siaran pers kasus tumpang pitu. banyuwangi, WALHI JATIM

Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria (TEKAD GARUDA) Meluasnya industri ekstraktif di pesisir selatan Jawa Timur belakangan ini, terus memicu laju krisis sosial-ekologis semakin meningkat tajam dalam bentuk yang kompleks dan rumit. Hal ini salah satunya dapat kita temui dalam kasus pertambangan Tumpang Pitu-Banyuwangi. Sejak beroperasinya kegiatan industri pertambangan di bukit Tumpang Pitu, yang dilakukan oleh PT. Bumi Suksesindo (PT. BSI) dan PT. Damai Suksesindo (PT. DSI) dari sejak tahun 2012, beragam krisis sosial-ekologis dan sejumlah persoalan keselamatan ruang hidup rakyat dapat terlihat di 5 desa, yakni: Sumberagung, Pesanggaran, Sumbermulyo, Kandangan, dan Sarongan. Salah satu diantaranya yang masih membekas cukup kuat dalam benak warga Sumberagung dan sekitarnya adalah bencana lumpur yang terjadi pada Agustus 2016 silam. Selain telah merusak sebagian besar kawasan pertanian warga, bencana lumpur tersebut juga telah menimbulkan beberapa persoalan penting lainnya, yakni telah membuat kawasan pesisir pantai Pulau Merah dan sekitarnya berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Bahkan baru-baru ini, karena kerusakan tersebut ditemukan sejumlah fakta bahwa beberapa jenis kerang, ikan dan beberapa biota laut lainnya mulai menghilang dari pesisir Sumberagung dan sekitarnya. Dan sejumlah kelompok binatang seperti monyet dan kijang mulai turun memasuki lahan pertanian warga karena rusaknya habitat mereka. Begitu juga dengan beberapa sumur milik warga diduga mulai tercemar dan terasa kecut karena penurunan kualitas lingkungan. Dampak secara ekonomi akibat kerusakan ini adalah pendapatan nelayan, petani dan pegiat pariwisata rakyat Desa Sumberagung dan sekitarnya mengalami penurunan secara drastis.

Bukit Tumpang Pitu merupakan kawasan penting bagi penduduk Sumberagung dan desa-desa sekitarnya. Selain berfungsi sebagai pusat mata air yang mampu mencukupi kebutuhan pertanian dan konsumsi rumah tangga, di sanalah sebagian besar penduduk, khususnya kaum perempuan, mencari beberapa tanaman obat-obatan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan secara turun temurun. Namun, pasca beroperasinya PT. BSI dan PT. DSI, yang keduanya adalah anak perusahaan PT. Merdeka Copper Gold Tbk, relasi antara warga dan bukit Tumpang Pitu menjadi terputus. Apalagi sejak ditetapkannya kawasan pertambangan Tumpang Pitu menjadi Objek Vital Nasional pada 2016 melalui SK Menteri Nomor: 631 K/30/MEM/2016. Selain persoalan di atas, kehadiran industri pertambangan Tumpang Pitu juga memicu sejumlah persoalan lainnya yang tak kalah penting, yakni meningkatnya tindak represi terhadap warga Sumberagung dan sekitarnya oleh aparat keamanan negara dalam kurun waktu 5 tahun (2012-2017) belakangan ini. Setidaknya dari data yang berhasil kami kumpulkan, telah terjadi sedikitnya 5 bentuk kriminalisasi terhadap warga Sumberagung dan sekitarnya karena berusaha berjuang mempertahankan dan menyelamatkan lingkungannya dengan cara menolak hadirnya kegiatan industri tambang Tumpang Pitu. Dari 5 bentuk kriminalisasi tersebut, salah satu diantaranya adalah dalam kasus penetapan 4 warga Sumberagung sebagai tersangka yang terjadi pada Awal April 2017 lalu. Kasus ini bermula dari aksi pemasangan spanduk “tolak tambang” yang dilakukan pada tanggal 4 April 2017 di sepanjang pantai Pulau Merah-Sumberagung hingga kantor Kecamatan Pesanggaran. Satu hari pasca aksi (5/4), muncul beberapa pernyataan dari pihak aparat keamanan Banyuwangi (TNI/Polri), bahwa di dalam spanduk penolakan warga terdapat logo yang diduga mirip palu arit.

Padahal menurut keterangan warga dan temuan lapangan yang berhasil kami kumpulkan bahwa tidak satupun spanduk yang terpasang terdapat logo yang dituduhkan oleh pihak aparat keamanan. Sejauh ini, kami dan warga menduga bahwa tuduhan tersebut memiliki tujuan untuk melemahkan gerakan penolakan tambang yang sedang berlangsung dan terus bertahan hingga saat ini. Selain itu kami dan warga juga menduga, tuduhan tersebut hanyalah untuk memecah belah persatuan perjuangan yang terus meluas. Empat orang warga tersebut kini dikenakan pasal 107 huruf a, UU Nomor 27 tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Adapun bunyi pasal 107a dalam UU ini adalah: Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. Atas tuduhan itu, kini salah satu dari tersangka, Budi Setiawan alias Budi Pego, hari ini, Rabu, 26 Juli 2017 kembali diperiksa oleh Kepolisian Resor Banyuwangi. Sekali lagi, kami menganggap bahwa kasus kriminalisasi ini hanya untuk mengalihkan perhatian publik atas persoalan utama yang sedang dihadapi masyarakat Sumberagung dan sekitarnya. Yakni ancaman krisis sosial-ekologis yang ditimbulkan oleh hadirnya pertambangan di Tumpang Pitu yang memiliki fungsi besar bagi masyarakat sekitar. Untuk itu kami (TEKAD GARUDA), menyatakan:

  1. Mendesak Kepolisian Resor Banyuwangi untuk segera menghentikan proses penyidikan terhadap Budi Pego, dan 3 warga Sumberagung lainnya yang ditetapkan sebagai tersangka.
  2. Mendesak negara dan institusi terkait untuk menghentikan kegiatan pertambangan Tumpang Pitu demi keselamatan ruang hidup warga Banyuwangi khususnya, dan pulau Jawa pada umumnya.
  3. Mengutuk keras segala bentuk kriminalisasi terhadap seluruh gerakan rakyat yang berjuang demi terwujudnya keadilan agraria dan keselamatan ruang hidup.

Banyuwangi, 26 Juli 2017 Contact person:

  • Rere (WALHI Jatim): 0838-5764-2883
  • Deva (For Banyuwangi): 0852-2850-5833