“Pembangunan Infrastruktur Indonesia Melanggar HAM” Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia

Selasa (5/9), WALHI yang tergabung dalam koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia, melakukan Media Briefing di Bakoel Koffie, hasil temuan yang dipaparkan khususnya Proyek Strategis Nasional diantaranya dibiayai melalui hutang dari Bank Pembangunan Multilateral, khususnya Group Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang didirikan oleh pemerintah RRC dan mulai beroperasi pada  2016, dan Islamic Development Bank (IDB) yang juga telah membentuk Islamic Mega Infrastructure Bank.

Selain melalui Bank Pembangunan Multilateral, pembiayaan juga melalui pinjaman bilateral dari negara lain seperti Jerman, Australia atau Jepang, dan pinjaman swasta. Jika dibagi rata dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 257 juta jiwa, maka setiap orang kira-kira menanggung hutang sekitar Rp 14,420 juta”. Hutang tersebut digunakan untuk sektor ekonomi yaitu Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan, Pertambangan & Penggalian, Industri Pengolahan, Listrik, Gas & Air Bersih, Bangunan,Perdagangan, Hotel & Restoran, Pengangkutan & Komunikasi, Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan, Jasa-jasa dan sektor lainnya.

Dengan demikian hutang dipergunakan untuk sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak, yang membutuhkan ketersediaan tanah yang luas, berpotensi merusak lingkungan hidup dan melanggar hak-hak warga negara.

Sampai Juli 2017, berdasarkan data dari Departemen Keuangan RI, hutang luar negeri pemerintah Indonesia (baik bilateral maupun multilateral) berjumlah Rp 734,98 triliun, dengan perincian sebagai berikut :

PINJAMAN 734.98
A. Pinjaman Luar Negeri 729.58
1. BILATERAL 313.72
2. MULTILATERAL 371.21
a. Bank Dunia 238.49
b. ADB 118.88
c. IDB 10.82
d. IFAD 2.42
e. EIB 0.25
f.  NIB 0.15
g. AIIB 0.19
3. COMMERCIAL BANK 43.70
4. SUPPLIERS 0.95
B. Pinjaman Dalam Negeri 5.40

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Untuk mencapai target pembangunan infratruktur, Pemerintah Jokowi melakukan tiga langkah utama yaitu : (1) Percepatan Perijinan; (2) Percepatn Pengadaan Tanah dan (3) Percepatan Pembiayaan melalui Hutang. “Ketiga langkah tersebut berorientasi hanya pada tujuan saja, sedangkan proses partisipasi warga negara maupun perlindungan warga negara  diabaikan. Misalkan karena harus cepat, dilkukan pemotongan waktu sedemikian rupa dalam penyusunan AMDAL”, tambah Siti Aminah.

Pembangunan infrastruktur yang tidak partisipatif, tidak disertai AMDAL atau menyusun AMDAL hanya untuk formalitas, munculnya mafia tanah yang menyebabkan warga negara tercerabut hak-hak ekonomi, sosial, dan budayanya, adalah beberapa persoalan yang muncul dalam pelaksanaan proyek pembangunan. Muhammad Al Amin dari Walhi Sulawesi Selatan menyatakan; ”Pemindahan nelayan ke rumah susun, akan mencerabut nelayan dari basis ekonomi dan budayanya, dan reklamasi itu sendiri merusak lingkungan hidup. Bisa dipastikan mereka akan semakin miskin dari sebelumnya.” Hal yang sama terjadi di Jawa Barat, dalam proyek pembangunan Bandara Kertajati yang memakai lahan 10 (sepuluh) desa.

Meiki dari Walhi Jawa Barat, menyatakan; “bahwa akibat pembangunan Bandara Kertapati telah menyebabkan banyak buruh tani kehilangan mata pencaharian karena sawah yang terpaksa beralihfungsi, terjadi kriminalisasi dan memunculkan konflik agrarian di wilayah tersebut”. Demikian halnya Bank-Bank yang memberikan hutang harus berperan untuk tidak merusak lingkungan dan kehidupan sosial dari proyek-proyek yang dibiayainya. Bank juga menjadi salah satu instansi/sektor yang ikut terlibat dalam mengelola risiko lingkungan dan sosial sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur kewajiban bagi industri untuk melindungi alam dan lingkungan.

Berdasarkan kondisi diatas, Koalisi Pemantau Infraruktur, berharap Pemerintah Jokowi untuk melaksanakan perlindungan lingkungan hidup dan sosial untuk setiap proyek infrastruktur secara konsekuen dan partisipatif, dengan mengedepankan perlindungan hak-hak warga negara. []