RUU Ibu Kota Negara: Mengulang Inkonstitusionalitas Omnibus Law

Siaran Pers WALHI 
12 Januari 2022 

RUU Ibu Kota Negara: Mengulang Inkonstitusionalitas Omnibus Law 
Respon atas rencana pengesahan super cepat RUU IKN

Pada hari Selasa, 11 Januari 2022 telah dilaksanakan konsultasi publik terakhir RUU IKN di Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur. Penting untuk diingat bahwa, Penetapan Lokasi IKN telah dilakukan terlebih dahulu secara politik tanpa adanya landasan hukum yang jelas dan tidak mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Alih-alih belajar dari proses pembentukan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang diputus inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, proses dipaksakannya pembahasan RUU IKN dengan proses super cepat justru mereplikasi kembali proses yang salah. Secara Formil setidaknya ada tiga hal mendasar yang melandasi RUU IKN ini harus dibatalkan:  

Pertama, RUU IKN dibahas dengan super cepat di parlemen. 

RUU inisiatif pemerintah ini ditarget dapat diajukan untuk mendapat persetujuan tingkat II atau rapat paripurna DPR, pada 18 Januari 2022. Merunut perjalanannya, RUU IKN diproses hanya sekitar 40 hari sejak pertama kali anggota Panitia Khusus RUU IKN ditetapkan pada 7 Desember 2021. Rapat paripurna DPR baru menetapkan anggota Pansus RUU IKN pada 7 Desember 2021. Kemudian mereka menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan ahli dan akademisi pada 9 Desember 2021. Selama sepekan kemudian, anggota pansus rapat maraton hingga memasuki reses pada 16 Desember 2021. Rapat-rapat ini tidak jarang dilakukan sedari pagi hingga menjelang tengah malam, bahkan di hari libur demi pemaksaan lahirnya RUU ini. 

Setelah tuntas di dalam perumusan norma di tim perumus dan sinkronisasi, rencananya RUU tinggal dibawa kembali ke rapat pleno Pansus RUU IKN untuk diambil keputusan tingkat I. Pada 13 Januari, pansus menjadwalkan raker dengan pemerintah dan pada 18 Januari, RUU itu akan dimintakan persetujuan tingkat II dalam rapat paripurna DPR. Selanjutnya, RUU itu tinggal menunggu ditandatangani Presiden dan diundangkan oleh DPR. 

Pembahasan ini sangat terburu-buru dan terkesan dipaksakan. Hal itu bisa memunculkan tanda tanya dari publik, dan tak masuk akal, dilihat dari perspektif syarat-syarat pembentukan UU yang baik, yakni dengan pelibatan partisipasi publik, dan kajian matang dari berbagai sisi terhadap substansi RUU. Terlebih, kompleksitas pemindahan ibu kota negara ini tidak hanya melibatkan urusan teknis belaka, seperti anggaran dan infrastruktur, tetapi juga memerlukan kajian mendalam terkait aspek sosial, ekonomi, lingkungan, hingga kultur. 

Kedua, abai terhadap syarat formil. 

Pemaksaan RUU ini bahkan terlihat dari salah satu pelanggaran unsur formil pembentukan Pansus RUU IKN. Hal ini sempat menimbulkan polemik karena menyalahi Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah (MD3), serta Peraturan DPR tentang Tata Tertib DPR. Pada 7 Desember 2021, rapat paripurna DPR menetapkan 56 anggota panitia khusus dengan 6 pimpinan. Jumlah anggota panitia khusus ini berlawanan dengan amanat UU MD3 dan tatib DPR, yang mengatur jumlah panitia khusus maksimal 30 orang, dan 4 orang unsur pimpinan. Untuk memuluskan hal ini, Badan Legislasi (Baleg) DPR bahkan sampai menggelar rapat untuk mengubah tata tertib tersebut agar sesuai dengan keputusan paripurna DPR.  

Setelah menuai kritik, pada rapat paripurna penutupan masa sidang II 2021/2022, 16 Desember 2021, keputusan itu direvisi. Pimpinan DPR menetapkan kembali anggota panitia khusus menjadi 30 orang, dan 4 unsur pimpinan, sesuai tata tertib awal karena ada surat dari Majelis Kehormatan Dewan (MKD), yang mengingatkan pelanggaran prosedur itu. 

Ketiga, tak dapat mematuhi prinsip partisipasi publik yang bermakna.

