
Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Jakarta, 14 Desember 2025–Saat mengunjungi Aceh Tamiang (12/12/2025), Presiden Prabowo meminta maaf kepada masyarakat karena jaringan listrik belum menyala. Namun, permintaan maaf itu akan jauh lebih bermakna bagi masyarakat Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat jika Presiden segera memimpin penegakan hukum terhadap korporasi yang berkontribusi pada banjir besar dua minggu lalu. Pesan Presiden soal menjaga lingkungan dan larangan menebang pohon sembarangan kepada masyarakat juga semestinya diarahkan kepada para Menteri Kehutanan, Menteri ESDM, Menteri Lingkungan Hidup, dan Menteri ATR/BPN yang selama ini melanggengkan laju deforestasi dan kerusakan lingkungan melalui penerbitan izin. Pesan ini juga relevan ditujukan Presiden kepada kepada beberapa Menteri kabinet Merah Putih yang mempunyai keterkaitan dengan bisnis ekstraktif.
Uli Arta Siagian, Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional WALHI menyebut langkah Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, dan Kepolisian melakukan beberapa penegakan hukum masih parsial. Belum menyasar secara utuh indikasi pelanggaran dan tindak pidana yang dilakukan oleh berbagai perusahaan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Sejauh ini terdapat beberapa persetujuan lingkungan yang dibekukan, penyegelan, dan penyidikan kepada beberapa perusahaan, subjek hukum Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT), dan aktivitas ilegal. Bahkan penegakan hukum tersebut baru terdengar di Sumatera Utara, belum terdengar di Aceh dan Sumatera Barat. “Presiden harus lebih serius dan tegas meminta Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri ESDM, Menteri ATR/BPN, dan Kepolisian melakukan tindakan hukum tegas. Proses penegakan hukum tidak boleh sekedar menjadi gimmick. Evaluasi perizinan secara menyeluruh dan terbuka harus segera dilakukan. Seluruh perizinan yang jelas merusak lingkungan hidup dan mengakibatkan dampak buruk kepada masyarakat harus segera dicabut. Penjatuhan sanksi administrasi dengan menyasar pencabutan perizinan berusaha merupakan kunci untuk lepas dari kondisi krisis” tambah Uli.
Lebih jauh, WALHI juga meminta agar Presiden memastikan dengan cepat agar menteri-menterinya memaksimalkan pertanggungjawaban korporasi untuk pemulihan lingkungan dan memastikan kebijakan moratorium perizinan ditingkatkan menjadi kebijakan penghentian permanen penerbitan izin-izin baru. Selain itu, Presiden juga harus meminta Kapolri untuk mengevaluasi seluruh Kapolda dan Kapolres di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang membiarkan aktivitas ilegal di kawasan hutan dan DAS. Penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal ini juga tidak boleh sekedar menyasar pelaku lapangan, penegakan hukum harus menyasar kejahatan ekonomi dalam bentuk penerapan ketentuan tindak pidana pencucian uang. Mereka yang memperoleh keuntungan utama dalam rantai bisnis ilegal harus turut diminta pertanggungjawabannya.
Uli juga menyebut urgensi peran presiden untuk memimpin proses evaluasi dan penegakan hukum sangat penting dan relevan. Jika ada Menteri yang tidak serius melakukan evaluasi dan penegakan hukum, bahkan ada Menteri yang sama sekali belum melakukan tindakan apapun, artinya ada indikasi tidak serius untuk memastikan peristiwa serupa tidak berulang.
Hingga saat ini tidak terdengar upaya penegakan hukum maupun aksi korektif yang dilakukan Menteri ESDM Menteri ATR/BPN. Hal ini sangat aneh karena temuan WALHI menunjukkan beberapa perizinan sektor perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yang di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan yang berkontribusi besar pada penurunan daya tampung lingkungan hidup. Permintaan maaf presiden merupakan hal baik yang harus diikuti dengan dengan memimpin proses evaluasi dan penegakan hukum terhadap aktivitas perizinan dan ilegal yang merusak lingkungan. Jika tidak, bencana yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dapat terulang kembali, serta membuka peluang terjadinya kembali di wilayah Indonesia lainnya.
Narahubung:
WALHI: +62811-5501-980