Revisi UU TNI dibentuk Ugal-ugalan dan Bertentangan dengan Konstitusi: MK Harus Batalkan UU TNI

Siaran Pers
Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan

Pada 7 Mei 2025 – Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan menjadi kuasa hukum dari enam pemohon dalam permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan uji formil ke Mahkamah Konstitusi ini merupakan bentuk keberlanjutan gerakan masyarakat sipil untuk menolak revisi UU TNI yang tidak hanya mengabaikan partisipasi publik bermakna, tetapi juga memperkuat pengaruh militer dalam ruang-ruang sipil.

Pemohon dalam uji formil ini terdiri dari tiga organisasi yang aktif melakukan kerja advokasi HAM dan demokrasi serta aktif mendorong reformasi sektor keamanan khususnya reformasi TNI, yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), Imparsial, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Selain itu, terdapat tiga pemohon perorangan Warga Negara Indonesia di antaranya, yaitu Aktivis HAM yang juga merupakan Putri Presiden Indonesia Ke-4 Inayah Wahid, mantan Koordinator KontraS Fatiah Maulidiyanty, dan aktivis mahasiswa Eva Nurcahyani.

Dalam permohonan uji formil yang diajukan kami mendalilkan bahwa UU No. 3 Tahun 2025 dibuat secara ugal-ugalan (abusive law making) dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai berikut:

Pertama, Perencanaan revisi UU TNI dalam PROLEGNAS tahun 2025 dilakukan secara ilegal, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 20, dan Pasal 22A UUD 1945, UU P3 dan Tata Tertib DPR. Hal ini lantaran pengambilan keputusan untuk memasukan revisi UU TNI tidak termasuk dalam agenda rapat paripurna tanggal 18 Februari 2025 tersebut. Namun, secara tiba-tiba, Ketua Sidang Adies Kadir (Wakil Ketua DPR, Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar)), meminta persetujuan anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna untuk menyetujui revisi UU TNI masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025.

Kedua, Revisi UU TNI bukan Carry Over, sehingga pembahasan revisi UU TNI melanggar Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 20, dan Pasal 22A UUD 1945, UU P3 dan Tata Tertib DPR. Revisi UU TNI tidak termasuk dalam 12 (dua belas) RUU carry over sebagaimana tertuang dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025 dan Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029. Oleh karena itu, revisi UU TNI tidak sepatutnya dilanjutkan ke tahap pembahasan melainkan harus terlebih dahulu melalui tahapan perencanaan dan penyusunan Undang-Undang. 

Ketiga, Revisi UU TNI tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI yang ditetapkan oleh berbagai politik hukum mengenai TNI pasca reformasi 1998. Salah satu maksud awal (original intent) pembentukan UU 34 Tahun 2004 tentang TNI adalah memisahkan TNI dari politik dan bisnis demi terwujudnya tentara yang profesional. Namun, penambahan posisi jabatan sipil yang dapat dijabat oleh prajurit aktif pada Pasal 47 revisi UU TNI justru memperluas peran militer di wilayah sipil. Hal ini jelas bertentangan dengan asas kejelasan tujuan serta asas kedayagunaan dan kehasilgunaan sebagaimana termaktub dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Keempat, Proses pembahasan revisi UU TNI dengan sengaja menutup partisipasi publik, tidak transparan dan akuntabel, sehingga menimbulkan kegagalan pembentukan hukum bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 20, Pasal 22A, Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan Pasal 28F UUD 1945 serta UU P3 dan Tata Tertib DPR. Segala dokumen pembentukan revisi UU TNI mulai dari Naskah Akademik, DIM, hingga Undang-Undang itu sendiri tidak dapat diakses oleh publik. Selain itu, rapat-rapat pembentukan revisi UU TNI oleh DPR dan Pemerintah digelar secara sembunyi-sembunyi di ruang tertutup. Hal ini mempertegas abusive law making dalam pembentukan revisi UU TNI.

Kelima, Presiden dan DPR sengaja menahan revisi UU TNI dan tidak langsung membuka akses dokumen revisi UU TNI kepada publik. Hingga siaran pers ini dibuat, Presiden dan DPR belum menyebarluaskan revisi UU TNI yang telah diundangkan. Pada laman resmi Pemerintah maupun DPR tidak dapat ditemukan adanya dokumen revisi UU TNI. Hal ini jelas menyalahi asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 95 UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Berangkat dari uraian tersebut di atas, Para Pemohon meminta dalam Petitum kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa Pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2025 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang menurut Undang-Undang Dasar 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan UU ini tidak berlaku kembali.

Selain itu, Para Pemohon juga mengajukan Permohonan Provisi dalam rangka menghindari munculnya dampak sudah dibentuknya peraturan pelaksana, sudah dilaksanakannya UU, dan/atau sudah mengakibatkan dampak yang dapat merugikan warga negara terutama kepada Para Pemohon yang dalam penalaran yang wajar dapat dipastikan tidak dapat dipulihkan kembali selama masa pengujian formil berlangsung. Para Pemohon mendalilkan bahwa telah ada berbagai implementasi revisi UU TNI oleh Pemerintah, salah satunya kondisi Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Muhammad Ali yang seharusnya telah memasuki masa pensiun bila berkaca pada UU 34/2004 namun akibat berlakunya revisi UU TNI maka KASAL belum pensiun. Oleh karena itu, Para Pemohon meminta MK untuk memberikan Putusan Sela dengan menyatakan menunda pemberlakuan revisi UU TNI, memerintahkan Presiden untuk tidak menerbitkan Perpres dan PP sampai adanya putusan akhir, memerintahkan Presiden dan DPR untuk tidak memutuskan kebijakan dan tindakan strategis terkait implementasi Revisi UU TNI, dan memerintahkan Kementerian/Lembaga/Badan lainnya untuk tidak membuat kebijakan dan/atau tindakan terkait implementasi revisi UU TNI.

 

Jakarta, 8 Mei 2025
Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari: Imparsial, PBHI Nasional, YLBHI, KontraS, Centra Initiative, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, LBH Jakarta, LBH Pers, LBH Masyarakat, LBH Surabaya pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Trend Asia, ICJR, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), De Jure, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)

Narahubung:
Hussein Ahmad (Imparsial)
Fadhil Alfathan (LBH Jakarta)
Arif Maulana (YLBHI)