Pembahasan RUU IKN haruslah sesuai dengan prosedur. Utamanya, setelah keluar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Berkaca dari pengalaman UU Cipta Kerja, Pansus RUU IKN harus sangat berhati-hati agar UU yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan asas-asas pembentukan UU yang baik. Dalam putusannya, MK menyoroti pembentukan UU agar melibatkan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Sayangnya, RUU IKN belum melibatkan partisipasi publik yang bermakna dengan tidak melibatkan semua unsur masyarakat, baik petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan, dan organisasi masyarakat sipil.

 

Problem Lingkungan dan Sosial Penetapan IKN 

Pertama, Rentan konflik sosial 

Setidaknya terdapat 26 (dua puluh enam) desa dan kelurahan di Kecamatan Sepaku, 23 (dua puluh tiga) desa dan kelurahan di Kecamatan Samboja, 8 (delapan) desa dan kelurahan di Kecamatan Muara Jawa serta 15 (lima belas) desa dan kelurahan di Kecamatan Loa Kulu. Jumlah penduduk 8 di masing-masing kecamatan sebagai berikut: Sepaku sebanyak 31.814 jiwa (2018), Samboja sebanyak 63.128 jiwa (2017) dan kecamatan Muara Jawa 37.857 jiwa (2017) dan Loa Kulu sebanyak 52.736 jiwa (2017) yang akan terdampak atas masuknya setidaknya 7.687 jiwa perpindahan pegawai lembaga negara, lembaga pemerintah dan pendukungnya. akan menekan populasi masyarakat yang sebelumnya tinggal disana, problem sosial ini belum dilakukan kajian yang serius dan inklusif. Terdapat dokumen yang beredar mengenai tahap pertama perpindahan ASN, didalam dokumen itu saja paling tidak dari per-ASN yang pindah terdapat 4 orang yang ikut pindah (suami/istri, 2 anak dan pekerja rumah tangga).  

Tanah pada kawasan IKN bukanlah tanah tidak bertuan, ada masyarakat adat balik yang hidup dan eksis dari tahun 1963 di wilayah itu di atas tersebut, ada wilayah administratif yang telah eksis bertahun tahun sebelumnya. Pada sisi lain, tidak dipikirkan bagaimana perpindahan dan penambahan penduduk akan punya potensi konflik sosial dengan penduduk lokal yang memiliki sejarah tenurial yang cukup erat sebelumnya. Ironisnya, ancaman potensi konflik ini telah disadari pemerintah. Hal tersebut bisa dilihat pada dokumen kajian lingkungan hidup strategis, Yang secara spesifik menyebutkan posisi struktur masyarakat adat dayak sebagai komunitas tertua, tingkat kompetitif sosial. Keterkaitan kegiatan perekonomian dengan wilayah penyangga di sekitar lokasi IKN, dan wilayah asal material pembangunan IKN, dan kemampuan beradaptasi sosial. 

Kedua, Pemutihan tanggung jawab korporasi dan sarat kepentingan politik.

Lokasi IKN bukanlah lahan kosong, terdapat 162 konsesi tambang, kehutanan, perkebunan sawit dan PLTU  batubara di atas wilayah total kawasan IKN seluas 180.000 hektar yang setara dengan tiga kali luas DKI Jakarta. Itu belum termasuk 7 proyek properti di kota Balikpapan. Hasil penelusuran menunjukkan ada 148 konsesi di antaranya adalah pertambangan  batubara, baik yang berstatus Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 1 (satu) di antaranya berstatus Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Konsesi pertambangan saja sudah mencapai 203.720 hektar yang seluruhnya masuk dalam kawasan IKN.  

Terdapat pula 2 (dua) konsesi kehutanan masing masing berstatus Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu–Hutan Alam (IUPHHK–HA) PT. International Timber Corporation Indonesia Kartika Utama (PT. IKU), dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu–Hutan Tanaman (IUPHHK–HT) PT. International Timber Corporation Indonesia Hutani Manunggal (PT. IHM). Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau ring satu seluas 5.644 hektar seluruhnya berada di dalam konsesi PT. IHM sementara ring dua seluas 42.000 hektar mencakup konsesi PT. IHM dan sekaligus PT. IKU. Ditemukan pula 10 konsesi perkebunan di atas kawasan IKN yakni 8 (delapan) berada di ring dua dan tiga yakni Kecamatan Samboja dan Muara Jawa serta sisanya di Kecamatan Sepaku. Salah satu yang terbesar adalah PT. Perkebunan Kaltim Utama I seluas sekitar 17.000 hektar yang penguasaannya terhubung dengan keluarga Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi di kabinet jilid dua Jokowi-Amin. Setidaknya lebih dari 50 nama politisi terkait dengan kepemilikan konsesi di lokasi IKN. 

