaskan, Danau Mahalona yang terletak di Desa Tole, Kecamatan Towuti yang luasnya sekitar 2.289 Hektar adalah satu dari tiga danau purba yang terletak di kawasan Pegunungan Verbeck, selain Danau Towuti dan Danau Matano. Sejak tahun 1979, ketiga danau tersebut dan hutan di sekitarnya ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan suaka alam dan kawasan konservasi. Lalu, berdasarkan hasil investigasi dan kajian lapangan WALHI dan WALHI Sulsel pada september yang lalu, kondisi ekosistem Danau Mahalona terus mengalami degradasi akibat adanya aktivitas penambangan yang dilakukan oleh PT. Vale Indonesia. "Dari hasil investigasi WALHI Sulawesi Selatan, buangan tanah bekas tambang PT. Vale Indonesia telah membuat laju sedimentasi semakin meningkat hingga membentuk daratan baru yang penuh lumpur di pinggiran Danau Mahalona", jelas Al Amin. Selain itu menurutnya, transport sediment tersebut sampai ke Danau Mahalona melalui Sungai Timbalo dan Sungai Mata Buntu. "Salah satu buktinya, luas Danau Mahalona saat ini sekitar 2.289 hektar, mengalami penyusutan 151 hektar jika dibandingkan dengan luasnya pada Surat KepMen Pertanian RI Nomor: 274/Kpts/Um/4/79 yakni 2440 hektar. Akibatnya, lanjut Amin, populasi Ikan Butini (Glosogobius Matanensis) yang merupakan ikan endemik di Danau Mahalona juga mulai menurun. Hal ini membuat masyarakat Desa Tole yang menangkap ikan di Danau Mahalona semakin berkurang. Selain Ikan Butini, Aktivitas PT. Vale Indonesia juga mengancam kelestarian fauna dan flora endemik lainnya, seperti kayu Tembeau, Anoa Quarlesi, Babi Rusa dan beberapa jenis lainnya. "Bukan hanya itu, lahan bercocok tanam masyarakat yang berada di sekitar sungai sering mengalami kerusakan, terutama ketika bendungan Petea dibuka, sehingga banyak dari masyarakat meninggalkan sawahnya", tambahnya. Kini, PT Vale Indonesia tengah menguasai konsensi seluas 118.000 hektar, termasuk Pegunungan Sumbitta yang merupakan benteng terakhir masyarakat Tole yang harus diselamatkan dari penambangan. "Jika Pegunungan Sumbitta juga ditambang, maka akan berpotensi merusak ekosistem hutan, menghilangkan keanekaragaman hayati, menurunkan kualitas dan kuantitas air, dan tentunya akan meningkatkan beban pencemaran pada lingkungan terutama di tiga danau purba yang dimiliki masyarakat Sulawesi Selatan.* Nara Hubung: Al-Amin: 082293939591