WALHI Desak Kementerian Kehutanan Tindak Aktivitas Ilegal dan Cabut Perizinan Berusaha Perusahaan Penyebab Banjir Sumatera

Jakarta, 9 Desember 2025

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengidentifikasi perusahaan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah mengakibatkan kerusakan hutan dan daerah aliran sungai mencapai 889.125 hektar. Hal ini belum diperparah dari aktivitas ilegal. Karenanya WALHI mendesak Kementerian Kehutanan untuk segera mencabut seluruh perizinan berusaha sektor kehutanan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Selain itu, Kementerian Kehutanan harus melakukan tindakan penegakan hukum tegas terhadap aktivitas ilegal pertambangan dan perkebunan kelapa sawit di tiga provinsi tersebut. Peristiwa bencana yang mengakibatkan kerugian besar ini harus menjadi momentum melakukan koreksi terhadap seluruh kebijakan sektor kehutanan dan lingkungan hidup di Indonesia. 

Uli Artha Siagian, Kepala Divisi Kampanye WALHI menyebut proses evaluasi perizinan yang bermuara pada pencabutan izin ini harus dilakukan secara transparan. Prosesnya harus memastikan perlindungan lingkungan hidup, aspek kebencanaan dan pemulihan hak rakyat. Sesuai kewenangannya berdasarkan Pasal 72 UU Kehutanan, Menteri Kehutanan dapat menggunakan otoritas yang melekat padanya untuk mewakili kepentingan masyarakat dan memaksa perusahaan-perusahaan perusak hutan untuk bertanggung jawab, termasuk membayar kerugian yang dialami masyarakat, serta memulihkan hutan yang menjadi sumber kehidupan masyarakat. 

WALHI mencatat setidaknya terdapat 13 perusahaan kehutanan, pertambangan, dan perkebunan yang melakukan perbuatan perusakan hutan yang mengakibatkan penurunan daya tampung lingkungan hidup secara signifikan. Selain itu, WALHI juga mencatat terdapat 62 aktivitas tambang emas tanpa izin di Sumatera Barat (Kabupaten Solok dan Kabupaten Sijunjung) dan 5.208 hektar kawasan hutan dialihkan menjadi perkebunan kelapa sawit oleh 14 perusahaan di Provinsi Aceh, bahkan tujuh kabupaten di Aceh (Aceh Barat, Nagan Raya, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Tengah, Aceh Selatan, dan Aceh Besar) telah merusak 954 DAS dan 60 persen berada dalam kawasan hutan.

Aktivitas ilegal di kawasan hutan dan daerah aliran sungai di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebenarnya sudah terjadi dari belasan tahun lalu, bahkan lebih. Hal yang disayangkan mengapa Kementerian Kehutanan maupun kepolisian tidak melakukan penegakan hukum yang tegas. Apabila tindakan ilegal ini ditindak dan dihentikan dari dahulu, dampak besar seperti yang terjadi saat ini kemungkinan tidak terjadi,” tambah Uli

Agar peristiwa serupa tidak terjadi di wilayah lain Indonesia, WALHI meminta Kementerian Kehutanan secara terbuka dan partisipatif membentuk sebuah Satuan Tugas (Satgas) Evaluasi Perizinan dan Aktivitas Ilegal di Kawasan Hutan. Satgas ini harus melibatkan organisasi masyarakat sipil agar proses evaluasi dan penegakan hukum dapat menyasar baik aktivitas berizin maupun ilegal di kawasan hutan secara efektif dan transparan. Mekanisme ini harus bermuara pada pemulihan lingkungan dan pemenuhan hak masyarakat, bukan justru melanggengkan praktik ilegal sebagaimana terjadi pada Satgas PKH yang terbukti membiarkan perkebunan kelapa sawit ilegal terus berlangsung di kawasan hutan.

Oleh karena itu, WALHI menegaskan bahwa tanpa tindakan tegas dari Kementerian Kehutanan untuk segera melakukan penegakan hukum administrasi, pidana, dan perdata, masyarakat dan lingkungan hidup akan terus menanggung dampak buruk. Kegagalan bertindak hanya akan mengulangi bencana yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, serta membuka peluang terjadinya kembali di wilayah Indonesia lainnya.

Narahubung:

Uli Artha Siagian (Kepala Divisi Kampanye WALHI)

+628115501980