Terdapat 94 lubang bekas tambang batubara yang tersebar di atas kawasan IKN. Dari jumlah tersebut 5 (lima) perusahaan terbanyak yang meninggalkan lubang tambang adalah PT. Singlurus Pratama (22 lubang), PT. Perdana Maju Utama (16 lubang), CV. Hardiyatul Isyal (10 lubang), PT. Palawan Investama (9 lubang) dan CV. Amindo Pratama (8 lubang).  

Ketiga, Ancaman terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. 

Bahkan dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) IKN hasil studinya juga menunjukkan setidaknya ada 3 permasalahan mendasar jika IKN dipaksakan :

Ancaman terhadap tata air dan risiko perubahan iklim 

  • Sistem hidrologi yang terganggu dan telah ada catatan air tanah yang tidak memadai.
  • Catchment area (wilayah tangkap air) yang terganggu.
  • Risiko terhadap pencemaran air dan kekeringan. Sumber air bersih tidak memadai sepanjang tahun, ketidakmampuan pengelolaan air limbah yang dihasilkan dari IKN dan pendukungnya. 
  • Tingginya konsesi tambang di lokasi IKN juga berpengaruh terhadap sistem hidrologi. 
  • Secara ekonomi berdampak pada meningkatnya biaya ekonomi terhadap pemanfaatan air.

Ancaman terhadap flora dan fauna 

  • Tekanan terhadap habitat Satwa liar pada akhirnya akan meningkatkan risiko konflik satwa dan manusia. Di antara kasus yang sudah muncul adalah buaya. 
  • Beberapa flora dan fauna yang yang memiliki fungsi jasa ekosistem penting juga turut terancam.
  • Pembangunan IKN akan mengancam keberadaan ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan seluas 2.603,41 hektar.

Ancaman terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup 

  • Batubara yang tersingkap meningkatkan risiko kebakaran hutan. 
  • Wilayah IKN adalah wilayah yang rentan terhadap pencemaran minyak. Pada kasus sebelumnya, lokasi tersebut adalah yang terdampak dari pencemaran minyak tumpahan Pertamina.
  • Tingginya pencemaran juga berisiko terhadap penurunan nutrien pada kawasan pesisir dan laut.
  • Tingginya konsesi tambang tersebut dan banyaknya lubang tambang yang belum ditutup juga meningkatkan risiko pencemaran pada air tanah, permukaan tanah dan kawasan pesisirnya.
  • Pembangunan IKN akan menempatkan Teluk Balikpapan sebagai kawasan industri karena akan dijadikan satu-satunya pintu masuk jalur laut ke IKN serta dijadikan satu-satunya jalur logistik untuk menyuplai kebutuhan pembangunan ibu kota baru. Akibatnya, lebih 10 ribu nelayan yang setiap hari mengakses dan menangkap ikan di Teluk Balikpapan akan terdampak serius. Jumlah tersebut terdiri dari 6.426 nelayan dari Kabupaten Kutai Kartanegara, 2.984 nelayan di 5 Kelurahan Maridan, Mentawir, Pantai Lango, Jenebora, Gresik dari Kabupaten Penajam Paser Utara, dan 1.253 nelayan dari Balikpapan.
  • WALHI juga melihat, kehadiran IKN semakin memperparah bencana ekologis dan merampas wilayah kelola rakyat. Banjir yang terjadi pada wilayah ring I IKN pada akhir 2021, mempertegas wilayah tersebut tidak layak berdasarkan KLHS menjadi lokasi IKN.  

Secara mendasar besarnya problem formil dan materil dalam penetapan ibu kota negara, dan ancaman terhadap lingkungan, penyelamatan ruang hidup rakyat, dan pelanggaran HAM. Tidak hanya terjadi di Kalimantan Timur, tetapi juga daerah lain sebagai pemasok bahan baku untuk rencana pembangunan IKN. Harusnya dijadikan argumentasi untuk menghentikan semua tindakan dan kebijakan dalam penetapan IKN

 

Narahubung :

Yohana Tiko (Direktur WALHI Kaltim) - 0813 5092 9213 
Satrio (Manajer Kajian Kebijakan) - 0813 3127 4900 
Sawung (Manajer Kampanye Infrastruktur dan tata ruang) - +63 999 412 0029 
Wahyu A. Perdana (Manajer Kampanye Ekosistem Esensial) - 0821 1239 5919